Belajar dari 'Organisasi Kampung' oleh dhezun
dakwatuna.com - Hikmah dan pelajaran itu tak memandang bulu, begitu kata para orang-orang bijak di sana. Kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari mana saja, tak memandang agama, ras, usia, pekerjaan, miskin kaya, status sosial, jenis kelamin, suku dan budaya, juga tak memandang sudah berpengalaman atau pemula.
Dalam tulisan ini, saya mencoba mengajak kawan-kawan untuk memasuki perenungan bersama, merenung sekaligus mengambil pelajaran dari sebuah “Organisasi Kampung”, yang minim akan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman tentang sebuah organisasi. Tapi, di balik kekurangan mereka tersembunyi pelajaran dan hikmah sarat makna yang seharusnya dimiliki oleh kita yang mengaku bergerak dalam dakwah.
Dalam rangka HUT RI ke-69, sekelompok pemuda dan remaja di lingkungan RT yang orang tua saya pimpin, berinisiatif untuk mengadakan kegiatan tahunan yang sempat vakum dua tahun belakangan karena bertepatan saat puasa Ramadhan sedang berjalan, yaitu perlombaan tujuh belas agustusan.
Rapat pertama disepakati berlangsung di rumah orang tua saya, dalam rapat itu disepakati bahwa rumah orang tua saya menjadi markas berkumpul mereka. Rapat pertama berlangsung unik menurut saya, rapat berjalan tak beraturan tanpa agenda yang jelas, tanpa ada yang memimpin rapat, ada yang mendominasi pembicaran, ada yang diam seribu bahasa, bahkan ada yang membuat forum di dalam forum.
Uniknya lagi, mereka bersepakat menyelenggarakan perlombaan tersebut tepat pada tanggal 17 Agustus 2014, sedangkan rapat pertamanya sendiri diadakan pada hari Jumat tanggal 8 Agustus 2014. Orang tua saya pun sempat mempertanyakan keseriusan dan kesiapan mereka untuk mengadakan kegiatan tersebut, mengingat waktu yang tersisa hanya seminggu. Tapi mereka mampu meyakinkan ketua RT dengan semangat dan kekompakkan mereka, meski mereka sendiri tidak benar-benar yakin dapat mengadakannya.
Singkat cerita, Mereka sukses mengadakan kegiatan perlombaan tersebut, bahkan dana surplus dua jutaan dari anggaran dana yang dibutuhkan sebesar lima jutaan.
Berikut dua pelajaran penuh hikmah dari ‘organisasi kampung’ yang dapat dijadikan perenungan oleh kita semua yang mengaku bergerak dalam aktivitas dakwah.
1. Ruhul Istijabah (Semangat pemenuhan panggilan dakwah dan qiyadah).
”Dengarkanlah dan taatilah (para pemimpinmu) meski engkau dalam keadaan sulit, mudah, semangat, terpaksa dan membuatmu banyak melakukan pengorbanan.” (HR Muslim)
Mereka tidak mengetahui sama sekali kalau ada hadits seperti ini, mereka juga belum pernah mendapatkan materi tentang organisasi secara khusus, apalagi materi tentang qiyadah wa jundiyah serta materi ruhul istijabah.
Tapi, ‘Organisasi kampung’ terebut mengamalkannya dengan baik, tanpa keluhan, tanpa mempertanyakan, tanpa mengkritik, dan dilakukan dengan penuh totalitas kesungguhan.
Sebagai contohnya, ketika ketua menginformasikan untuk rapat, mereka yang berjumlah 35 orang hampir hadir semua dalam tiap rapatnya, Bahkan saat rapat diselenggarakan secara mendadak sekalipun. Tak hadirnya pun ada konfirmasi dan bisa dibilang syar’i. Mereka penuhi panggilan rapat bukan sebagai beban dan tuntutan, tapi sebagai sebuah kesenangan dan kehormatan.
Bagaimana dengan kita yang mengaku bergerak dalam dakwah? Tak jarang kita temui ketika qiyadah menginstrukksikan untuk hadir rapat, setengah dari kita yang hadirpun tidak, rasa malas dan masa bodo’ bersarang di hati-hati kita. Ketika kita diundang dalam agenda rapat, jangankan hadir, untuk konfirmasi sulitnya bukan main, seolah-olah seruan qiyadah adalah angin lalu yang tak layak didengar kata-katanya dan mengganggu aktivitas kita. 1001 alasan dan cara digunakan untuk menghindari seruan dan mendapatkan pemakluman, 1001 kebohongan dengan kata-kata ambigu menjadi andalan.
Bukan hanya dalam organisasi, dalam halaqah pun seperti itu. Ketika disepakati jadwal liqa, banyak yang mangkir tanpa kabar, banyak yang mencari-cari alasan dan pembenaran agar dimaklumi ketidakhadirannya, bahkan tak jarang yang beralasan dengan alasan remeh-temeh yang tak syar’i, seperti malas, bermain bersama teman, kumpul bersama teman, dan hal-hal yang tak sepatutnya disejajarkan dengan keutamaan halaqah. Tugas yang diberikan dipandang sebagai sebuah beban, ta’limat murabbi tak dihargai, kata-kata murabbi dianggap basi. Jangankan bahas tentang militansi, untuk mengaji seminggu sekali saja tak ada kesadaran dalam diri.
“Jangan berharap menjadi seorang murabbi yang baik, jika tak mampu menjadi mutarabbi yang baik”. Ketua ‘organisasi kampung’ tersebut bukanlah orang yang terbaik seperti layaknya sebuah organisasi pada umumnya. Pemimpinnya tidak memiliki pengalaman organisasi, tidak memiliki jiwa kepemimpinan, hanya seorang lulusan SMA, berbicara di depan umum pun terbata-bata. Sedangkan bawahannya ada yang sudah lulus kuliah, memiliki pengalaman organisasi di kampusnya, memiliki jiwa kepemimpinan, dan juga lebih layak dipilih daripada pemimpinnya. Ia dipilih bukan berdasarkan kapasitasnya, tapi karena ia selalu jadi bulan-bulanan teman-temannya, ia lah yang akhirnya dijerumuskan untuk menjadi pemimpin mereka.
Tapi, ketika ketua memberikan instruksi, semua dengar dan taat, tak memandang siapa yang mengatakannya, mereka melihat apa yang diperintahkannya. Ketika hasil rapat memutuskan sesuatu, semua ikut dan menjalankan tugas yang telah disepakati, tanpa keluhan dan pembangkangan. Mereka menjalankannya dengan penuh ketaatan walau ada rasa suka atau tidak suka, susah atau senang, mudah atau sulitnya amanah, tak sedikit pun mereka menolaknya, mereka tidak menerimanya dengan keluh kesah di dalam hati, mereka menerimanya sebagai sebuah kehormatan dan tantangan, mereka menjalankannya dengan penuh totalitas perjuangan dan pengorbanan.
Bagaimana dengan kita? Seringkali ditemukan keputusan rapat banyak dikeluhkan bahkan ditentang, amanah banyak terlalaikan, kepercayaan banyak dikhianati, pemimpin tak dipercaya dan ditaati sepenuh hati. Seakan akan keputusan pemimpin dan keputusan rapat adalah keputusan setan yang penuh dengan kebatilan dan hanya pendapat kita yang penuh dengan kesucian dan kebenaran.
Dalam halaqah juga tak jarang kita temui mutarabbi yang keberatan ketika mendapatkan murabbi yang tidak sesuai dengan keinginannya, hingga pada akhirnya mereka datang hanya untuk memenuhi kewajiban, bolos menjadi sebuah kebiasaan, bahkan mundur tanpa berta (muntaber) menjadi sebuah aksi penolakan.
Yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa murabbi bukanlah orang yang sempurna, penuh dengan cacat dan kekurangan, tapi kebaikan dan manfaat jauh lebih tinggi nilainya daripada kekurangannya. Ambilah yang bermanfaat darinya, dan buanglah yang buruk darinya. Seburuk-buruknya murabbi, Ia tak mungkin menjerumuskan binaannya secara sengaja dalam lembah kemaksiatan dan dosa. Kita juga harus memahami bahwa dalam tarbiyah rotasi murabbi adalah sebuah keniscayaan, suka atau tidak, kita harus dewasa dalam menyikapinya. Ketaatan dan sikap hormat kepada murabbi adalah sebuah keutamaan. Karena tanpa ketaatan kepada murabbi, hanya akan menjadikan kita sebagai penghambat dan perusak jamaah. Tanpa sikap hormat, hanya akan menghilangkan keberkahan ilmu yang disajikan dan menyuburkan sifat takabbur di dalam diri.
Boleh jadi tak berkembangnya dakwah penyebabnya ada pada diri kita sendiri, para penggeraknya. Salah satunya adalah lemahnya ruhul istijabah terhadap seruan dakwah, qiyadah dan murabbinya. Banyak mengeluh tapi sedikit peluh, banyak menuntut tapi lemah memberi, banyak mengkritik tapi lemah dalam amal, banyak menggerutu tapi lemah dalam amanah, banyak mempertanyakan keputusan tapi lemah dalam tanggung jawab. “Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjadi pengikut yang baik, karena takkan pernah menjadi pemimpin yang baik selama ia tak pernah menjadi pengikut yang baik”.
2. Komitmen terhadap waktu
“Pemberian terbaik yang tak ternilai harganya adalah WAKTU, karena waktu tak pernah dapat dikembalikan dan dibeli dengan apapun”.
Dalam surat Al-ashr Allah secara khusus bersumpah atas nama waktu, yang menunjukkan bahwa amat sangat berharganya waktu agar tidak disia-siakan.
Mereka tidak pernah mempelajari tafsir ayat tersebut, mereka tidak pernah sekalipun mendapatkan materi tentang manajemen waktu, skala prioritas, dan materi komitmen terhadap waktu. Tapi luar biasanya mereka mengamalkannya tanpa keluhan dan keberatan hati sekalipun. Ketika rapat diputuskan pukul delapan malam, setengah delapan mereka sudah ada di tempat semua, bahkan ada yang selepas maghrib mereka sudah ada di tempat yang disepakati.
Menariknya adalah saat hari ‘H’, Acara rencananya dimulai tepat pukul delapan pagi. Hebatnya, mereka bersepakat bahwa seluruh panitia wajib berkumpul pukul setengah tujuh, untuk briefing dan persiapan peralatan lomba, yang telat tiap menitnya dikenakan sanksi sebesar sepuluh ribu rupiah. Luarrr biasaaa…!!! Komitmen yang saya sendiri tak habis pikir untuk menerapkannya. Tapi, semua sepakat, semua setuju, alasannya satu, untuk kebaikan bersama dan kesuksesan bersama.
Alhasil, hanya ada satu orang panitia yang telat, itupun telatnya hanya hitungan menit, yaitu delapan menit. Saat evaluasi, panitia yang telat tersebut secara jujur tanpa paksaan mengakui dirinya telat dan siap membayar sanksinya. Berat sebetulnya baginya, bahkan ia sampai meminta keringanan untuk menyicil sanksinya selama beberapa kali. Bukan malah minta dimaafkan, Tapi ia malah berkata ‘ini kan kesepakatan bersama, dan gue ada dalam kesepakatan ini, jadi gue harus komit terhadap kesepakatan bersama ini’, begitu kata panitia yang beragama Kristen yang membuat semua orang tersenyum penuh haru dan simpati kepadanya.
Bagaimana dengan kita? Yang mengaku berpedoman terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasulullah? Yang mengaku menyerukan kebaikan dan kemaslahatan? Yang mengaku peduli dengan nasib dan keadaan umat? Yang katanya sudah mengazamkan dalam diri untuk dakwah dan mewakafkan dirinya di jalan dakwah? Sudahkah kita menghargai waktu sebagaimana mereka menghargainya?
Tak jarang saya temui, waktu rapat yang disepakati seringkali dilanggar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, bahkan menuntut pemakluman. Hal ini tidak terjadi sekali dua kali, tapi terus menerus dilakukan oleh kita yang mengaku memahami tentang pentingnya komitmen terhadap waktu. Ketelatan rapatnya bukan hitungan menit lagi, hitungan jam pun sudah menjadi kebiasaan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan dakwah pun seperti itu, panitia yang seharusnya datang jauh jauh waktu sebelum waktu kegiatan dimulai, panitia baru hadir lima menit sebelum acara, dan mayoritas yang lainnya terlambat tanpa sedikitpun rasa bersalah terhadap lalainya amanah yang berada di pundaknya masing-masing.
Ketika jadi peserta pun begitu, telat sepertinya adalah kewajiban dalam mindset peserta, ‘ah palingan ujung-ujungnya telat mulainya’, begitu kata mereka. Tak sadarkah mereka bahwa telatnya acara karena menunggu para peserta yang memiliki pola pikir yang sama ? Bahwa telat adalah sebuah keniscayaan. Alhasil, panitia menyelenggarakan kegiatan dengan tergesa-gesa, pesertapun datang dengan bersantai ria, Innalillah…
Tak sadarkah bahwa banyak sekali kezaliman kita terhadap saudara-saudara kita ketika kita tidak memiliki komitmen terhadap waktu? Baik kezhaliman yang secara langsung ia rasakan maupun yang tidak langsung. Mereka yang datang terlebih dahulu tak jarang harus merelakan diri tidak sarapan agar bisa datang tepat pada waktunya, di sisi lain ada yang lagi enak-enakkan menyantap sarapan dengan santai meski acara hampir di mulai, kemudian datang telat tanpa sedikitpun rasa bersalah di raut wajah-wajah mereka.
Tak sadarkah ketika kita hadir telat maka waktu berakhirnya pun akan ikut telat, alhasil mereka yang sudah memiliki agenda lain setelahnya ikut telat dan berantakkan, mereka juga tak luput ikut menzhalimi kawan-kawan yang telah menunggu kehadirannya. Tak sadarkah ketika kita telat, semakin minim waktu sebuah ilmu disampaikan karena harus menyesuaikan susunan acara yang tidak dapat diganggu gugat? Melestarikan ketelatan berarti melestarikan kezhaliman.
Dalam halaqah juga tak jarang begitu, tak jarang murabbi harus menunggu berjam-jam menunggu kehadiran mutarabbinya, begitupun sebaliknya.
Pernah saya mendengar, suatu ketika sebuah halaqah ingin menertibkan halaqahnya, salah satunya tertib dalam kehadiran. Mereka menyepakati bahwa barangsiapa yang telat, tiap menitnya wajib membayar iqab sebesar Rp 100, baik itu murabbi ataupun mutarabbinya. Ternyata dalam pelaksanaannya jauh dari harapan, beberapa kali murabbi telat, sedangkan mutarabbinya datang tepat waktu. Mereka harus menunggu setengah jam hanya untuk menunggu kehadiran Murabbinya, bahkan tak jarang Murabbi tak memberikan kabar terkait kehadirannya, bukannya memberi kabar terkait keberadaan dan kehadirannya, malah mutarabbinya tak dapat menghubungi ponsel pribadi Murabbinya. Ternyata tidak sekali dua kali, hal ini dilakukan berulang –ulang tanpa alasan yang menguatkan dan membenarkannya. Mutarabbinya pun kesal karena merasa tak dihargai komitmennya di dalam halaqah, hingga pada akhirnya mereka enggan untuk hadir kembali dalam halaqah tersebut.
Mutarabbinya telat sepertinya biasa, meski juga tak dibenarkan apapun alasannya, kecuali keadaan-keadaan yang memang tak bisa dihindarinya. Tapi jika murabbi telat, ini sudah keterlaluan menurut saya, apalagi jika telatnya bukan karena alasan yang memberatkannya. Murabbi adalah teladan, bagaimana mungkin mutarabbi dapat menghargai waktu jika Murabbinya tak mampu menghargai waktu yang telah disepakati bersama. Jangan-jangan selama ini telat menjadi sebuah kebiasaan dalam halaqah karena peran para murabbi yang tak dapat memberikan keteladanan dalam komitmen terhadap waktu.
“Jangan berpikir tentang ringannya ketelatan yang kita lakukan, tapi berpikirlah banyaknya kezhaliman yang kita lakukan terhadap orang lain, meski hanya satu menit sekalipun”.
Mari bersama kita merenung dan berdialog dengan diri kita masing-masing, apakah kita termasuk dalam orang-orang yang lemah dalam ruhul istijabah terhadap panggilan dakwah, qiyadah dan murabbi? Termasuk jugakah kita ke dalam orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadap waktu? Hanya tiap hati kita dan Allah yang mampu menjawabnya dengan penuh kejujuran dan keterbukaan.
Selamat berinstrospeksi, semoga bermanfaat dan menginspirasi.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/08/23/56140/belajar-dari-organisasi-kampung-2/#ixzz3BGYceqkB