Terbaru

SUKSES MENJADI ORANG TUA HEBAT UNTUK ANAK



Seringkali kita temukan terjadi konflik antara orang tua dan anak, sebab tidak ada upaya untuk memahami satu sama lain antara orang tua dan anak. Kalaupun ada, tak jarang salah dalam menyikapinya. Dampak jangka panjangnya adalah menjauhnya hubungan antara orang tua dan anak, anak enggan bercerita kepada orang tuanya, dan orang tua juga segan memberikan pengertian kepada anaknya.

Langkah awal untuk memperbaikinya adalah dengan memperbaiki pola fikir kita tentang peran sebagai orang tua, tipe orang tua dalam mendidik berikut hasilnya serta memahami tipe-tipe anak dan cara mendidiknya. serta

A. TIPOLOGI ORANG TUA DALAM MENDIDIK, BERIKUT HASILNYA

1. OTORITER

- Apabila orang tua merasa paling tahu, maka anak menjadi merasa kurang dan sulit mengaktualisasikan jati diri
- Apabila orang tua merasa berkuasa, maka anak menjadi tidak berdaya dan tidak berprestari
- Apabila orang tua selalu memerintah, maka anak menjadi menurut dan kepedulian yang rendah
- Apabila orang tua selalu menyalahkan dan merasa benar, maka anak menjadi takut salah dan tidak peduli
- Apabila orang tua emosional, maka anak menjadi temperamen dan mendahulukan emosi untuk menyelesaikan masalah
- Apabila orang tua selalu menolong, maka anak menjadi menerima saja dan mudah terpengaruh

 2. MELINDUNGI

- Apabila orang tua selalu memanjakan, maka anak menjadi tergantung dan sulit berperan dewasa
- Apabila orang tua selalu menenangkan, maka anak menjadi terjamin dan berkuasa
-Apabila orang tua selalu membela, maka anak menjadi berlindung pada orang tua dan tidak tahan banting

 3. MEMBEBASKAN

- Apabila orang tua sangat percaya pada anak maka anak menjadi menganggap dewasa dan semua kemauan harus dituruti
- Apabila orang tua mengijinkan semua permintaan anak maka anak menjadi tidak terikat sistem dan binal

4. TAULADAN

- Apabila orang tua selalu mengarahkan atau menjelaska, maka anak menjadi hormat kepada orang tua dan menjaga nama baik keluarga.
- Apabila orang tua selau berdialog dengan akan, maka anak akan senang berdiskusi dan mudah bersoalisasi
- Apabila orang tua selalu memberi pedoman (mempunyai prinsip), maka akan akan mempunyai kesadaran tujuan hidup dan mempunyai prinsip
- Apabila orang tua mengajak kerjasama anak, maka anak merasa diperlukan dan menjadi dewasa
- Apabila orang tua selalu membimbing, maka anak akan memiliki tempat bertanya dan memiliki akar dalam keluarga


B. TIPOLOGI KARAKTER ANAK DAN SOLUSINYA

1. ACHIEVER

Anak ini lahir dari motivasi yang sangat tinggi , kebutuhan berpestrasi tidak realistis.

Cirinya (sebenanrnya tidak muncul) karena anak ini “intovert” , tapi anak ini sulit menerima kekalahan , merasa “paling” , kurang sportif , senang melihat oranglain susah (dan sebaliknya) , tidak suka event* pada perlombaan .

Solusi : orangtua tidak seharusnya memaksakan anak untuk menjadi “lebih” , tetapi beri dia pengertian dan tetap memberinya motivasi ketika dia “kalah” .Lahir dari tuntutan tidak orang tua yang tidak realistis atau orang tuanya suka membandingkan , dan anak tidak pernah di terima menjadi dirinya sendiri .

2. DEFENSIF

Pertahanan dirinya tinggi sekali, apabila sudah punya prinsip itu kuat , klo memerhatikan sesuatu detil sekali ,apabila di beri amanat biasanya memegang amanat dgn baik , tapi biasanya org bilang anak ini “keras kepala”.

Ciri : Anak seperti ini cnderung suka berbohong mencari kambing hitam terutama dlm kondisi tertekanLahir dari pola asuh tekanan terlalu tinggi , tuntutan untuk disiplin terlalu tinggi tanpa ada penjelasan yg cukup jadi sifatnya orang tua memberikan aturan itu secara doktrin , akhirnya tanpa disadari si anak meniru pola* seperti ini.

Solusi : harus banyak refreshing , harus banyak komunikasi 2 arah .

3. ORDINATIF

Anak ini melakukan sesuatu dengan teratur , tanpa harus di suruh , tapi apabila anak ini di suruh susah , maksudnya ketika anak itu di suruh (meskipun anak itu tau kegiatannya) , anak itu akan tersinggung , anak ini anti suara tinggi .

Sebab : lahir dari pola asuh lahir dari terlalu banyak perintah/intruksi dengan nada tinggi

Solusinya : jangan ada kekuasaan, atau akan di kuasai balik .

4. INTUITIF

Anak ini peka , jiwa sosial tinggi , gampang merasa iba , tapi sensitif , emosional , cengeng, tidak bisa cuek , gampang mengambil kesimpulan , gampang berubah , mudah untuk memperbaiki diri , tidak bisa mengelola emosinya (reaktif) .

Sebab : pola asuh embivalen/antagonis , perbedaan presepsi orang tua (maksudnya , ketika sang anak meminta ijin untuk mengikuti suatu kegiatan orang tua berbeda pendapat diantara YA/TIDAK) dan perbedaan presepsi itu di ungkapkan di depan anak mereka.

Solusi : orang tua harus kompak di depan anak , dan anak di ajarkan utuk asetif ( mengelurkan pendapat , tanpa menyakiti orang lain )

5. AFILIATIF

Anak ini senang main , mempunyai banyak teman , anaknya asik namun mudah terpengaruh , anak pada tipe ini bisa di bilang rawan.

Sebab : kurang perhatian dari orang tuanya .

Solusi : orang tua harus jadi sahabat .

6. EXHIBITIONIST

Anak ini over-PD , overacting , usil , jail , belajar tidak konsentrasi.

Sebab : krisis pujian , orang tua tidak pernah memberikan reward kepada sang anak , tapi lebih sering memeberikan punishment.

Solusi : ketika belajar duduknya harus paling depan , orangtua harus memberi reward .

7. SUCUMTIF

Kebutuhan anak akan kelekatan lingkungan sangat besar , patuh

Sebab : pola asuh orangtua menyangsikan/dianggap tidak mampu dalam melakukan suatu pekerjaan

Solusi : orangtua di harapkan tidak mengaggap remeh (tidak bisa) pada sang anak ketika dia mencoba melakukan sesuatu , harus selalu di support.

8. NUTURATIF

Kebutuhan sempurna sangat besar , tidak PD , terawat , plin-plan

Sebab : terlalu banyak di kritik , minim pujian .

Solusi : harus di cukupkan pujian

9. DOMINATIF

Kebutuhan menguasai terlalu tinggi.

Sebab : pola asuh orang tua terlalu memanjakan anak

Solusi : ketegasan tentang tanggung jawab

10. LOYALIST

Sangat penurut tapi kalau sudah berada di luar “bagai burung yang lepas dari sangkarnya” , terlalu di sibukan oleh respons orang lain .

Sebab : lahir dari pola asuh orangtua yang sangat dikdator , dan anak tidak pernah di hadapkan dengan pilihan , tapidi paksakan pada salah satu putusan , tidak ada kata maaf , sangat setia , dan patuh .

Solusi : orangtua harusnya memberikan sang anak untuk bebas dalam mengatakan apa yang di inginkannya

11. HETEROSEKSUAL

Anak ini senang mendapat pengakuan dari lawan jenisnya.

Sebab : karena kurangnya perhatian dari orang tua yang lawan jenis

Solusi : seharusnya setiap anak itu paling dekat dengan orangtuanya yang berlawanan jenis , jadikan mereka sebagai tempat curhat

12. POWER ENERGITIC

Anak ini slalu merusak , dan jadi biang kerok.

Sebab : karena energinya yang besar , tapi tidak tersalurkan

Solusi : orang tua harus memberika fasilits lebih untuk anaknya , untuk menyalurkan bakatnya itu .

Semoga bermanfaat. Semoga kita dapat menjadi orang tua yang dipenuhi dengan kelembutan, kasih sayang, dan keteladanan untuk anak-anak kita. aamiin

Markaz Inspirasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

MANAJEMEN WAKTU - SKALA PRIORITAS



“Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa kaum, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu mereka daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham” (Al-Hasan Basri)

Waktu tak dapat diulang dan akan terus berputar tanpa henti hingga waktu itu sendiri berakhir dan mati. Jika kita tak dapat mengendalikan waktu kita, maka kita yang akan dikendalikan oleh waktu. Suka atau tidak, begitulah nyatanya.

Kita bisa membeli apapun dengan uang kita, tapi tidak untuk waktu. Jika ditunda, tertunda yang lainnya. Jika Terlewat, ikut terlewat yang lainnya. Jika habis, ikut habis semua yang ada di dalamnya.

Siapa saja diantara kita yang hari ini sama dengan hari sebelumnya, MERUGIlah kita. Jika hari malah lebih buruk dari kemarin, CELAKA lah kita. Tapi jika hari ini lebih baik dari kemarin, termasuk orang-orang BERUNTUNG lah kita.

Diantara kiat-kiat mengatur waktu, salah satunya adalah dengan pandai menempatkan skala prioritas. Sayangnya, kebanyakan kita kurang apik dalam mengatur skala prioritas. Bukan berdasarkan yang kita butuhkan, tapi hanya berdasarkan apa yang kita inginkan. Celakanya lagi yang benar-benar tidak penting malah kita dahulukan.

Islam sebagai agama yang besar dan lengkap sudah mengatur tentang bagaimana mengatur skala prioritas. Misalnya, dalam sebuah kaidah fiqh dikatakan,

فإن تزاحَمْ عَدَدُ المَصالِح يُقدّمُ الأعلَي مِن المَصالِح

Bila sejumlah kemaslahatan berbenturan maka diutamakan yang paling besar maslahatnya.

Misal, sering kan kita temukan pengajian yang bablas sampai isya', pasti pernah terlintas di dalam hati kita,

"Kok bukannya langsung shalat, malah meneruskan pengajian dan menunda shalat isya? Bukannya shalat di awal waktu itu sunnah?"

Betul, shalat di awal waktu itu sunnah. Tapi menuntut ilmu itu kan wajib, pengajian itu juga dalam rangka menuntut ilmu. Jadi ketika yang wajib (Pengajian) bertemu dengan yang sunnah (Shalat di awal waktu), maka yang wajib dahulu yang diselesaikan, yaitu pengajiannya.

Sebab itu ulama membagi hukum islam itu menjadi lima tingkatan. Mulai dari yang fardhu (wajib), mandub (sunnah), Jaiz (Mubah, Makruh dan Haram. Jika bertemu yang wajib dengan yang sunnah, maka dahulukan yang wajib. Jika bertemu yang sunnah dengan yang mubah, maka dahulukan yang sunnah. Apalagi jika bertemu yang sunnah dan yang haram, tentu yang sunnah harus diutamakan dan yang haram kudu ditinggalkan.

Sehingga dapat dibuat kesimpulan tingkatan skala prioritas seperti pada gambar :

Pertama, dahulukan yang benar-benar penting dan mendesak.

Kedua, pilih yang mendesak, walau tidak terlalu penting. Tidak terlalu penting disini bukan berarti tidak penting. tapi ada kepentingan yang tingkatnya berbeda. seperti contoh antara shalat di awal waktu dan pengajian di atas.

Ketiga, setelah yang mendesak sudah selesai semua, lalu kerjakan yang penting berikutnya.

Keempat, barulah kita isi waktu kita dengan hal yang tidak terlalu mendesak dan tidak terlalu penting untuk kita.

Contoh untuk yang benar-benar mendesak dan sangat penting. Memilih makan siang dahulu atau shalat dahulu. Makan memang penting, tapi tidak mendesak, karena bisa ditahan. Tapi shalat di awal waktu itu gak bisa ditunda, dan harus dikerjakan berjama'ah untuk yang laki-laki. Jadi dahulukan shalat berjama'ah di awal waktu, baru kemudian makan siang setelahnya.

Contoh lain yang mendesak tapi tidak terlalu penting. Misalnya, antara berbuka di awal waktu dengan shalat di awal waktu. keduanya penting, dan sama-sama sunnah. Tapi berbuka di awal waktu lebih didahulukan, baru kemudian shalat di awal waktu.

Jadi, dahulukan yang benar-benar mendesak dan sangat penting untuk kita. Awalnya mungkin sulit, karena tak biasa. Biasakanlah, maka akan menjadi mudah dan terbiasa.

Sederhana bukan? Semoga bermanfaat. Selamat mencoba.

Salam inspirator peradaban.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Kekufuran Istri kepada Suami



Suatu kisah terjadi dialog antar dua insan yang saling mencinta. Pasangan muda yang baru saja menikah beberapa bulan ini sedang membicarakan seputar rumah tangga mereka.

Istri: Bang, Kemarin Pas pengajian, teman pengajianku cerita. Suaminya pengertian sekali kepadanya, setiap kerja diantar dan pulangnya dijemput oleh suaminya, disaat sedih suaminya menghiburnya, disaat lelah suaminya membantunya, disaat putus asa suaminya menguatkannya. beberapa hari yang lalu bahkan memberikan surprise kepada istrinya berupa bunga yang cantik sekali. Romantis ya bang, coba deh abang belajar dari suaminya teman pengajianku itu, biar abang bisa seperti suaminya temanku itu hehehe

Suami: Astaghfirullah... Istighfarlah kamu dik, di satu sisi aku bahagia kamu Menasihatiku untuk menjadi suami yang baik untukmu. Tapi di satu sisi lagi, aku khawatir karena ucapanmu itu akan menjadi sebab Allah memasukanmu ke neraka.

Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

""Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari"". Ditanyakan: ""Apakah mereka mengingkari Allah?"" Beliau bersabda: ""Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: 'aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu"". " (Shahih bukhari no 28)

Sang istri pun beristighfar menyesali perbuatannya, kemudian mencium tangan suaminya dengan air mata yang mengalir deras dari kelopak matanya.

Istri : Maafkan aku yang durhaka ini ya bang... aku menyesal. Aku janji apapun yang datang dari abang pasti akan selalu kusyukuri sepenuh hati dan tidak akan pernah sekalipun llagi terlintas untuk mengkufuri dan mendurhakainya.

Suami : Angkat kepalamu dik (diangkat dan diusap kepala istrinya), kamu sudah menjadi istri yang baik kok selama ini untuk abang. Maafkan abang yang belum dapat membahagiakanmu dengan maksimal. Abang berjanji akan terus mencintaimu dan membahagiakanmu sampai mati.

Berakhir dengan tatapan dan senyuman kasih sayang diantara sepasang kekasih yang saling mengikat janji

oleh: @dhezun | Markaz Inspirasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

Batas sebuah Keta’atan (Belajar keta’atan dari seekor singa)


Di sebuah padang pasir di kawasan afrika, hidup satu kawanan singa yang dipimpin oleh seekor singa jantan dewasa yang gagah perkasa, yang mempimpin lima belas ekor singa betina, dan 10 ekor singa yang masih belia dengan usia dua sampai empat tahun setelah kelahirannya.

Setiap sore biasanya kawanan singa berburu mangsa secara berkelompok di daerah kekuasaanya yang mencapai 400 Km2. Meski singa jantan adalah pemimpinnya, sangat jarang singa jantan ikut serta dalam perburuan kelompoknya, hanya singa-singa betina yang biasanya turun untuk berburu mangsa.

Saat singa-singa betina berburu mangsa, singa jantan lebih banyak menghabiskan waktunya menjaga daerah kekuasaannya dari singa jantan dari kawanan sebelah yang mencoba merebut daerah kekuasaannya. Tugas lain yang juga menjadi tanggung jawabnya adalah mendidik singa-singa jantan muda yang lainnya agar kelak dapat menjadi singa jantan yang hebat dan bertanggung jawab.

Bukan karena singa jantan takut dan tak memiliki keahlian. Tapi fisiknya yang sangat besar, membuatnya mudah terlihat ketika mengintai mangsa. Selain itu, dari segi kelincahan dan kecepatan, singa jantan jauh lebih lambat dibandingkan singa betina, singa betina mampu berlari dengan kecepatan mencapai 81 Km/Jam, sedangkan singa jantan hanya mampu berlari dengan kecepatan mencapai 58 Km/Jam. Hal itu disebabkan oleh jantung yang dimiliki singa jantan hanya sebesar 0,41% dari berat tubuhnya, sedangkan singa betina memiliki berat jantung 0,51% dari berat tubuhnya, sehingga mempengaruhi kecepatan dan kelincahannya.

Di suatu sore hari yang cerah dan menyejukkan, singa-singa betina sedang bersiap untuk melakukan aktifitas rutinnya berburu mangsa. Setelah singa-singa betina pergi untuk berburu, singa jantan melakukan tugasnya mendidik singa-singa jantan yang masih muda.

Mereka berkumpul membentuk lingkaran di bawah pohon rindang. Terlihat antusias dan semangat singa-singa jantan muda yang tak sabar mendapatkan pelajaran yang akan dipelajarinya hari itu.
“wahai singa muda yang gagah perkasa, Hari ini kita akan belajar tentang arti sebuah keta’atan. Aku akan memberikan pelajaran sejauh mana batas keta’atan itu harus dilakukan” Jelas singa jantan dewasa memulai pelajarannya.

“Sebelum kita memulai pelajarannya, ada dua syarat yang harus kalian patuhi. Pertama, jangan bertanya tentang alasan kenapa Aku meminta kalian melakukan sesuatu. Kedua, Lakukan apa yang aku perintahkan secara totalitas, dengan seluruh daya dan upaya yang kalian miliki, dalam keadaan senang atau tidak, mudah atau sulit, kalian harus melakukannya.” Syarat dari singa jantan dewasa.
 Pelajaran dimulai.

Diajaknya berkeliling singa-singa jantan muda itu mengitari daerah kekuasaanya oleh singa jantan dewasa.

Terlihat tiga ekor anak singa yang berusia sekitar tiga bulan yang berasal kawanan lain memasuki daerah kekuasaan mereka. Sepertinya mereka terpisah dan tersesat dari kawanannya.

Melihat hal itu, singa jantan memberikan pelajaran pertama kepada singa-singa jantan muda.

“Tangkap dan bunuh anak-anak singa itu ! Jangan sisakan satupun yang hidup diantara mereka” Perintah singa jantan  dewasa.

Dengan sigap kesepuluh singa-singa jantan muda berlari mengejar anak-anak singa yang masuk ke daerah kekuasaan mereka. Ketiga anak singa yang malang itu lari ketakutan menghindari sekuat tenaga dari kejaran singa-singa jantan muda. Kalah fisik dan kalah cepat, akhirnya ketiga anak singa itu dapat ditangkap tanpa perlawanan berarti.

Singa-singa jantan muda bersiap menuntaskan tugas yang diperintahkan kepada mereka, dicengkram leher ketiga anak singa itu, taring yang tajam siap menyobek leher dan memutus urat leher ketiga anak singa yang malang itu.

“Tunggu ! Cukup ! Lepaskan ketiga anak singa itu ! kembalikan mereka kepada kawanan mereka !” Perintah singa jantan dewasa setengah berteriak.

Mendapatkan perintah seperti itu membuat singa-singa muda itu kebingungan.

“Wahai guru, bukannya engkau yang menyuruh kami menangkap dan membunuh mereka? Kenapa tiba-tiba Engkau berubah fikiran untuk melepaskan mereka bahkan mengembalikan mereka kepada kawanannya?” Tanya salah satu singa muda mencoba mendapatkan penjelasan.

“Wahai muridku, sudahkah kau lupa dengan kedua syarat yang aku sampaikan sebelum kita memulai pelajaran hari ini?” Jawab singa jantan dewasa.

Teringat akan syarat bahwa tidak boleh ada yang bertanya tentang apapun yang diperintahkan sang guru, sampai beliau sendiri yang menjelaskannya, akhirnya singa jantan muda ini meminta maaf dan siap menerima hukumannya.

“iya guru… maaf aku melanggar syarat itu… silahkan kau jatuhkan sanksi kepadaku asal kau mengijinkanku kembali ikut serta dalam pelajaranmu hari ini” Pinta salah satu singa jantan muda.

Gurunya pun mengizinkannya dengan memberikan hukuman kepada singa jantan muda untuk mengantarkan seorang diri ketiga anak singa itu ke kawanannya.

Sekembalinya salah satu singa jantan muda itu dari mengantar ketiga anak singa yang tersesat, guru melanjutkan pelajarannya.

“Perlu kalian ketahui wahai muridku, Setiap kawanan singa pada umumnya memiliki daerah kekuasaan sekitar 200-400 KM2. Sedangkan kawanan kita memiliki daerah kekuasaan mencapai 400 Km2. Seorang pejantan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keamanan dan keselamatan kawanan dan kekuasaannya dari singa-singa lain yang mencoba merebutnya. Untuk itu, seorang singa jantan harus memiliki fisik yang kuat.” Jelas singa jantan dewasa memulai pelajarannya yang kedua.

“Kita akan berlatih fisik sekarang, ikutilah aku mengelilingi daerah kekuasaan kita, jangan berhenti kecuali aku perintahkan untuk berhenti, jika aku berjalan kalian ikut berjalan, jika aku berlari maka kalian harus berlari di belakangku” Perintah singa jantan dewasa.

Singa-singa jantan muda mengikuti tanpa bantahan sedikitpun.

Mereka mulai dengan mengitari sambil berjalan seluruh daerah kekuasaan mereka, tak tampak ada kelelahan berarti setelah mereka mengitari satu putaran penuh  daerah kekuasan mereka.

Selanjutnya singa dewasa mempercepat jalannya dua kali lipat dari sebelumnya. Satu putaran penuh daerah kekuasaan pun ditempuh. Mulai berasa terengah-engah dengan mulut yang menganga pada mereka.

Diputaran ketiga singa jantan dewasa tiba-tiba berlari. Singa-singa jantan muda yang ada di belakangnya ikut berlari mengejarnya. Baru seperempat putaran, para singa jantan muda tampak kewalahan. Nafas sesak dirasa. Hingga pada akhirnya satu persatu singa-singa jantan muda itu berhenti mengikuti singan jantan dewasa yang masih terus berlari mengelilingi daerah kawasan.

Satu putaran penuh daerah kekuasaan dilewati singa jantan dewasa dengan berlari tanpa berhenti sedetikpun. Di putaran keempat tampak sudah kepayahan singa jantan dewasa itu. Tapi ia masih tetap berdiri tegak mencoba untuk bertahan. Di perempat putaran keempat tampak singa jantan dewasa menyeret kaki dan tubuhnya untuk terus melangkah kedepan. Hingga pada akhirnya singa jantan itu ambruk dan kemudian pingsan.

Beberapa menit kemudian singa jantan dewasa itu tersadar. Setelah tersadar dan dilihat keadaan singa jantan dewasa sudah pulih, singa-singa jantan muda yang daritadi menunggu kepulihannya pun bertanya kepadanya.

“ Wahai guruku… Sebenarnya apa yang hendak kamu ajari kepada kami sehingga engkau rela melakukan hal yang memberatkan dan menyiksamu?” Tanya murid-muridnya dengan nada keheranan

“Wahai murid-muridku yang aku banggakan. Sesungguhnya tanda baiknya seseorang adalah dilihat dari keta’atannya kepada orang yang memimpinnya. Ia menyambut panggilannya, meski ia suka ataupun tidak, mudah atau sulit, senang atau menderita. Tak kan pernah terlahir seorang pemimpin yang baik, jika tak ada keta’atan kepada pemimpinnya ketika ia menjadi seorang pasukan. Kalian adalah calon-calon pemimpin yang akan meneruskanku, oleh sebab itu aku meminta kalian untuk menta’ati apapun yang aku perintahkan kepada kalian. Sehingga kelak ketika kalian menjadi pemimpin, menjadi pemimpin yang baik, kalian akan bijaksana dalam memberikan perintah kepada siapa saja yang mengikuti kalian”

“ Ketika aku minta kalian menangkap dan membunuh ketiga anak singa itu, kemudian malah aku perintahkan untuk melepaskan dan mengembalikannya, sehingga membuat kalian bingung. Muridku, sesungguhnya tak ada sedikitpun keta’atan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan berlaku zalim kepada yang lain. Aku harapkan kelak kalian menjadi pemimpin yang memiliki hati, yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang salah dan benar. Sehingga apa yang kalian perintahkan adalah perintah yang benar dan baik, yang tak menjerumuskan kepada kemaksiatan dan kezaliman”

“Yang ketiga, yaitu ketika aku meminta kalian mengikutiku sampai aku perintahkan untuk berhenti.. Maksudnya adalah agar kelak kalian memiliki totalitas dalam keta’atan dalam kebaikan. Tidak berhenti ketika kalian lelah, tidak berhenti ketika kalian terpuruk, tidak berhenti ketika kalian sakit, dan tidak berhenti ketika beratnya perintah yang diberikan. Buatlah kelelahan itu lelah mengikuti kalian, buatlah keterpurukan itu terpuruk menghadapi kalian, buatlah rasa sakit itu menjadi sebuah kebahagiaan, buatlah beratnya beban itu hancur lebur dengan kerasnya tekad perjuangan. Tak ada yang dapat menghentikan kalian. Kecuali kesadaran hilang dari fikiran, fisik sudah tak dapat digerakan, dan ruh pergi meninggalkan. Itulah batas sebuah keta’atan”

Tutup singa jantan dewasa mengakhiri pelajaran hari itu.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Personal Branding, Rahasia Sukses Menjemput Mimpi



Salah satu kunci keberhasilan meraih mimpi adalah dengan memperbanyak silaturrahim.

Diantara langkah efektif untuk memperbanyak silaturrahim adalah dengan membangun personal branding.

Yang pertama harus dilakukan adalah membuat orang mengenal kita, bagaimanapun caranya, cara yang paling efektif agar orang memberikan perhatiannya kepada kita adalah dengan membuat diri kita berbeda secara drastis dari yang lainnya.

Baru setelahnya kita membuat orang kenal kita sebagai apa, caranya dengan menghasilkan karya-karya luar biasa dan manfaat yang besar untuk orang-orang di sekitar kita. ketika orang sudah kenal kita sebagai apa, itu adalah keberhasilan kita dalam personal branding.

Ketika personal branding sudah berhasil, orang mengenal kita sebagai apa, kemudian orang akan memberikan kepercayaannya kepada kita. Silaturrahimnya bukan hanya kenal semata, tapi akan menjadi silaturrahim yang saling memahami, saling membantu, atau bahkan mendahulukan diri kita dibandingkan dirinya.

Hingga pada akhirnya, dengan diminta atau tidak, mereka akan membantu kita mewujudkan mimpi-mimpi kita.

Sebenarnya ini ilmu mahal, tapi terpaksa saya buka disini, inilah yang sedang saya lakukan. Jadi jangan kaget ya kalau status/tweet/sikap saya sangat menarik untuk dibaca dan diperhatikan.
Hahahaha

"Seorang Inspirator selalu punya alasan dibalik sikap dan perbuatannya, Meski Orang lain memandangnya sebagai orang Yang ANEH dan GILA"
‪#‎NasihatGURU‬

@dhezun
Comments
0 Comments

0 komentar:

Allah sudah mengaturnya... Pasrahkan saja... ???


 Rezeki memang sudah ada yang mengaturnya, yaitu Allah... bahkan seluruh kehidupan kita, baik itu rezeki, jodoh, hidup dan mati kita, semenjak ruh ditiupkan pada usia 4 bulan di dalam kandungan sampai kita mati, juga sudah diatur oleh Allah di dalam lauful mahfudz.

Tapi semuanya itu tidak ujug-ujug turun, ada asbabnya. mau dapet rezeki banyak, ya harus ikhtiar lebih keras, bukan tidur di rumah tanpa ada upaya. kalau kita beranggapan bahwa rezeki sudah diatur, lantas kita tidak berbuat apa-apa, itu salah.

Itu seperti kaum jabariyyah yang mengatakan bahwa Allah yang berkehendak penuh terhadap takdir manusia, manusia tidak memiliki kehendak sama sekali. Seperti boneka yang digerakkan tuannya. zina nya manusia bukan karena manusia mau berzina, tapi karena Allah yang mau kita berzina, bermaksiatnya manusia bukan karena manusia mau bermaksiat, tapi karena Allah yang berkehendak manusia untuk bermaksiat. ini salah...

Ada lagi lawannya, yaitu paham qadariah, mereka mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak penuh terhadap takdir dan kehidupan manusia, sedangkan Allah hanya bertugas menciptakan manusia saja. Allah itu ibarat tukang jam, dan manusia itu jam nya, manusia berjalan sendiri dalam takdirnya tanpa ada campur tangan Allah di dalamnya. Suksesnya manusia karena usahanya, bukan karena Allah. Miskin dan kayanya manusia juga karena manusia sendiri dengan usahanya, bukan karena Allah. begitu katanya... ini juga salah...

Dalam ahlu sunnah, Allah menciptakan takdir untuk Manusia, tapi manusia memiliki kehendak dan ikhtiar untuk memilih takdirnya. Sebab itu kita diperintahkan belajar supaya kita mengetahui apa yang tidak kita ketahui, kita diperintahkan mencari rizki yang halalan thayyiban supaya kita dapat memenuhi kebutuhan kita, serta tidak meninggalkan keluarga dan keturunan dalam kemiskinan.

Bedakan antara pasrah dan tawakkal. pasrah dekat dengan putus asa terhadap takdir, tidak melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Tawakkal itu diawali dengan ikhtiar yang totalitas untuk menjemput takdir, lalu memberikan keputusannya kepada Allah terhadap hasilnya.

Ikhtiar juga bukan sembarang ikhtiar, lakukan ikhtiar yang baik. Ikhtiar yang tidak melanggar syari'atnya, yang dapat mendatangkan keridhaan dari Allah subhanallahu wa ta'ala. Bukan ikhtiar yang malah menjerumuskan kita dalam kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah subhanallahu wa ta'ala. misalnya, ingin kaya, kemudian datang ke dukun supaya dilancarkan rezekinya, lah ini juga salah...  kalau tuh dukun bisa lancarin rezeki orang, mendingan dia lancarin rezeki dia sendiri dan jadi orang terkaya di dunia kan?

Lakuin hal hal yang dapat mendatangkan rahmat dan keridhaan Allah terhadap ikhtiar kita, sehingga akan totalitas yang akan kita dapatkan. Misal ketika diberikan rezeki oleh Allah Rp 10.000 dari total kebutuhan Rp 1.000.000, jangan marah sama Allah, syukuri... kemudian instropeksi, mungkin ada yang salah ketika kita berikhtiar, mungkin kita tidak melibatkan Allah dalam ikhtiar-ikhtiar kita... setelah dapat hasil instropeksinya, lalu eksekusi dengan ikhtiar yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

wallahu a'lam...


@dhezun
Comments
0 Comments

0 komentar:

Islamic Worldview Vs Satanic Worldview




Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan "Setuju", "Tidak Setuju", "Ragu-Ragu" :

1. Setiap orang memiliki kesempatan hak berbicara di tempat publik yang sama, tidak memandang ras, suku, budaya, agama, gender, pendidikan dan lainnya

2. Sebaiknya urusan dipegang oleh ahlinya, politik serahkan kepada seorang politikus, agama serahkan kepada ulama, budaya serahkan kepada budayawan, ekonomi serahkan kepada pebisnis dan ekonom, jangan sampai politikus berbicara tentang budaya, budayawan bicara ttg agama, agar tidak merusak tatanan peradaban.

3. Semua agama mengajarkan kebaikan, tujuannya pun sama, ibarat ingin pergi ke kampus, tapi cara menuju tujuannya yang berbeda, ada yg naik sepeda motor, bus, busway, bajaj, dan lain lainnya.

4. Tidak sepatutnya kita mengaku diri paling benar kemudian menyalahkan orang lain, karena apa yang menurut kita benar/salah belum tentu menurut orang lain benar/salah, apa yang menurut kita baik/buruk jg belum tentu menurut orang lain salah baik/buruk. Begitu jg dalam beragama, setiap agama memiliki sudut pandangnya masing2. Sebab itu jangan sampai kita sebagai seorng muslim menganggap paling benar sedangkan agama lain itu salah semua.

---------

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan sekaligus pernyataan yang sering dilontarkan oleh mereka penggiat liberalisme, sekulerisme, pluralisme dan relativisme.

Seperti iblis yang datang kepada hawa dan adam, ia datang dengan ucapan manis sehingga adam dan hawa tertipu dengan tipu dayanya, begitulah strategi iblis dalam mensesatkan manusia, yang terus diwariskan untuk menyesatkan manusia.

Jika kita jeli, pernyataan pertama adalah jebakan dari mereka penganut liberalisme. Indah sekali, kampanye untuk memberikan hak yang sama untuk tampil di depan publik, tanpa pandang agama, ras, budaya, gender, pendidikan dan lainnya, terlihat adil dan bijaksana, bukan? Jika memang anda setuju, selamat anda masuk ke dalam jebakan mereka. Bagaimana mungkin kita memberikan kesempatan hak bicara yang sama untuk para pendeta, biksu, rahib untuk memberikan ceramah pada khotbah jumat? Untuk mengisi majelis ta'lim? Atau menjadi guru di pesantren-pesantren? Bagaimana mungkin kita memberikan kesempatan anak TK untuk memberikan mata kuliah kepada para calon doktor? Bagaimana mungkin ??? Jika mungkin, hancurlah peradaban ini...

Pernyataan kedua adalah jebakan dari kaum sekulerisme. Mereka mencoba memisahkan urusan agama dengan urusan dunia. Agama tempatnya di masjid, di gereja, di wihara, di sinagog, jangan masuk ke urusan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Agama urusan pribadi, jangan libatkan dalam aktifitas sosial. Begitu kata mereka... Tapi islam tidak begitu, islam adalah agama yang besar, agama yang sempurna, agama yang mengatur dari hal kecil sampai hal yang besar. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Mulai dari urusan makan sampai urusan kenegaraan.

Agama lain bangkit karena meninggalkan agama mereka, sedangkan islam mundur karena meninggalkan agama mereka. Agama lain bangkit karena meninggalkan agama mereka, karena ajaran ajaran mereka banyak yang bertentangan dengan fakta fakta ilmiah kehidupan, sehingga bila terus diikuti doktrin tersebut hanya akan menyesatkan dan memundurkan manusia. Sedangkan islam selalu sejalan dengan fakta-fakta ilmiah kehidupan, sehingga akan membuat maju peradaban apabila diterapkan secara benar dan sempurna, akan menghancurkan peradaban jika ditinggalkan begitu saja.

Islam mengatur semua sisi kehidupan, islam memberikan kewajiban dakwah kepada setiap pemeluknya. Islam mengajarkan bahwa setiap kita adalah da'i, sebelum menjadi apapun. Kita adalah dokter yang juga dai dan dai yang memiliki keahlian dalam kedokteran. Kita adalah ekonom yang mengamalkan nilai islam dan penyiar islam yang ahli dalam ekonomi. kita adalah politikus yang memiliki kebijakan bernilai islam dan kita juga adalah seorang muslim yang juga ahli dalam perpolitikan. Siapapun kita, apapun kita, dimanapun kita, islam selalu menjadi dasar kehidupan kita dan tujuan kita.

Pernyataan ketiga yang mengatakan bahwa semua agama sama, sama-sama mengajarkan kebaikan, Tuhannya sama hanya cara menujunya saja yang berbeda, ini adalah ayat sakti dari para penyiar aliran pluralisme. Benarkah demikian?

Betul namanya "Tuhan", tapi esensi tuhan dari tiap agama itu berbeda. Pernyataan tersebut sama saja menyatakan semua mobil sama, sama sama kendaraan beroda empat. Tapi esensi tiap mobil kan berbeda, ada bus, ada mini bus, ada carry, ada mobil sport, ada mobil merci. Apakah mau disamakan mobil sport dengan mobil carry? Tentu tidak mungkin kan?

Begitupun dengan "Tuhan", bagaimana bisa menyamakan antara tuhan Islam yang satu, kemudian disamakan dengan Tuhan nasrani yang Tiga tapi satu? Bagaimana mungkin disamakan Tuhan Islam yang memiliki nama Allah dan nama mulia lainnya disamakan dengan Tuhan yahudi yang orang yahudi sendiri bingung akan nama Tuhannya? (Skrip nama tuhan yahudi dalam bahas ibrani hanya terdiri dari 4 konsonan huruf "YHWH" tanpa huruf vokal. mereka dilarang menyebut secara sembarangan nama Tuhan mereka, sehingga nama Tuhan mereka sampai sekarang adalah misteri yang belum terpecahkan). Apakah sama Allah dengan Tuhan hindu dan budha yang banyak, yang dilahirkan, dan berjenis kelamin? Tentu tidak bukan? Kemudian mereka yang mengatakan semua agama baik, memangnya sudah berapa agama yang sudah dipelajarinya sehingga menyimpulkan semua agama baik? Sedangkan jumlah agama ribuan bahkan jutaan yang tersebar di seluruh dunia???

Bagaimana dengan agama yang menjadikan manusa sebagai tumbal kepada Tuhannya? Apakah ini baik? Bagaimana agama syiah yang menganiaya dirinya sendiri dan anak anaknya yang tak berdosa dalam hari perayaannya? Apakah ini baik? Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Yang terakhir, adalah pernyataan yang sering didengung - dengungkan oleh mereka yang labil dari kaum relativisme. Mereka mengatakan bahwa kebenaran itu relatif, tidak ada yang mutlak, apa yang menurut kita benar belum tentu benar menurut orang lain, atau sebaliknya. Sebab itu, jangan paksakan orang lain untuk menerima apa yang diyakini itu benar, karena boleh jadi itu salah.

Begitulah ucapan manis yang terasa indah didengar, sehingga tak jarang kita temui beberapa artis di televisi terpedaya dan ikut mensyiarkan pemikiran ini, dengan mengatakkan "Ya kita gak bisa mengatakkan ini salah itu benar, karena boleh jadi menurutnya benar, ya kita hargai saja", begitu kata kebanyakan mereka ketika mengomentari tentang perzinahan, pornografi, pelaku narkoba dan berbagai kemaksiatan yang jelas-jelas suatu keburukan.

Ekstrimnya lagi para relativian ini mengatakan, " Boleh jadi perzinahan, homo seksual dan transgender yang sekarang dianggap buruk dan aib, namun beberapa tahun kemudian sah dan diperbolehkan, karena kebenaran dan kebaikan itu kan konsensus dan relatif, jadi kalau nanti semua orang setuju, maka itu akan lumrah dan biasa saja". Menyeramkan...

Dalam sebuah kesempatan ceramah, Ust adian husaini menanggapi ucapan mereka seperti ini, "Jika kebenaran itu relatif, maka apa yang dikatakan oleh kaum relativisme juga relatif, jadi pendapat mereka juga gak mutlak dong, jadi jangan paksakan kepada orang lainnya...", "Jika kebenaran relatif, dan boleh jadi salah, maka tadinya saya berfikir kamu itu cerdas, pintar, dan waras, tapi karena kamu bilang kebenaran itu relatif dan bisa salah, boleh jadi juga berarti fikiran saya yang bilang kamu cerdas, pintar dan waras jg relatif dan bisa salah dong ya? Berarti kamu bodoh, idiot dan gila? Begitu ya?" Ceritanya sambil tertawa kecil.

Kebenaran itu mutlak, dan setiap kehidupan memiliki aturan yang mengikat. Jangankan hidup berdampingan dengan manusia yang berakal, hidup di hutan rimba saja kita harus mengakui keberadaan hukum alam rimba, apakah anda masih bersikukuh bahwa hewan-hewan di hutan rimba itu baik dan bersahabat? Kemudian tidur bersama dan makan bersama dengan mereka? Jika iya, maka anda sudah gila.

Apalagi dalam beragama, khususnya Islam, terdapat kebenaran mutlaq di dalamnya. Aturan aturan yang mengikat di dalamnya. Syarat dan ketentuan dalam menjalankannya. Tidak bisa ketika kita menjadi seorng muslim, kita mengatakan islam belum tentu benar, boleh jadi agama lain lebih benar.

Ketika mengatakan sebagai muslim, maka kita harus yakini, bahwa agama islam adalah agama satu-satunya yang benar, yang dapat menghantarkan kita kepada kebahagian hakiki dunia dan akhirat, kita meyakini bahwa islam adalah agama yang sempurna, dengan segala aturan-aturannya, islam adalah agama yang ilmiah, dengan segala fakta-fakta ilmiah tersebar di dunia. Yakin bahwa Allah adalah satu satunya Ilah yang berhak disembah, muhammad rasulullah, Alquran kalamullah dan pedoman kehidupan, dan hal hal lainnya yang mengikat kita sebagai seorang muslim. Tak ada sedikitpun keraguan akan kebenaran yang ada di dalamnya. Begitulah seharusnya sikap seorang muslim sejati, tidak galau dan labil yang mana yang baik dan buruk, yang mana yang benar dan salah. Karena semua sudah diatur dengan jelas di dalam Alquran, Hadits rasul, dan ijma' para 'ulama.

Semoga kita dapat Menjaga diri kita, keluarga dan saudara-saudara kita dari satanic worldview yang menyesatkan dan membuat kita paham tentang bagaimana islamic woldview mengatur kehidupan kita..aamiin...

Wallahu a'lam

Oleh : Ade zuniarsa putra | @dhezun | Markaz Inspirasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

Kakek Tua Penghafal Quran


Semalam, saat kajian tafsir yang membahas tentang surat al-baqarah ayat 120-121 di AQL (17 Oktober 2014), ust. Bachtiar nasir bercerita tentang kisah nyata seorang kakek tua penghafal quran yang membuat jama'ah berdecak kagum.

Dalam suatu waktu, ada seorang kakek tua yang hendak dioperasi karena mengalami sakit, dokter menyarankan untuk segera dioperasi untuk menyembuhkan penyakitnya. Diluar dugaan, kakek tersebut terisak dalam tangis yang mendalam, dokter pun coba menguatkan dan meyakinkan sang kakek agar kakek tersebut tidak perlu khawatir karena penyakit yang dialaminya akan sembuh atas izin Allah dan tidak perlu khawatir terhadap pelaksanaan operasi karena dokter tersebut sudah berpengalaman untuk operasi penyakit tersebut dan besar sekali kemungkinan keberhasilannya.

Lalu kakek tersebut membalas perkataan dokter tersebut

"dok,bukan itu yang saya khawatirkan, insya Allah saya siap dan tak takut untuk menjalani proses operasinya... saya menangis karena saya sedih, akan banyak waktu yang terbuang saat operasi nanti pastinya, sedangkan saya memiliki kebiasaan untuk muraja'ah hafalan quran saya 12 juz tiap harinya, saya khawatir tidak dapat menyelesaikan hafalan saya di hari ini karena operasi ini, sebab itulah saya menangis..."

Lalu kakek tersebut melanjutkan dengan pertanyaan "dok, seberapa lama saya akan dioperasi?"

"Insya Allah hanya 4 jam kek" jawab dokter.

"Kalau begitu, berikan saya waktu di satu jam pertama untuk muraja'ah hafalan quran saya, lalu lanjutkanlah tindakan operasi setelahnya" jawab kakek memberikan solusinya.

Dokter pun menyetujuinya.

Pada satu jam pertama dokter memberikan waktu untuk kakek muraja'ah hafalannya di ruang operasi, setelah waktu berjalan satu jam, dokter dan timnya melakukan tindakan medis, dibiuslah kakek tersebut dan melaksanakan tindakan operasi.

Operasi tersebut berjalan lancar, tidak ada kendala yang berarti. Allah menolong keduanya.

Setelah kakek tersebut tersadar, dokter yang mengoperasinya tersebut berkata :

"Kek, baru kali ini saya mengalami kejadian yang luar biasa ketika mengoperasi pasien. Setelah satu jam kakek muraja'ah hafalan quran, kami pun membius kakek, saya yakin sudah tepat dosis bius kepada kakek, saya yakin dosis tersebut akan membuat kakek tak sadarkan diri. Tapi masya Allah, sepanjang operasi kakek tak berhenti sedikitpun membaca quran, seolah obat bius yang kami suntikan tak ada pengaruhnya dan rasa sakit saat operasi tak dirasakan"

Masya Allah... hikmah yang luar biasa yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Bagaimana dengan kita? Sudahkah ada kenikmatan dan kekhusyu'an ketika kita membaca quran?  Berapa banyak juz yang kita baca tiap harinya? Berapa banyak ayat quran yang kita hafal tiap harinya? Berapa banyak ayat quran yang kita muraja'ah tiap harinya dan berapa banyak ayat quran yang kita amalkan tiap harinya???

Sungguh, masih amat sedikit amalan amalan kita.

Orang bijak mengatakan :

"Janganlah takut dengan rezekimu pada hari ini, karena Allah sudah menjamin rezeki bagi orang yang hidup. Khawatir dan takutlah dengan kualitas dan kuantitas amalmu, apakah dapat mengantarkanmu ke surga? Karena tidak ada jaminan dari Allah bahwa kita akan masuk ke dalam Surga-Nya"

Wallahu a'lam bishshawab

@dhezun | Markaz Inspirasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

Kajian : Taqlid, Ittiba' dan Talfiq




A. Taqlid

1. Pengertian dan Hukum Taqlid

Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.[1]

Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[2]

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.[3]

a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :

Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَايَهۡتَدُونَ ١٧٠ 

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.

Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.

Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

2. Syarat-Syarat Taqlid

Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[4] Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :

a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid

Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

b. Syarat-syarat yang ditaqlid

Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

B.     Ittiba

1. Pengetian Ittiba

Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.[5] Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[6]

Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.[7] 

Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[8]

2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba

Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.[9]

Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi :

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣ 

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Dalam ayat ini terdapat kalimat tanyakanlah, yaitu suatu perintah yang memfaedahkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan pengertian ahli al-Quran dan Sunnah. Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya, “Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).[10]

Kata ittiba ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada ayahnya  dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi :

يَٰٓأَبَتِ إِنِّي قَدۡ جَآءَنِي مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ فَٱتَّبِعۡنِيٓ أَهۡدِكَ صِرَٰطٗا سَوِيّٗا ٤٣ 

“Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri.[11]

Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :

فَوَجَدَا عَبۡدٗا مِّنۡ عِبَادِنَآ ءَاتَيۡنَٰهُ رَحۡمَةٗ مِّنۡ عِندِنَا وَعَلَّمۡنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمٗا ٦٥ 
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدٗا ٦٦ 

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

Musa telah memohon kepada Khidhr as agar diizinkan untuk mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.

Berdasarkan firman-firman Allah SWT yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada hadis dari Nabi SAW, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau tidak dilarang.

            
C. Talfiq 

1. Pengertian dan Hukum Talfiq

Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia diumpamakan seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh. Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.[12] Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[13]

Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja. Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[14]

Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.[15] Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.

Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis yang mengatakan bahwa agama itu mudah. (penulis tidak menemukan teks hadis ini).

Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.

Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat  Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab.
Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa kelapangan, tetapi akan membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[16] 

Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu:

Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. 

Contohnya seseorang berwhudu menurut syarat-syarat yang dituntut oleh mazhab Syafii kemudian pada saat-saat yang lain dia berwudhu mengambil syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh mazhab Hanafi, ini diperbolehkan karena bagi seorang mukallaf diizinkan mengamalkan yang lebih ringan bila memang tidak ada jalan lainnya. Yakni ia tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya menurut satu mazhab untuk diganti menurut mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama menurut mazhab Syafii telah selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan hingga selesai juga, kemudian wudhu kedua menurut mazhab Hanafi telah selesai dan dipergunakan untuk keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi peristiwanya berbeda.

Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. 

Contohnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali menurut mazhab Hanafi dan tanpa memakai dua saksi menurut mazhab Imam Malik. Akad nikah yang mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh beralasan bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat kemudahan dalam agama itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata kemudahan itu bertempat disembarang tempat secara meluas niscaya beban taklif manusia akan gugur semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.


2. Sebab Terjadinya Talfiq

Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.[17]

Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di kalangan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah baru yang kita kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam ketika itu.[18]

Dari sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu mazhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. pindah dari satu mazhab ke mazhab lain secara sebagian inilah yang dikenal dengan istilah talfiq.

Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia Islam bukan saja diikuti oeh orang-orang awam, tetapi juga oleh para ulamanya, Berabad-abad lamanya pendapat ini melanda dunia Islam termasuk Indonesia sekarang ini. Dengan adanya pendapat ini menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, wawasan Islam khususnya menjadi sempit. Hal ini menyebabkan hukum Islam yang mestinya luwes (fleksibel) menjadi loyo, kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak mampu berdiri tegak untuk menjawab tantangan zaman. Ketidakberesan ini jelas tidak muncul dari hukum Islam melainkan muncul dari sikap ulama Islam yang tidak tepat dalam menundukkan hukum Islam, sebagai akibat dari adanya pendapat yang sempit sebagaimana disebutkan di atas tadi.[19]

Menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, hal ini perlu diluruskan dengan cara menundukkan masalah talfiq secara proporsional. Untuk itu, perlu diadakan penelitian secara terpadu dengan mengkaji pendapat fuqaha dan para ahli ushul berdasarkan kitab-kitab Turats, kitab-kitab hadits (modern) sehingga kita nantinya dapat membandingkan antara pengkajian lama dengan pengkajian baru, selanjutnya kita menarjihkan mana yang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan masa kini, itulah yang kita mainkan.


KESIMPULAN

1. Taqlid 

Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.

Taqlid ada dua macam yiatu taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.  dan taqlid yang tidak diperbolehkan (dilarang/ haram), yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.Syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.

2. Ittiba 

Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil) baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun. Ittiba memang dan bahkan disuruh dalam agama.  Firman Allah dalam  surah An-Nahl ayat 43 merupakan suatu perintah untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa ittiba itu tidak dilarang.

3. Talfiq 

Talfiq yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih. Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan mauun sebagian mereka terbagi keada tiga pendapat yaitu :

Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. 

Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat dibenarkan. 

Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa dengan alasan ini maka talfiq hukumnya mubah.

Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu pertama, Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Kedua, Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.

Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang telah melanda umat yang cuku lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.


---------------------------------------------------

[1] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 87.
[2] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 61.
[3] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 155.
[4] Ibid., hal. 156.
[5] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 60.
[6] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 163.
[7] Ibid.,
[8] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta : Logos, 1999), hal. 25.
[9] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hal. 164.
[10] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 60-61.
[11] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 101.
[12] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002), hal. 89.
[13] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 164.
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995), hal. 177.
[15] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 165.

[16] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002), hal. 91.
[17] Ibid., hal 89.
[18] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 171-172.
[19] Ibid.,


Comments
0 Comments

0 komentar:

Postingan yang Lain