Khawarij (Sejarah, pemikiran dan pergerakkannya)
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk
isim fail) artinya yang keluar. Dinamai demikian karena kelompok ini
adalah orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes
terhadap Ali yang menyetujui perdamaian dengan mengadakan arbitrase dengan
Muawiyah bin Abi Sufyan[1].
Pendapat lain mengatakan bahwa khawarij berasal dari kata kharaja-
khurujan didasarkan atas Q.S. 4 : 100 yang pengertiannya keluar dari
rumah untuk berjuang di jalan Allah. Kaum khawarij memandang diri mereka
sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan
Allah. [2]
Dengan demikian khawarij adalah aliran (firqah) yang keluar dari jamaah
(almufaraqah li al-jamaah) disebabkan ada perselisihan pendapat yang
bertentangan dengan prinsip yang mereka yakini kebenarannya.
Selain nama khawarij, ada beberapa nama lagi yang dinisbatkan kepada
kelompok aliran ini, antara lain al-muhakkimah, syurah, haruriyah dan al-mariqah.
Al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal (Tiada
hukum kecuali hukum Allah) atau (Tidak ada pembuat hukum kecuali Allah).
Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali bin Abi Thalib. Menurut
pendapat aliran ini yang berhak memutus perkara hanya Allah, bukan melalui
arbitrase (tahkim)[3].
Syurah berasal dari syara- syira’an artinya menjual.
Penamaan ini didasarkan pada Q.S. 2 : 207 : Dan diantara manusia ada yang
menjual dirinya untuk memperoleh keridlaan Allah. Pengikut aliran ini
menganggap kelompoknya sebagai golongan yang dimaksud pada ayat di atas[4].
Haruriyah berasal dari kata Harurah, nama daerah tempat
menggalang kekuatan dan pusat kegiatan kelompok ini setelah memisahkan diri
dari Ali bin Abi Thalib. Haruriyah berarti orang-orang berkebangsaan
Harurah[5].
Al-Mariqah berasal dari kata maraqa artinya anak
panah keluar dari busurnya. Pemberian nama ini oleh orang-orang yang tidak
sepaham (lawan) aliran ini karena dianggap telah keluar dari sendi-sendi agama
Islam[6].Adanya sebutan
(nama) yang variatif bagi aliran khawarij itu didasarkan kepada slogan-slogan
yang diproklamirkan aliran ini, atau berdasarkan markas dan pusat perkembangan
serta penyebaran aliran ini, bahkan ada yang berdasarkan kecaman dari yang
tidak sefaham dengan aliran ini.
Konsep-Konsep Pemikiran
Khawarij
Ada dua prinsip pokok yang
menjadi kesepakatan paham-paham Khawarij, yaitu keputusan umum mereka terhadap
Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan kewajiban al-khurûj (memberontak;
revolusi) terhadap penguasa lalim. Mengenai prinsip pertama, Khawarij
menetapkan sahnya bait Imam Ali dan mendukungnya sampai sebelum kejadian tahkîm.
Akan tetapi, setelah kejadian tersebut, mereka mengucilkan Khalifah Ali,
bahkan memvonisnya sebagai kafir, seperti halnya mereka memvonis kafir terhadap
Utsman setelah enam tahun dari kekhalifahan. Jadi, dari prinsip pertama ini
terlahir klaim takfîr dan al-hâkimiyyah yang selanjutnya
menjadi pokok konsep pemikiran sekte Khawarij. Adapun dari prinsip kedua,
muncullah konsepsi khurûj dan al-hijrah, sebagai penyempurna dari
prinsip pertama. Inilah konsep-konsep umum pemikiran Khawarij.
1. Al-Hâkimiyyah; lâ hukma iIllâ lillâh
Dalam sejarah pemikiran islam,
statemen al-hâkimiyyah (otoritas) pertama kali diusung oleh sekte
Khawarij dalam jargonnya lâ hukma illâ lillâh. Hal ini terjadi
ketika kaum pembelot Khalifah Ali tersebut menolak arbitrasi pada perang
Shiffin. Menurut Khawarij, keputusan hanyalah di tangan Allah, tidak di tangan
kedua arbitrator, yaitu Abu Musa Asy'ari dan Amr bin Ash. Khawarij tidak setuju
dengan arbitrasi karena menurut persepsi mereka, hal itu menyalahi keputusan
Allah dalam surat Al-Mâ’idah ayat 33.
Di dalam Al-Quran, kalimat al-hukmu
bi mâ anzalallâhu terdapat pada banyak ayat. Orang-orang yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah dianggap sebagai orang kafir,
zalim, dan fasik, sebagaimanya dinyatakan secara berturut-turut dalam surat
Al-Mâ’idah ayat 44, 45, dan 47. Inilah yang menjadi dasar hukum sekte Khawarij
dalam mengusung slogan tersebut. Mereka membelot dan mengklaim kafir kepada
Imam Ali karena tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah. Tapi dengan
ini pula, pada dasarnya Khawarij telah memindahkan konflik serta oposisi mereka
dari ruang aktivitas politik yang mengandung kemungkinan salah dan benar ke
dalam ruang akidah keagamaan dengan mengusung klaim kafir atau iman. Untuk
itulah, jargon Khawarij lâ hukma illâ lillâh (tidak ada keputusan
selain keputusan Allah) dijawab imam Ali dengan: kalimatu al-haqqi wa
yurâdu bihâ al-bâthil (statemen yang benar, tetapi dengan maksud yang
salah).
2. Takfîr
Takfîr (pengkafiran) merupakan senjata sekte
Khawarij dalam menghadapi setiap penentangnya. Khawarij menganggap dirinya
sebagai umat Islam sejati, sedangkan umat Islam lainnya yang tidak menganut
prinsip-prinsip mereka adalah kafir atau musyrik, bahkan mereka lebih membenci
orang-orang ini daripada kaum Nasrani, Yahudi, atau Majusi. Khawarij menjamin
keamanan orang dzimmi dan tidak menjamin keamanan orang Islam yang tidak
menganut prinsip mereka.
Pendapat mereka dalam takfir
berpegang pada firman Allah, "Pada hari yang di waktu itu ada muka
yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang
hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):"Kenapa kamu kafir sesudah
kamu beriman Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS.3:
106). Dalam hal ini, Khawarij berkata
bahwa seorang fasik tidak bisa bermuka putih dan berseri sehingga ia harus
disebut kafir.
3. Al-Hijrah
Disamping takfîr dan al-hukmu
bi mâ anzalallâh, muncul pula prinsip hijrah untuk meyempurnakan lingkup
pemikiran Khawarij. Mereka mendukung prinsip hijrah dengan beberapa ayat
Al-Quran, seperti firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka
menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makah)".
Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. 4: 97)
Hijrah yang dimaksud di sini
ialah pergi meninggalkan wilayah negara yang mereka anggap kafir, menuju markas
mereka yang akan dipakai sebagai tempat bertolak untuk memerangi penguasa
zalim. Dengan ini, lengkap sudah dimensi teori pemikiran Khawarij, yaitu mulai
dari otoritas, pengkafiran, dan hijrah, lalu disempurnakan dengan konsep utama
pemikiran mereka, yaitu al-khurûj.
4. Al-Khurûj
(Pemberontakan; Revolusi)
Inilah corak utama yang khas
pada pemikiran Khawarij. Pemberontakan (revolusi) menurut Khawarij hukumnya
wajib jika jumlah penentang imam zalim mencapai empat puluh orang. Menurut
mereka, jumlah ini adalah batasan asy-syurâh, yaitu orang-orang yang
membeli surga dengan menjual jiwanya. Keempat puluh orang ini wajib memberontak
dan melakukan revolusi sampai mati atau sampai mampu menegakkan agama Allah dan
menghancurkan orang kafir serta orang-orang zalim. Mereka harus selalu
melakukan pemberontakan kecuali apabila jumlah mereka kurang dari tiga orang.
Apabila kurang dari tiga, mereka diam dan menyembunyikan akidahnya. Dengan ini,
berarti Khawarij mengambil jalan al-kitmân.
Yang sangat menarik dari
oposisi Khawarij, setiap penindasan dan pengekangan yang menimpa, justru akan
menambah kuat oposisi serta mendorong mereka untuk semakin radikal dan fanatis.
Tapi perlu dicatat bahwa revolusi-revolusi Khawarij—meskipun sangat
sering—tidak mendatangkan hasil positif. Hal ini pertama-tama disebabkan karena
Khawarij miskin manajemen, bercorak spontanitas, dan terlalu over dalam
berevolusi. Ketika baru mencapai batas asy-syurâh, mereka telah
mengadakan revolusi sehingga mudah ditumpas sampai habis. Untuk itu,
revolusi-revolusi Khawarij hanya menambah pertumpahan darah saja. Hal inilah
yang banyak melemahkan kekuatan orientasi revolusionernya.
Sekte-sekte Khawarij
Khawarij terkenal karena ketidaksudian dan keengganan berkompromi dengan
pihak manapun yang dianggap bertentangan dan berseberangan dengan pendapat dan
pemikirannya, sehingga muncullah beberapa kelompok sektarian (sempalan) dari
aliran khawarij ini yang masing-masing sekte tersebut cenderung memilih imamnya
sendiri dan menganggap sebagai satu-satunya komunitas muslim yang paling benar.
Ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits diartikan
menurut lafadz dan harus diartikan sepenuhnya. Iman dan paham mereka merupakan
iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta
fanatik yang membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran
Islam walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Hal inilah yang menyebabkan kaum khawarij mudah terpecah belah menjadi
sekte-sekte kecil dan terus menerus mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada pada masanya.
Mengenai jumlah sekte khawarij, ulama berbeda pendapat, Abu Musa
Al-Asy’ary mengatakan lebih dari 20 sekte, Al-Baghdady berpendapat ada 20
sekte, Al-Syahristani menyebutkan 18 sekte, Musthafa al-Syak’ah berpendapat ada
8 sekte utama, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyah,
al-Ajaridah, al-Saalibah, al-Ibadiah dan al-Sufriyah. Muhammad Abu Zahrah
menerangkan 4 sekte yaitu al-Najdat, al-Sufriyah, al-Ajaridah dan al-Ibadiah. [12]
Sedangkan Harun Nasution ada 6 sekte penting yaitu:
- Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah dipandang sebagai golongan khawarij asli (pelopor aliran
khawarij) karena terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian
membangkang dan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Nama al-Muhakkimah
berasal dari semboyan dari doktrin mereka la hukma illa li allah yang
merujuk pada Q.S. 6 : 57 : In al-hukmu illa li allah (menetapkan hukum
itu hanyalah hak Allah). Mereka menolak arbitrase karena dianggap bertentangan
dengan perintah Allah dalam Q.S. 49 : 9 yang menyuruh memerangi kelompok
pembangkang (bughat) sampai mereka kembali ke jalan Allah.
Pemimpin sekte ini bernama Abdullah bin Wahab al-Risbi yang dinobatkan
setelah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dalam paham sekte ini Ali,
Muawiyah dan semua orang yang terlibat dan menyetujui arbitrase dituduh telah
menjadi kafir karena telah menyimpang dari ajaran Islam berdasarkan Q.S.5 : 44.
Sekte ini juga berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar seperti
membunuh tanpa alasan yang benar dan berzina adalah kafir. Hal ini didasarkan
dengan ayat Al-qur’an Surat An-nisa’:31,
- Al- Azariqah
Sekte al-Azariqah lahir sekitar tahun 60 H. (akhir abad 7 M.) di daerah
perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpin
sekte ini yang bernama Nafi bin Azraq al-Hanafi al-Hanzali, anak bekas budak
Yunani. Sebagai khalifah Nafi diberi gelar amir al-mukminin. Menurut
al-Baghdadi pendukung sekte ini berjumlah lebih dari 20 ribu orang.
Paham dari pemikiran sekte ini lebih ekstrem (radikal),
diantaranya:[13]
1. Orang Islam yang tidak bersedia memihak
atau bekerja sama dengan mereka dianggap murtad.
2. Orang yang menolak ajaran al-Azariqah adalah musyrik.
3. Pengikut al-Azariqah yang tidak berhijarah (eksodus) ke
daerah wilayah kekuasaan mereka dianggap musyrik juga.
4. Semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh
termasuk anak dan istri mereka.
5. Adanya praktek isti’rad artinya menilai dan
menyelidiki atas keyakinan para penentang mereka. Orang-orang yang tidak lolos
dari penyelidikan ini dijatuhi hukuman mati, termasuk wanita dan anak-anak,
karena anak-anak orang musyrik akan dikutuk bersama orang tuanya.
Berdasarkan prinsip dan pemikiran tersebut, pengikut al-Azariqah banyak
melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar wilayah
daerah kekuasaan mereka. Mereka menganggap daerah mereka sebagai dar
al-islam, diluar daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang
dikuasai/diperintah orang kafir).
Pada tahun 684 M. Sekte al-Azariqah ini membiarkan kaum khawarij lainnya
di Bashrah menjalani perang yang mencekam di Irak selatan dan Iran, akhirnya
semuanya menemui kematian syahid menurut mereka sebagaimana harapan mereka.
- Al-Najdat
Penamaan sekte ini dinisbatkan kepada pemimpinnya yang bernama Najdah bin
Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrain. Lahirnya sekte ini sebagai
reaksi terhadap pendapat Nafi (pemimpin al-Azariqah) yang dianggap terlalu
ekstrim. Pendapat Nafi yang ditolak adalah tentang :
- Kemusyrikan pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah ke wilayah al-Azariqah.
- Kebolehan membunuh anak-anak atau istri orang yang dianggap musyrik.
Pengikut al-Najdat memandang Nafi dan orang-orang yang mengakuinya
sebagai khalifah telah menjadi kafir. Paham theologi al-Najdat yang terpenting
adalah :[14]
- Orang Islam yang tidak sepaham dengan alirannya dianggap kafir dan akan masuk neraka yang kekal di dalamnya.
- Pengikut al-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar.
- Dosa kecil dapat meningkat posisinya menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus menerus.
- Adanya faham taqiyah yaitu orang Islam dapat menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya. Dalam hal ini diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya.
Dalam perkembangan selanjutnya sekte ini mengalami perpecahan. Dari tokoh
penting sekte ini seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil membentuk
kelompok oposisi terhadap al-Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya al-najdat
pada tahun 69 H. (688 M.).
4.Al-Ajaridah
Pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim bin Ajarrad. Pemikiran sekte ini
lebih moderat dari pada pemikiran al-Azariqah. Sekte ini berpendapat :[15]
1. Tidak ada kewajiban hijrah ke
wilayah daerah al-Ajaridah.
2. Tidak boleh merampas harta dalam
peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh.
3. Anak-anak kecil tidak dapat
dikatagorikan orang musyrik.
4. Surat Yusuf bukan bagian dari
al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita
percintaan seperti yang terkandung dalam surat yusuf.
5. Al-Sufriyah
Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah akan tetapi
lebih lunak. Nama al-Sufriyah berasal dari nama pemimpin mereka yang bernama
Zaid bin Asfar. Pendapat dari sekte al-Sufriyah yang terpenting adalah :[16]
- Umat Islam non khawarij adalah musyrik, tetapi boleh tinggal bersama mereka dalam perjanjian damai (genjatan senjata) asalkan tidak mengganggu dan menyerang.
- Kufur atau kafir mengandung dua arti yaitu kufr al-nikmat (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr bi Allah (mengingkari Allah). Kufr al-nikmat tidak berarti keluar dari Islam.
- Taqiyah hanya dibenarkan dalam bentuk perkataan, tidak dibenarkan dalam bentuk tindakan (perbuatan).
- Perempuan Islam diperbolehkan menikah dengan laki-laki kafir apabila terancam keamanan dirinya.
6.Al-Ibadiyah
Sekte ini dilahirkan oleh Abdullah bin Ibad al-Murri al-Tamimi tahun 686
M. Doktrin sekte ini yang terpenting adalah :[17]
- Orang Islam yang berbuat dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, akan tetapi muwahhid.
- Dar al-kufr adalah markas pemerintahan yang harus diperangi, sedangkan diluar itu disebut dar al-tauhid dan tidak boleh diperangi.
- Yang boleh menjadi harta pampasan perang adalah kuda dan peralatan perang.
- Umat Islam non khawarij adalah orang yang tidak beragama tetapi bukan orang musyrik
Sekte al-Ibadiyah sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran
khawarij dan merupakan sekte khawarij yang bertahan hingga zaman modern. Mereka
menghasilkan sejumlah mutakallimin (theolog) paling awal dalam Islam dan
bersedia hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam lainnya yang tidak
menganiaya mereka. Mayoritas umat Islam dan keluarga penguasa dalam kesultanan
Oman adalah Ibadiyah. Sekte ini juga terdapat di Mzab dan Wargla (Aljazair),
pulau Jerba lepas pantai timur Tunisia, Nafusa dan Zuwaghah (Libia), Zanzibar
dan beberapa perkampungan di Afrika Timur. Kini jumlahnya tidak lebih dari
sejuta orang.
Adapun golongan Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun mereka sebagai
golongan telah hilang dalam sejarah, ajaran-ajaran mereka masih mempunyai pengaruh
walaupun tidak banyak dalam masyarakat Islam sekarang.
Posisi Khawarij dalam
Struktur Pemikiran Islam dan Peta Penyebarannya
Mayoritas kaum orientalis
cenderung memuji Khawarij dan mengagung-agungkannya. Van Fluten, misalnya, ia
menjuluki Khawarij dengan 'kaum republik' karena dalam pandangannya, Khawarij
mengusung prinsip-prinsip demokrasi konservatif. Demikian juga yang dinyatakan
oleh Von Yulius Wellhausen, seorang orientalis asal Jerman. Dari kalangan
pemikir modern, Prof. Umar Abu Nashr dalam bukunya Al-Khawâriju Wa al-Islam
juga sejalan dengan perspektif ini. Ia melihat bahwa Khawarij paling dekat
dalam beradaptasi dengan agama.
Menurutnya, Pemikiran Khawarij telah memberikan warna yang berbeda pada
tradisi pemikiran politik Islam yang menurut sebagian pakar, keduanya bercorak
'revolusioner' dan 'demokratis'. Pertama, Khawarij menjadikan khilafah
sebagai hak setiap individu Muslim selama memenuhi syarat-syarat yang mereka
tentukan, yakni Islam, adil, dan berilmu. Kedua, Khawarij memberikan hak
pilih kepada seluruh umat Islam sehingga mereka berhak mencopot khalifah jika
melenceng dari syarat-syarat kekhalifahan.
Tapi mayoritas Ahlussunnah
menganggap Khawarij telah keluar dari pemahaman agama yang benar. Dahulu, Ibnu
Abbas berkata tentang Khawarij, "Tidaklah Haruriyah (Khawarij) lebih
mengetahui hukum dari orang Yahudi dan Nashrani. Mereka semua adalah
sesat." Bahkan Rasulullah juga sudah memprediksi munculnya kelompok yang
membangkang seperti ini dalam beberapa sabdanya. Pendapat-pendapat Khawarij
juga dikritik dan dihancurkan oleh Umar bin Abdul Aziz, ditentang oleh Maltha,
Ibnu Hazm, Syahrastani, dan lain-lain. Pada masa sekarang, Syaikh Abu Zahrah
menyebut mereka dengan fanatis, berpandangan sempit, berpihak pada satu sisi
pemikiran saja, gemar mengklaim bahwa hadits-hadits yang mereka gunakan sebagai
dalil berasal dari Rasul demi melegitimsi kebenaran pendapatnya, dan berpegang
teguh pada zahir Al-Quran tanpa melihat maksud dan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Al-Syahristani, Al-Milal
wa al-Nihal, Jilid 1 ( t.p., 1968) hal.123
[2] Ibid
[3] J. Suyuthi Pulungan,
Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, (Raja Grafindo
Persada, 1995) h.196
[4] Al-Syahristani, op.cit
h.125
[5] A. Syalabi, Sejarah
Kebudayaan Islam 2, (Pustaka al-Husna, 1988) h.309
[6] Al-Syahristani, op.cit
h.125
[7] Drs Bashori, Ilmu
Kalam, hal 56
[8] Drs.Burhandaya,
Sejarah Perkembangan pemikiran ketuhanan dalam islam, PN tiga A, Yogjakarta
1976 hal 37
[9] Drs Bashori, Ilmu
Kalam, hal 56
[10] Al-Syahristani, op.cit
h.130
[11] J. Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, (Raja
Grafindo Persada, 1995) h.196
[12] Harun Nasution,
Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (UI Press,
1986) h.20
[13] Opcit hal 25
[14] Opcit hal 28
[15]ibid hal 30
[16] Ibid hal 32
[17] Ibid hal 34
Referensi Lain
1. Abdul Khaliq Musthafa,
Nevin. 1985. Al-Mu'âradhatu Fî al-Fikri as-Siyâsi al-Islâmi. Kairo;
maktabah al-Malik Faishal al-Islamiyah.
2. Abu Hadid, Ibnu. 1967. Syarhu Nahji al-Balâghah. Kairo; Mathba'ah
Halabi.
3. Husein, Thaha. 1962. Al-Fitnatu al-Kubrâ. Kairo; Dar
al-Ma'arif.
4. Ibrahim Hasan, Hasan. Dr.
1959. Târîkhu al-Islâmi as-Siyâsy Wa ad-Dîni Wa ats-Tsaqâfati Wa al-Ijtimâ'i.
Kairo; Maktabah Nahdhah al-Mashriyah.
5. Khudhori Beik, Muhammad.
Syaikh. 1376 H. Muhâdharâtu Târîkhi al-Umami al-Islâmiyyah. Kairo;
Mathba'ah Istiqamah.
6. Maqdisi, Abu Zabad Ahmad bin
Sahal Balkhi Mutahhir bin Tahir. 1916. Kitâbu al-Bad'i Wa at-Ta'rîkh.
Kairo. t.p.
7. Nabrawi, Fathiya. Dr,
Nashr Manha, Muhammad. Dr. 1984. Tathawwuru al-Fikri as-Siyâsi Fî
al-Islâm. Kairo; Dar al-Ma'arif.
8. Syahrastani. t.t. Al-Milal
wa An-Nihal. t.k. t.p
9. Thabari. 1980. Mukhtasharu
Tafsîri al-Imâmi ath-Thabari. Kairo; Dar
asy-Syuruq.