Terbaru

KAIDAH FIQH NIAT




A.      Pengertian Niat
Secara Etimologi kata niat dengan tasydid pada huruf ya’ adalah bentuk mashdar dari kata kerjaنوى- ينوى [1] Yang mempunyai arti maksud (al-qashd)[2] Syihab al-Din al-Qalyubi dan ‘umayrah berpendapat bahwa niat secara bahasa adalah al-‘azm atau al-Qashd[3] Dan inilah yang masyhur dikalangan ahli bahasa. Ada juga yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid, menjadi (niyah).
Sedangkan secara terminologi, niat mempunyai pengertian:
قصدالشيءمقترنابفعله. [4]
Artinya: “termasuk (mengerjakan) sesuatu yang disertai pelaksanaannya”.
Menurut Abdurrohman Al-Jaziry, yang dimaksud dengan niat adalah ketetapan hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah semata. Atau, dapat pula diartikan dengan al-irodah al-qowiyyah (keinginan yang kuat).[5]

B.      Dasar dan Sumber Pengambilan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha
1.       Firman Allah dalam QS. Al-Imran 145:
Artinya: “sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
2.       Hadist Nabi Saw:
إنَّمَاالْأَعْمَالُبِالنِّيَّاتِ،وَإِنَّمَالِكُلِّامْرِئٍمَانَوَى،فَمَنْكَانَتْهِجْرَتُهُإلَىاللَّهِوَرَسُولِهِفَهِجْرَتُهُإلَىاللَّهِوَرَسُولِهِ،وَمَنْكَانَتْهِجْرَتُهُلِدُنْيَايُصِيبُهَاأَوْامْرَأَةٍيَنْكِحُهَافَهِجْرَتُهُإلَىمَاهَاجَرَإلَيه[6].
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhary-Muslim ra.).
لاعمل لمن لا نية له [7]
Artinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat”. (HR. Anas Ibn Malik ra.)
إنما بعث الناس على نياتهم [8]
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.” (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.)

C.      Pendapat Ulama Tentang Niat
Hadits tentang niat ini bermartabat tinggi dalamsyari’at Islam. Kata Imam Abu Ubaidah: “tak ada hadits yang lebih kaya dan banyak faidahnya dari pada hadits niat.
Menurut ulama ahli tahqiq, bahwa hadits di atas isinya sangat padat. Sehingga seolah-olah sepertiga (ada yang mengatakan seperempat) dari seluruh masalah fiqh tercakup dalam hadist tersebut[9].Sedangkan menurut Ibn Muhdi hadits tersebut meliputi 30 bab[10]. akan tetapi menurut Imam syafi’ie, bahwa hadits tersebut meliputi 70 bab dari permasalahan ilmu fiqh[11].
Imam Asy-Syafi’ie, Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni dan lainnya sepakat menetapkan bahwa hadits niat itu menempati sepertiga dariseluruh ilmu pengetahuan Islam. Pendapat semacam ini diulas oleh imam al-Baihaqi sebagai berikut.
“segala aktifitas manusia itu adakalanya berpangkal pada hati sanubari, pada lisan dan  adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal di hati sanubari adalah aktivitas kejiwaan. Aktivitas itu lebih penting dan kuat ketimbang aktifitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan”.[12] Hal itu disebabkan karena niat dapat berfungsi sebagai ibadat yang berdiri sendiri sedang aktifitas yang lain tidak dapat berfungsi ibadat sekiranya tidak di dukung oleh niat. Niat sekalipun tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik daripada perbuatan yang tidak di barengi dengan niat. Demikianlah jiwa dari sabda rasul Saw.
Imam Ahmad sependapat dengan imam Syafi’I bahwa hadist niat itu adalah salah satu dari tiga hadits yang menjadi tempat pengembalian seluruh hukum Islam. Menurut beliau tiga buah hadits yang menjadi tempat pengembalian hukum-hukum islam itu ialah:
نية المؤمن خير من عمله [13]
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannyasaja (yang kosong dari niat).” (HR. ath-Thabrani)
من أحدث في أمرنا هذاماليس منه فهورد. [14]
Artinya: “barang siapa yang mengada-adakan dalam agamaku ini suatu yang bukan termasuk agama, maka tertolak.”(HR. Bukhari-Muslim)
الحلال بين و الحرام بين وبينهمامشتبهات لايعلمهن كثير من الناس. [15]
Artinya: “perkara yang halal itu jelas, yang haram jelas dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang……”(HR. Bukhari-Muslim).

D.      Tempat, waktu dan Fungsi Peng-Syariat-an Niat

1.       Tempat niat
Karena hakikat niat adalah bermaksud dan menyengaja (al-qashd), mayoritas ulama fiqh (jumhur) sepakat bahwa tempat niat adalah hati[16]. Meskipun demikian, karena gerakan hati itu sulit, maka para alim ulama menganjurkan agar disamping niat juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong dan membantu gerakan Hati.
Namun, ketika seseorang berniat di dalam hatinya tanpa lafal (diucapkan) melalui lisan, maka diperbolehkan.­­--Kecuali ada sebagian ulama yang di nukil oleh al-Mawardi yang mewajibkan at-talaffuzh kemudian melemahkannya—.Sebab pada saat berniat, telah terjadi qashd di dalam hati manusia dan mengarahkan hati serta segala kecenderungannya pada apa yang hendak dilakukan. Hal ini di pandang lebih utamadari sekedar pelafalan dengan lisan. Karenanya, seorang yang melafalkan niat ketika hendak melaksanakan sholat, misalnya, tapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan sholatnya menjadi gugur[17]
Namun disini pendapat jumhur yang lebih kuat. Karena mereka mendasarkan pada firman Allah QS. Al-Hajj: 46
Artinya: “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.
2.       Waktu niat
Secara umum, perbuatan yang berkaitan dengan syarat dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, perbuatan yang mengharuskan adanya niat. Kedua, perbuatan yang tidak mengharuskan adanya niat. Perbuatan kategori pertama dibedakan pula menjadi dua. Pertama, niat yang harus dilakukan di awal (sebelum berbuat); dan kedua, niat dilakukan ketika berbuat. Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut:[18]
a.       Malikiyah berpendapat bahwa mendahulukan niat untuk bersuci adalah boleh. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa niat beruci dan shalat harus berbarengan-- dengan perbuatan.
b.      Niat zakat boleh diniatkan sebelum benda zakat di serahkan kepada mustahiq zakat (Jumhur: hanafiyah, malikiyah, syafi'’yah, dan hanabilah). Namun sebagian ulama Syafi’iyah dan hanabilah bependapat bahwa niat zakat harus berbarengan dengan penyerahan barang zakat.
c.       Ulama syafi’iyah dan hanabilah mewajibkan berniat puasa pada malam hari (sebelum puasa ramadlan); ulama hanafiyah berpendapat bahwa niat puasa boleh dilakukan pada malam hari sebelum puasa ramadlan, atau bebarengan ketika mulai puasa (waktu fajar, menjelang subuh), bahkan boleh mengahirkannya hingga tengah hari (sebelum waktu dzuhur), baik puasa wajib maupun sunnah. Sedangkan malikiyah berpendapat bahwa niat puasa wajib di dahulukan (sebelum waktu subuh), baik puasa wajib maupun sunat.
d.      Jumhur ulama berpendapat bahwa niat qadha, nadzar, dan kifarat tidak boleh diakhirkan.
e.      Niat berkurban tidak boleh didahulukan sebelum menyembelih, dan tidak diwajibkan iqtiran niat berkurban ketika menyembelih.
f.        Niat untuk mengecualikan hal-hal tertentu dalam sumpah wajib dilakukan sebelum sumpah selesai.

3.       Fungsi Pensyariatan Niat
Segala syariat yang ada tidak akan terlepas dari tujuan dibalik pensyariatannya demikian pula dengan niat di dalamnya ada beberapa maksud dan tujuan yang melatar belakanginya diantaranya :
a.            Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya bersifat kebiasaan belaka.[19] seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal ini merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah.
Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an dan sebagainya. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
b.           Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya[20] Dengan niat ini pula kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa.


E.       Syarat sah Niat[21]
1.       Islam
2.       Tamyiz
3.       Al-‘ilmu bi al-manwi (mengetahui terhadap yang diniati)
4.        ‘adam al-ityan bima yunafiha (tidak ada sesuatu yang mencegah niat)
5.        ‘adamu ta’liq qat’iha bisyaiin ( tidak bergantung pada sesuatu yang lain)

F.       Kaidah-kaidah yang dapat ditarik daripadanya[22]
a.      لاثواب إلا بالنية
Artinya: Tidak ada pahala selain dengan niat.
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik. Ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama.
Adapun mengenai sahnya amal, ada yang telah disepakati oleh para ulama bahwa niat itu sebagai syaratnya, scperti shalat dan tayammum. Dan ada juga yang masih diperselisihkan, seperti niat di dalam wudhu. Ulama Syafi'iyah dan Malikiyah menganggap niat itu sebagai fardhu (wajib), ulama Hanabilah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama Hanafiyah menetapkan sebagai sunnat muakkadah. Artinya jika dengan niat, wudhunya merupakan ibadah yang dipahalai, jika tidak, tidak dipahalai, sekalipun shalatnya sah juga.
Kesukaran yang berlebih-lebihan yang dimaksudkan untuk menambah pahala, justru tidak akan dipahalai. Tetapi yang dipahalai ialah kesukaran yang lazim dalam melakukan amal itu.
b.      مايشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل
Artinya: Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkan amalnya.
Misalnya kekeliruan menyatakan niat:
a.       Dalam sembahyang zhuhur dengan sembahyang ashar,
b.      Dalam sembahyang idul fitri dengan idul adha,
c.       Dalam sembahyang rawatib zhuhur dengan rawatib ashar,
d.      Dalam sembahyang dua raka'at ihram dengan dua rakaat thawaf dan sebaliknya,
e.       Dalam berpuasa 'arafah dengan puasa 'asyura, dan sebagainya, menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan. Disebabkan masing-masing dari perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan ibadah yang satu dengan lainnya.


c.       ما يشترط التعرض له جملة ولايشترط تعيينه تفصيلا إذا عينه وأخطأ ضر
Artinya: Perbuatan yang secara keseluruhan dikaruskan niat tetapi secara terperinci tidak diharvskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya.
Misalnya :
a.       Seorang bersembahyang jama'ah dengan niat ma'mum kepada Muhammad. Ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Muhammad, tetapi Amin. Shalat  Jama'ah orang tersebut tidak sah. Sebab keimamahannya telah digugurkan oleh Amin sedang niat kema'mumannya telah digugurkan oleh Muhammad, lantaran berma'mumnya dengan Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjama'ah tidak disyaratkan. Tetapi yang disyaratkan ialah niatnya berjama'ah.
b.      Seseorang dalam bersembahyang jenazah menyatakan niatnya menyembahyangkan jenazah Bakar. Tetapi ternyata yang disembahyangkan adalah jenazah Ali, atau menyatakan niatnya menyembahyangkan jenazah seorang wanita, tetapi jenazahnya ternyata jenazah seorang laki-laki. Maka sembahyang tersebut tidak sah, sebab di dalam sembahyang jenazah tidak disyaratkan menyatakan niatnya untuk jenazah tertentu, tetapi cukuplah kiranya apabila niat bersembahyang jenazah begitu saja.
c.       Demikian juga menyatakan niat bersembahyang jenazah untuk sepuluh orang, padahal jenazahnya lebih dari sepuluh orang. Maka sembahyangnya harus diulang, sebab masih ada beberapa jenazah yang tidak disembahyangkan. Menyatakan jumlah jenazah yang disembahyangkan tidak diwajibkan.
d.      Orang bersembahyang zhuhur dengan menyatakan niat­nya 3 atau 5 raka'at. Maka shalatnya tidak sah, sebab menyata­kan bilangan raka'at shalat itu bukan merupakan syarat mutlak.

4.       ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر
Artinya: “Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyalakannya dan ternyata keliru, tidak berbahaya”.
Misalnya :
a.       Seseorang bersembahyang 'ashar dengan menyatakan niatnya bersembahyang di masjid IAIN Sunan Kalijaga, padahal ia bersembahyang di masjid Syuhada Yogyakarta, Sembahyang orang tersebut tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah dipenuhi dan benar sedang yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan tentang pernyataan tempat sembah­yang tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik secara garis besarnya maupun secara terperinci.
b.      Seseorang bersembahyang dengan menyatakan pada niatnya sembahyang pada hari kamis, padahal hari yang ia sembahyang itu adalah hari jum'at, maka sembahyangnya tidak batal sama sekali. Sebab menyatakan hari tanggal ia sembah­yang tidak disyari'atkan.
c.       Seorang imam yang bersembahyang dengan menyatakan niatnya sebagai imam dari Ahmad, padahal yang ma'mum di belakangnya adalah Mahmud. Maka sembahyangnya tidak ba­tal. Sebab imam itu tidak diharuskan menyatakan niatnya tentang siapa orang yang berma'mum di belakangnya.
5.        مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Artinya: Maksud lafazh itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.
Misalnya :
a.       Seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq (orang yang tertalak) atau seorang tuan pemilik budak memang­gil budaknya yang bernama Hurrah (orang yang bebas), maka jika memanggilnya tersebut diniatkan untuk mentalak istrinya atau memerdekakan budaknya, tercapailah maksudnya. Tetapi kalau hanya bermaksud untuk memanggil belaka tidak membawa akibat yang demikian.
b.      Jika seseorang di tengah-tengah menjalankan sembah­yang mengeluarkan ucapan-ucapan yang berupa ayat Al-Qur'an dan tidak ada maksud lain kecuali membaca Al-Qur'an, maka yang demikian itu jelas diperbolehkan. Tetapi jika dimaksudkan untuk memberitahukan atau memerintahkan kepada seseorang, seperti mengucapkan ayat:
 ٱدۡخُلُوهَا بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ ٤٦
Artinya: Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”.(Q.S. al-Hijr : 46)
Untuk memberikan izin masuk kepada orang yang sedang mengunjunginya.
dan kalimat:
يَٰيَحۡيَىٰ خُذِ ٱلۡكِتَٰبَ بِقُوَّةٖۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ ٱلۡحُكۡمَ صَبِيّٗا ١٢
Artinya: Hai Yahya, ambillah kitab ini dengan sungguh-sungguh”(Q.S. Maryam: 12)
Dengan maksud memberikan perintah kepada Yahya untuk mengambil buku yang telah ditunjuk, maka sembahyangnya batal.
c.       Seorang  yang  berniat  melakukan  perbuatan  dengan diikuti ucapan musyiah (masya Allah), jika dimaksudkannya sebagai menggantungkan niatnya, perbuatan tersebut batal. Tetapi jika hanya sebagai tabarru’ (mengharapkan berkah) saja, tidak   batal, sebagaimana   halnya  jika   dimaksudkan secara mutlak.
d.      Seorang suami menjatuhkan talak kepada isrinya be-rulang-ulang sampai tiga kali dengan tidak memkai  huruf 'athaf (kata penghubung) di antara kalimat yang satu dengan lainnya, maka jika masing-masing kalimat itu dimaksudkan berdiri sendiri dan sebagai awal kalimat (isti'naf), jatuh talak tiga. Tetapi jika hanya sebagai penguat saja, hanya jatuh talak satu.


[1] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Amzah, 2009), 28
[2] Abi ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Firuz Abadi al-Syirazi. Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’ie. (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 22
[3] Jaih Mubarok. Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), 115
[4] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri. (semarang:Usaha Keluarga, t.th), jil. I, hlm. 47
[5] Al-Jaziry, Abdurrahman , Al-Fikh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: tanpa tahun, Ihya Al-turats Al-Aroby, hal.209
[6] Abi Abdallah muhammad Ibn Isma’il Ibrahim Ibn al-Mughiroh Ibn Berdazabah al-Bukhari al-Ja’fi. Shahih Bukhari. (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th) j. 1. Hal. 2
[7] Jalal al-Din Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, al-Ashbah wa an-Nazha’ir. (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 39
[8] Rahmat Syafi’ie. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 276
[9] Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah, 10
[10] Jalal al-Din Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti.al-Ashbah wa an-Nazha’ir, 39
[11] Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah,11
[12] Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah,10
[13] Jalal al-Din Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti.al-Ashbah wa an-Nazha’ir,39
[14] Imam Muslim. Shahih Muslim. (bandung: Dahlan, t.th), jil. II, hlm. 63
[15] Jalal al-Din Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti.al-Ashbah wa an-Nazha’ir,41
[16] Ibid, hal. 209
[17] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawa’id Fiqhiyyah,18
[18] Muhammad Shidqi Ib Ahmad al-burnu. Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyat. (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1983), 63-64
[19] Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah.  (Ploso: Mahfudhat Linnasyir, t.th), 11
[20] Ibid.
[21] Zain bin Ibrahim bin Zain bin Syith. At-Taqrirath as-Sadidah  fi al-Masa’il al-Mufidah. (Surabaya: Dar  al-‘Ulum al-Islamiyah, 2006), 83
[22] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), 492-496.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Postingan yang Lain