Terbaru

Belajar dari 'Organisasi Kampung' oleh dhezun




dakwatuna.com - Hikmah dan pelajaran itu tak memandang bulu, begitu kata para orang-orang bijak di sana. Kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari mana saja, tak memandang agama, ras, usia, pekerjaan, miskin kaya, status sosial, jenis kelamin, suku dan budaya, juga tak memandang sudah berpengalaman atau pemula.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengajak kawan-kawan untuk memasuki perenungan bersama, merenung sekaligus mengambil pelajaran dari sebuah “Organisasi Kampung”, yang minim akan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman tentang sebuah organisasi. Tapi, di balik kekurangan mereka tersembunyi pelajaran dan hikmah sarat makna yang seharusnya dimiliki oleh kita yang mengaku bergerak dalam dakwah.
Dalam rangka HUT RI ke-69, sekelompok pemuda dan remaja di lingkungan RT yang orang tua saya pimpin, berinisiatif untuk mengadakan kegiatan tahunan yang sempat vakum dua tahun belakangan karena bertepatan saat puasa Ramadhan sedang berjalan, yaitu perlombaan tujuh belas agustusan.

Rapat pertama disepakati berlangsung di rumah orang tua saya, dalam rapat itu disepakati bahwa rumah orang tua saya menjadi markas berkumpul mereka. Rapat pertama berlangsung unik menurut saya, rapat berjalan tak beraturan tanpa agenda yang jelas, tanpa ada yang memimpin rapat, ada yang mendominasi pembicaran, ada yang diam seribu bahasa, bahkan ada yang membuat forum di dalam forum.
Uniknya lagi, mereka bersepakat menyelenggarakan perlombaan tersebut tepat pada tanggal 17 Agustus 2014, sedangkan rapat pertamanya sendiri diadakan pada hari Jumat tanggal 8 Agustus 2014. Orang tua saya pun sempat mempertanyakan keseriusan dan kesiapan mereka untuk mengadakan kegiatan tersebut, mengingat waktu yang tersisa hanya seminggu. Tapi mereka mampu meyakinkan ketua RT dengan semangat dan kekompakkan mereka, meski mereka sendiri tidak benar-benar yakin dapat mengadakannya.

Singkat cerita, Mereka sukses mengadakan kegiatan perlombaan tersebut, bahkan dana surplus dua jutaan dari anggaran dana yang dibutuhkan sebesar lima jutaan.

Berikut dua pelajaran penuh hikmah dari ‘organisasi kampung’ yang dapat dijadikan perenungan oleh kita semua yang mengaku bergerak dalam aktivitas dakwah.

1. Ruhul Istijabah (Semangat pemenuhan panggilan dakwah dan qiyadah).

”Dengarkanlah dan taatilah (para pemimpinmu) meski engkau dalam keadaan sulit, mudah, semangat, terpaksa dan membuatmu banyak melakukan pengorbanan.” (HR Muslim)

Mereka tidak mengetahui sama sekali kalau ada hadits seperti ini, mereka juga belum pernah mendapatkan materi tentang organisasi secara khusus, apalagi materi tentang qiyadah wa jundiyah serta materi ruhul istijabah.

Tapi, ‘Organisasi kampung’ terebut mengamalkannya dengan baik, tanpa keluhan, tanpa mempertanyakan, tanpa mengkritik, dan dilakukan dengan penuh totalitas kesungguhan.

Sebagai contohnya, ketika ketua menginformasikan untuk rapat, mereka yang berjumlah 35 orang hampir hadir semua dalam tiap rapatnya, Bahkan saat rapat diselenggarakan secara mendadak sekalipun. Tak hadirnya pun ada konfirmasi dan bisa dibilang syar’i. Mereka penuhi panggilan rapat bukan sebagai beban dan tuntutan, tapi sebagai sebuah kesenangan dan kehormatan.

Bagaimana dengan kita yang mengaku bergerak dalam dakwah? Tak jarang kita temui ketika qiyadah menginstrukksikan untuk hadir rapat, setengah dari kita yang hadirpun tidak, rasa malas dan masa bodo’ bersarang di hati-hati kita. Ketika kita diundang dalam agenda rapat, jangankan hadir, untuk konfirmasi sulitnya bukan main, seolah-olah seruan qiyadah adalah angin lalu yang tak layak didengar kata-katanya dan mengganggu aktivitas kita. 1001 alasan dan cara digunakan untuk menghindari seruan dan mendapatkan pemakluman, 1001 kebohongan dengan kata-kata ambigu menjadi andalan.

Bukan hanya dalam organisasi, dalam halaqah pun seperti itu. Ketika disepakati jadwal liqa, banyak yang mangkir tanpa kabar, banyak yang mencari-cari alasan dan pembenaran agar dimaklumi ketidakhadirannya, bahkan tak jarang yang beralasan dengan alasan remeh-temeh yang tak syar’i, seperti malas, bermain bersama teman, kumpul bersama teman, dan hal-hal yang tak sepatutnya disejajarkan dengan keutamaan halaqah. Tugas yang diberikan dipandang sebagai sebuah beban, ta’limat murabbi tak dihargai, kata-kata murabbi dianggap basi. Jangankan bahas tentang militansi, untuk mengaji seminggu sekali saja tak ada kesadaran dalam diri.

“Jangan berharap menjadi seorang murabbi yang baik, jika tak mampu menjadi mutarabbi yang baik”. Ketua ‘organisasi kampung’ tersebut bukanlah orang yang terbaik seperti layaknya sebuah organisasi pada umumnya. Pemimpinnya tidak memiliki pengalaman organisasi, tidak memiliki jiwa kepemimpinan, hanya seorang lulusan SMA, berbicara di depan umum pun terbata-bata. Sedangkan bawahannya ada yang sudah lulus kuliah, memiliki pengalaman organisasi di kampusnya, memiliki jiwa kepemimpinan, dan juga lebih layak dipilih daripada pemimpinnya. Ia dipilih bukan berdasarkan kapasitasnya, tapi karena ia selalu jadi bulan-bulanan teman-temannya, ia lah yang akhirnya dijerumuskan untuk menjadi pemimpin mereka.

Tapi, ketika ketua memberikan instruksi, semua dengar dan taat, tak memandang siapa yang mengatakannya, mereka melihat apa yang diperintahkannya. Ketika hasil rapat memutuskan sesuatu, semua ikut dan menjalankan tugas yang telah disepakati, tanpa keluhan dan pembangkangan. Mereka menjalankannya dengan penuh ketaatan walau ada rasa suka atau tidak suka, susah atau senang, mudah atau sulitnya amanah, tak sedikit pun mereka menolaknya, mereka tidak menerimanya dengan keluh kesah di dalam hati, mereka menerimanya sebagai sebuah kehormatan dan tantangan, mereka menjalankannya dengan penuh totalitas perjuangan dan pengorbanan.

Bagaimana dengan kita? Seringkali ditemukan keputusan rapat banyak dikeluhkan bahkan ditentang, amanah banyak terlalaikan, kepercayaan banyak dikhianati, pemimpin tak dipercaya dan ditaati sepenuh hati. Seakan akan keputusan pemimpin dan keputusan rapat adalah keputusan setan yang penuh dengan kebatilan dan hanya pendapat kita yang penuh dengan kesucian dan kebenaran.

Dalam halaqah juga tak jarang kita temui mutarabbi yang keberatan ketika mendapatkan murabbi yang tidak sesuai dengan keinginannya, hingga pada akhirnya mereka datang hanya untuk memenuhi kewajiban, bolos menjadi sebuah kebiasaan, bahkan mundur tanpa berta (muntaber) menjadi sebuah aksi penolakan.

Yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa murabbi bukanlah orang yang sempurna, penuh dengan cacat dan kekurangan, tapi kebaikan dan manfaat jauh lebih tinggi nilainya daripada kekurangannya. Ambilah yang bermanfaat darinya, dan buanglah yang buruk darinya. Seburuk-buruknya murabbi, Ia tak mungkin menjerumuskan binaannya secara sengaja dalam lembah kemaksiatan dan dosa. Kita juga harus memahami bahwa dalam tarbiyah rotasi murabbi adalah sebuah keniscayaan, suka atau tidak, kita harus dewasa dalam menyikapinya. Ketaatan dan sikap hormat kepada murabbi adalah sebuah keutamaan. Karena tanpa ketaatan kepada murabbi, hanya akan menjadikan kita sebagai penghambat dan perusak jamaah. Tanpa sikap hormat, hanya akan menghilangkan keberkahan ilmu yang disajikan dan menyuburkan sifat takabbur di dalam diri.

Boleh jadi tak berkembangnya dakwah penyebabnya ada pada diri kita sendiri, para penggeraknya. Salah satunya adalah lemahnya ruhul istijabah terhadap seruan dakwah, qiyadah dan murabbinya. Banyak mengeluh tapi sedikit peluh, banyak menuntut tapi lemah memberi, banyak mengkritik tapi lemah dalam amal, banyak menggerutu tapi lemah dalam amanah, banyak mempertanyakan keputusan tapi lemah dalam tanggung jawab. “Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjadi pengikut yang baik, karena takkan pernah menjadi pemimpin yang baik selama ia tak pernah menjadi pengikut yang baik”.

2. Komitmen terhadap waktu
“Pemberian terbaik yang tak ternilai harganya adalah WAKTU, karena waktu tak pernah dapat dikembalikan dan dibeli dengan apapun”.

Dalam surat Al-ashr Allah secara khusus bersumpah atas nama waktu, yang menunjukkan bahwa amat sangat berharganya waktu agar tidak disia-siakan.

Mereka tidak pernah mempelajari tafsir ayat tersebut, mereka tidak pernah sekalipun mendapatkan materi tentang manajemen waktu, skala prioritas, dan materi komitmen terhadap waktu. Tapi luar biasanya mereka mengamalkannya tanpa keluhan dan keberatan hati sekalipun. Ketika rapat diputuskan pukul delapan malam, setengah delapan mereka sudah ada di tempat semua, bahkan ada yang selepas maghrib mereka sudah ada di tempat yang disepakati.

Menariknya adalah saat hari ‘H’, Acara rencananya dimulai tepat pukul delapan pagi. Hebatnya, mereka bersepakat bahwa seluruh panitia wajib berkumpul pukul setengah tujuh, untuk briefing dan persiapan peralatan lomba, yang telat tiap menitnya dikenakan sanksi sebesar sepuluh ribu rupiah. Luarrr biasaaa…!!! Komitmen yang saya sendiri tak habis pikir untuk menerapkannya. Tapi, semua sepakat, semua setuju, alasannya satu, untuk kebaikan bersama dan kesuksesan bersama.

Alhasil, hanya ada satu orang panitia yang telat, itupun telatnya hanya hitungan menit, yaitu delapan menit. Saat evaluasi, panitia yang telat tersebut secara jujur tanpa paksaan mengakui dirinya telat dan siap membayar sanksinya. Berat sebetulnya baginya, bahkan ia sampai meminta keringanan untuk menyicil sanksinya selama beberapa kali. Bukan malah minta dimaafkan, Tapi ia malah berkata ‘ini kan kesepakatan bersama, dan gue ada dalam kesepakatan ini, jadi gue harus komit terhadap kesepakatan bersama ini’, begitu kata panitia yang beragama Kristen yang membuat semua orang tersenyum penuh haru dan simpati kepadanya.

Bagaimana dengan kita? Yang mengaku berpedoman terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasulullah? Yang mengaku menyerukan kebaikan dan kemaslahatan? Yang mengaku peduli dengan nasib dan keadaan umat? Yang katanya sudah mengazamkan dalam diri untuk dakwah dan mewakafkan dirinya di jalan dakwah? Sudahkah kita menghargai waktu sebagaimana mereka menghargainya?

Tak jarang saya temui, waktu rapat yang disepakati seringkali dilanggar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, bahkan menuntut pemakluman. Hal ini tidak terjadi sekali dua kali, tapi terus menerus dilakukan oleh kita yang mengaku memahami tentang pentingnya komitmen terhadap waktu. Ketelatan rapatnya bukan hitungan menit lagi, hitungan jam pun sudah menjadi kebiasaan.

Dalam penyelenggaraan kegiatan dakwah pun seperti itu, panitia yang seharusnya datang jauh jauh waktu sebelum waktu kegiatan dimulai, panitia baru hadir lima menit sebelum acara, dan mayoritas yang lainnya terlambat tanpa sedikitpun rasa bersalah terhadap lalainya amanah yang berada di pundaknya masing-masing.

Ketika jadi peserta pun begitu, telat sepertinya adalah kewajiban dalam mindset peserta, ‘ah palingan ujung-ujungnya telat mulainya’, begitu kata mereka. Tak sadarkah mereka bahwa telatnya acara karena menunggu para peserta yang memiliki pola pikir yang sama ? Bahwa telat adalah sebuah keniscayaan. Alhasil, panitia menyelenggarakan kegiatan dengan tergesa-gesa, pesertapun datang dengan bersantai ria, Innalillah…

Tak sadarkah bahwa banyak sekali kezaliman kita terhadap saudara-saudara kita ketika kita tidak memiliki komitmen terhadap waktu? Baik kezhaliman yang secara langsung ia rasakan maupun yang tidak langsung. Mereka yang datang terlebih dahulu tak jarang harus merelakan diri tidak sarapan agar bisa datang tepat pada waktunya, di sisi lain ada yang lagi enak-enakkan menyantap sarapan dengan santai meski acara hampir di mulai, kemudian datang telat tanpa sedikitpun rasa bersalah di raut wajah-wajah mereka.

Tak sadarkah ketika kita hadir telat maka waktu berakhirnya pun akan ikut telat, alhasil mereka yang sudah memiliki agenda lain setelahnya ikut telat dan berantakkan, mereka juga tak luput ikut menzhalimi kawan-kawan yang telah menunggu kehadirannya. Tak sadarkah ketika kita telat, semakin minim waktu sebuah ilmu disampaikan karena harus menyesuaikan susunan acara yang tidak dapat diganggu gugat? Melestarikan ketelatan berarti melestarikan kezhaliman.

Dalam halaqah juga tak jarang begitu, tak jarang murabbi harus menunggu berjam-jam menunggu kehadiran mutarabbinya, begitupun sebaliknya.

Pernah saya mendengar, suatu ketika sebuah halaqah ingin menertibkan halaqahnya, salah satunya tertib dalam kehadiran. Mereka menyepakati bahwa barangsiapa yang telat, tiap menitnya wajib membayar iqab sebesar Rp 100, baik itu murabbi ataupun mutarabbinya. Ternyata dalam pelaksanaannya jauh dari harapan, beberapa kali murabbi telat, sedangkan mutarabbinya datang tepat waktu. Mereka harus menunggu setengah jam hanya untuk menunggu kehadiran Murabbinya, bahkan tak jarang Murabbi tak memberikan kabar terkait kehadirannya, bukannya memberi kabar terkait keberadaan dan kehadirannya, malah mutarabbinya tak dapat menghubungi ponsel pribadi Murabbinya. Ternyata tidak sekali dua kali, hal ini dilakukan berulang –ulang tanpa alasan yang menguatkan dan membenarkannya. Mutarabbinya pun kesal karena merasa tak dihargai komitmennya di dalam halaqah, hingga pada akhirnya mereka enggan untuk hadir kembali dalam halaqah tersebut.

Mutarabbinya telat sepertinya biasa, meski juga tak dibenarkan apapun alasannya, kecuali keadaan-keadaan yang memang tak bisa dihindarinya. Tapi jika murabbi telat, ini sudah keterlaluan menurut saya, apalagi jika telatnya bukan karena alasan yang memberatkannya. Murabbi adalah teladan, bagaimana mungkin mutarabbi dapat menghargai waktu jika Murabbinya tak mampu menghargai waktu yang telah disepakati bersama. Jangan-jangan selama ini telat menjadi sebuah kebiasaan dalam halaqah karena peran para murabbi yang tak dapat memberikan keteladanan dalam komitmen terhadap waktu.

“Jangan berpikir tentang ringannya ketelatan yang kita lakukan, tapi berpikirlah banyaknya kezhaliman yang kita lakukan terhadap orang lain, meski hanya satu menit sekalipun”.

Mari bersama kita merenung dan berdialog dengan diri kita masing-masing, apakah kita termasuk dalam orang-orang yang lemah dalam ruhul istijabah terhadap panggilan dakwah, qiyadah dan murabbi? Termasuk jugakah kita ke dalam orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadap waktu? Hanya tiap hati kita dan Allah yang mampu menjawabnya dengan penuh kejujuran dan keterbukaan.

Selamat berinstrospeksi, semoga bermanfaat dan menginspirasi.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/08/23/56140/belajar-dari-organisasi-kampung-2/#ixzz3BGYceqkB

Comments
0 Comments

0 komentar:

Orang tua dan kesuksesan (edisi SMAN 75)



Dalam sebuah kesempatan berbagi saya biasanya sering menyinggung tentang kedua orang tua,hari itu pun saya menyinggungnya.

Saya ceritakan tentang peran kedua orang tua dlm kesuksesan anak anaknya,boleh jd nelangsanya kita salah satu penyebab utamanya adalah tdk ridhonya ortu thp kita, remehnya kita dalam meminta restu dan doanya, serta secara sadar/tdk sadar kita pernah melukai hati dan perasaannya sbg orang tua, sedikitnya doa doa kita utk mrk jg menjadi penyebabnya,dan faktor lainnya.

Tema hr itu adalah ttg palestina,sy kisahkan bagaimana bangga dan bahagianya seorang ibu palestina mendapatkan anaknya syahid,bkn kesedihan yg ditampakkan,tp kesyukuran dan senyuman yg membuat haru org2 di sekelilingnya.jg ttg bagaimana cintanya seorang anak kepada kedua org tua yg membesarkannya,curhatan sering dibagikan kpd orang tuanya,pergi jihad pun izin dan berpamitan dg orang tuanya,lalu bagaimana dg kita? Apakah dtg ketempat ini kita membawa izin dan pamit dg kedua orang tua kita? Apakah org tua kita ridho kita dtg ke tempat ini? Apakah kita meminta doa dan restunya utk kesini? Atau malah membuatnya jengkel dan sakit hati krn sikap kita?

Semua terdiam... ada yg tertunduk dan ada yg menatap sy menunggu kelanjutan kata2 yg akan keluar dr mulut saya.

Disini siapa yg orang tuanya sudah tidak lengkap? Tanya saya. Saya minta salah satu dr mrk maju utk berbagi kisah dan perasaannya. Namanya adi handoyo,baru saja lulus SMA dan diterima kuliah di untirta jurusan yg berbau dg kelautan.

Dia mengisahkan bahwa ibunya meninggalkannya saat ia msh kecil sekali,dg sebab penyakit komplikasi yg dideritanya. Ayahnya seorang wirausaha biasa,kakaknya yg perempuan baru saja lulus beberapa waktu yg lalu katanya. Terlihat usahanya utk menyembunyikan kesedihannya dg ketegaran ucapannya.

Lalu saya bertanya,apa yg adi rasakan perbedaannya ketika ibu msh ada dan setelahnya? Yg pasti sedih,katanya. Sedih dan haus akan kasih sayang seorang ibu,kehilangan sosok lembut yg penuh dg kasih sayang,tapi saya jg bersyukur,lanjutnya.

Saya bersyukur,krn dg keadaan seperti ini Allah menguatkan saya dan keluarga saya. Menjadikan saya dan kk sy hrs mandiri,hrs bertanggung jawab dan kuat menghadapi masalah masalah kami sendiri,jelasnya dg penuh kesyukuran.

Saya berdecak kagum dlm hati yg sedang simpati.

Pertanyaan sy yg terakhir adalah apa yg ingin adi persembahkan utk almarhumah ibu dan jg keluarga adi?

Saya mau jd anak yg shalih sehingga bs memberikan hadiah berupa doa utk almarhumah ibu dan ingin sukses sehingga bs membahagiakan keluarga. Jawabnya dg penuh keyakinan.

Semua hening,tak ada yg bicara beberapa detik setelah adi menutup kisahnya,termasuk saya. Kekaguman,Simpati dan empati menyelimuti hati kami semua.

Disini Sy ingin menyampaikan korelasi kisah adi dg ibunya dg perjuangan sodara2 kita di palestina. Lanjut saya.

Sesungguhnya pejuang sejati tak terlahir dr kondisi medan juang yg aman dan temtram,tp mrk terlahir dr medan juang yg berat,penuh aral rintang menghadang bahkan jiwa raga menjadi taruhan. Serta ada peran org2 hebat yg ada di belakang org hebat,salah satunya adalah kedua org tua kita.

Tutup saya dlm sesi orang tua dan melanjutkan dlm sesi materi sy selanjutnya.

@dhezun | Markaz Inspirasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

Khawarij (Sejarah, pemikiran dan pergerakkannya)


 A. Pengertian Khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar. Dinamai demikian karena kelompok ini adalah orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui perdamaian dengan mengadakan arbitrase dengan Muawiyah bin Abi Sufyan[1].

Pendapat lain mengatakan bahwa khawarij berasal dari kata kharaja- khurujan didasarkan atas Q.S. 4 : 100 yang pengertiannya keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah. Kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. [2]

Dengan demikian khawarij adalah aliran (firqah) yang keluar dari jamaah (almufaraqah li al-jamaah) disebabkan ada perselisihan pendapat yang bertentangan dengan prinsip yang mereka yakini kebenarannya.

Selain nama khawarij, ada beberapa nama lagi yang dinisbatkan kepada kelompok aliran ini, antara lain al-muhakkimah, syurah, haruriyah dan al-mariqah.

Al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal  (Tiada hukum kecuali hukum Allah) atau  (Tidak ada pembuat hukum kecuali Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali bin Abi Thalib. Menurut pendapat aliran ini yang berhak memutus perkara hanya Allah, bukan melalui arbitrase (tahkim)[3].

Syurah berasal dari syara- syira’an artinya menjual. Penamaan ini didasarkan pada Q.S. 2 : 207 : Dan diantara manusia ada yang menjual dirinya untuk memperoleh keridlaan Allah. Pengikut aliran ini menganggap kelompoknya sebagai golongan yang dimaksud pada ayat di atas[4].

Haruriyah berasal dari kata Harurah, nama daerah tempat menggalang kekuatan dan pusat kegiatan kelompok ini setelah memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib. Haruriyah berarti orang-orang berkebangsaan Harurah[5].

Al-Mariqah berasal dari kata  maraqa artinya anak panah keluar dari busurnya. Pemberian nama ini oleh orang-orang yang tidak sepaham (lawan) aliran ini karena dianggap telah keluar dari sendi-sendi agama Islam[6].Adanya sebutan (nama) yang variatif bagi aliran khawarij itu didasarkan kepada slogan-slogan yang diproklamirkan aliran ini, atau berdasarkan markas dan pusat perkembangan serta penyebaran aliran ini, bahkan ada yang berdasarkan kecaman dari yang tidak sefaham dengan aliran ini.

Konsep-Konsep Pemikiran Khawarij

Ada dua prinsip pokok yang menjadi kesepakatan paham-paham Khawarij, yaitu keputusan umum mereka terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan kewajiban al-khurûj (memberontak; revolusi) terhadap penguasa lalim. Mengenai prinsip pertama, Khawarij menetapkan sahnya bait Imam Ali dan mendukungnya sampai sebelum kejadian tahkîm. Akan tetapi, setelah kejadian tersebut, mereka mengucilkan Khalifah Ali, bahkan memvonisnya sebagai kafir, seperti halnya mereka memvonis kafir terhadap Utsman setelah enam tahun dari kekhalifahan. Jadi, dari prinsip pertama ini terlahir klaim takfîr dan al-hâkimiyyah yang selanjutnya menjadi pokok konsep pemikiran sekte Khawarij. Adapun dari prinsip kedua, muncullah konsepsi khurûj dan al-hijrah, sebagai penyempurna dari prinsip pertama. Inilah konsep-konsep umum pemikiran Khawarij.

1. Al-Hâkimiyyah; lâ hukma iIllâ lillâh

Dalam sejarah pemikiran islam, statemen al-hâkimiyyah (otoritas) pertama kali diusung oleh sekte Khawarij dalam jargonnya hukma illâ lillâh. Hal ini terjadi ketika kaum pembelot Khalifah Ali tersebut menolak arbitrasi pada perang Shiffin. Menurut Khawarij, keputusan hanyalah di tangan Allah, tidak di tangan kedua arbitrator, yaitu Abu Musa Asy'ari dan Amr bin Ash. Khawarij tidak setuju dengan arbitrasi karena menurut persepsi mereka, hal itu menyalahi keputusan Allah dalam surat Al-Mâ’idah ayat 33.

Di dalam Al-Quran, kalimat al-hukmu bi mâ anzalallâhu terdapat pada banyak ayat. Orang-orang yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah dianggap sebagai orang kafir, zalim, dan fasik, sebagaimanya dinyatakan secara berturut-turut dalam surat Al-Mâ’idah ayat 44, 45, dan 47. Inilah yang menjadi dasar hukum sekte Khawarij dalam mengusung slogan tersebut. Mereka membelot dan mengklaim kafir kepada Imam Ali karena tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah. Tapi dengan ini pula, pada dasarnya Khawarij telah memindahkan konflik serta oposisi mereka dari ruang aktivitas politik yang mengandung kemungkinan salah dan benar ke dalam ruang akidah keagamaan dengan mengusung klaim kafir atau iman. Untuk itulah, jargon Khawarij hukma illâ lillâh (tidak ada keputusan selain keputusan Allah) dijawab imam Ali dengan: kalimatu al-haqqi wa yurâdu bihâ al-bâthil (statemen yang benar, tetapi dengan maksud yang salah).

2. Takfîr

Takfîr (pengkafiran) merupakan senjata sekte Khawarij dalam menghadapi setiap penentangnya. Khawarij menganggap dirinya sebagai umat Islam sejati, sedangkan umat Islam lainnya yang tidak menganut prinsip-prinsip mereka adalah kafir atau musyrik, bahkan mereka lebih membenci orang-orang ini daripada kaum Nasrani, Yahudi, atau Majusi. Khawarij menjamin keamanan orang dzimmi dan tidak menjamin keamanan orang Islam yang tidak menganut prinsip mereka.

Pendapat mereka dalam takfir berpegang pada firman Allah, "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan):"Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS.3: 106).  Dalam hal ini, Khawarij berkata bahwa seorang fasik tidak bisa bermuka putih dan berseri sehingga ia harus disebut kafir.

3. Al-Hijrah

Disamping takfîr dan al-hukmu bi mâ anzalallâh, muncul pula prinsip hijrah untuk meyempurnakan lingkup pemikiran Khawarij. Mereka mendu­kung prinsip hijrah dengan beberapa ayat Al-Quran, seperti firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makah)". Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. 4: 97)

Hijrah yang dimaksud di sini ialah pergi meninggalkan wilayah negara yang mereka anggap kafir, menuju markas mereka yang akan dipakai sebagai tempat bertolak untuk memerangi penguasa zalim. Dengan ini, lengkap sudah dimensi teori pemikiran Khawarij, yaitu mulai dari otoritas, pengkafiran, dan hijrah, lalu disempurnakan dengan konsep utama pemikiran mereka, yaitu al-khurûj.

4. Al-Khurûj (Pemberontakan; Revolusi)

Inilah corak utama yang khas pada pemikiran Khawarij. Pemberonta­kan (revolusi) menurut Khawarij hukumnya wajib jika jumlah penentang imam zalim mencapai empat puluh orang. Menurut mereka, jumlah ini adalah batasan asy-syurâh, yaitu orang-orang yang membeli surga dengan menjual jiwanya. Keempat puluh orang ini wajib memberontak dan melakukan revolusi sampai mati atau sampai mampu menegakkan agama Allah dan menghancurkan orang kafir serta orang-orang zalim. Mereka harus selalu melakukan pemberontakan kecuali apabila jumlah mereka kurang dari tiga orang. Apabila kurang dari tiga, mereka diam dan menyembunyikan akidahnya. Dengan ini, berarti Khawarij mengambil jalan al-kitmân.

Yang sangat menarik dari oposisi Khawarij, setiap penindasan dan pengekangan yang menimpa, justru akan menambah kuat oposisi serta mendorong mereka untuk semakin radikal dan fanatis. Tapi perlu dicatat bahwa revolusi-revolusi Khawarij—meskipun sangat sering—tidak mendatangkan hasil positif. Hal ini pertama-tama disebabkan karena Khawarij miskin manajemen, bercorak spontanitas, dan terlalu over dalam berevolusi. Ketika baru mencapai batas asy-syurâh, mereka telah mengadakan revolusi sehingga mudah ditumpas sampai habis. Untuk itu, revolusi-revolusi Khawarij hanya menambah pertumpahan darah saja. Hal inilah yang banyak melemahkan kekuatan orientasi revolusionernya.

Sekte-sekte Khawarij 

Khawarij terkenal karena ketidaksudian dan keengganan berkompromi dengan pihak manapun yang dianggap bertentangan dan berseberangan dengan pendapat dan pemikirannya, sehingga muncullah beberapa kelompok sektarian (sempalan) dari aliran khawarij ini yang masing-masing sekte tersebut cenderung memilih imamnya sendiri dan menganggap sebagai satu-satunya komunitas muslim yang paling benar.

Ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits diartikan menurut lafadz dan harus diartikan sepenuhnya. Iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik yang membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Hal inilah yang menyebabkan kaum khawarij mudah terpecah belah menjadi sekte-sekte kecil dan terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada pada masanya.

Mengenai jumlah sekte khawarij, ulama berbeda pendapat, Abu Musa Al-Asy’ary mengatakan lebih dari 20 sekte, Al-Baghdady berpendapat ada 20 sekte, Al-Syahristani menyebutkan 18 sekte, Musthafa al-Syak’ah berpendapat ada 8 sekte utama, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyah, al-Ajaridah, al-Saalibah, al-Ibadiah dan al-Sufriyah. Muhammad Abu Zahrah menerangkan 4 sekte yaitu al-Najdat, al-Sufriyah, al-Ajaridah dan al-Ibadiah. [12]
Sedangkan Harun Nasution ada 6 sekte penting yaitu:

  1. Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah dipandang sebagai golongan khawarij asli (pelopor aliran khawarij) karena terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian membangkang dan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan dari doktrin mereka la hukma illa li allah yang merujuk pada Q.S. 6 : 57 : In al-hukmu illa li allah (menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah). Mereka menolak arbitrase karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah dalam Q.S. 49 : 9 yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang (bughat) sampai mereka kembali ke jalan Allah.
Pemimpin sekte ini bernama Abdullah bin Wahab al-Risbi yang dinobatkan setelah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dalam paham sekte ini Ali, Muawiyah dan semua orang yang terlibat dan menyetujui arbitrase dituduh telah menjadi kafir karena telah menyimpang dari ajaran Islam berdasarkan Q.S.5 : 44.
Sekte ini juga berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar seperti membunuh tanpa alasan yang benar dan berzina adalah kafir. Hal ini didasarkan dengan ayat Al-qur’an Surat An-nisa’:31,

  1. Al- Azariqah
Sekte al-Azariqah lahir sekitar tahun 60 H. (akhir abad 7 M.) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpin sekte ini yang bernama Nafi bin Azraq al-Hanafi al-Hanzali, anak bekas budak Yunani. Sebagai khalifah Nafi diberi gelar amir al-mukminin. Menurut al-Baghdadi pendukung sekte ini  berjumlah lebih dari 20 ribu orang.
 Paham dari pemikiran sekte ini lebih ekstrem (radikal), diantaranya:[13]
1.      Orang Islam yang tidak bersedia memihak atau bekerja sama dengan mereka dianggap murtad.
2.   Orang yang menolak ajaran al-Azariqah adalah musyrik.
3.   Pengikut al-Azariqah yang tidak berhijarah (eksodus) ke daerah wilayah kekuasaan mereka dianggap musyrik juga.
4.   Semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh termasuk anak dan istri mereka.
5.   Adanya praktek isti’rad artinya menilai dan menyelidiki atas keyakinan para penentang mereka. Orang-orang yang tidak lolos dari penyelidikan ini dijatuhi hukuman mati, termasuk wanita dan anak-anak, karena anak-anak orang musyrik akan dikutuk bersama orang tuanya.
Berdasarkan prinsip dan pemikiran tersebut, pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar wilayah daerah kekuasaan mereka. Mereka menganggap daerah mereka sebagai dar al-islam, diluar  daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah orang kafir).
Pada tahun 684 M. Sekte al-Azariqah ini membiarkan kaum khawarij lainnya di Bashrah menjalani perang yang mencekam di Irak selatan dan Iran, akhirnya semuanya menemui kematian syahid menurut mereka sebagaimana harapan mereka.

  1. Al-Najdat
Penamaan sekte ini dinisbatkan kepada pemimpinnya yang bernama Najdah bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrain. Lahirnya sekte ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi (pemimpin al-Azariqah) yang dianggap terlalu ekstrim. Pendapat Nafi yang ditolak adalah tentang :
  1. Kemusyrikan pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah ke wilayah al-Azariqah.
  2. Kebolehan membunuh anak-anak atau istri orang yang dianggap musyrik.
Pengikut al-Najdat memandang Nafi dan orang-orang yang mengakuinya sebagai khalifah telah menjadi kafir. Paham theologi al-Najdat yang terpenting adalah :[14]
  1. Orang Islam yang tidak sepaham dengan alirannya dianggap kafir dan akan masuk neraka yang kekal di dalamnya.
  2. Pengikut al-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar.
  3. Dosa kecil dapat meningkat posisinya menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus menerus.
  4. Adanya faham taqiyah yaitu orang Islam dapat menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya. Dalam hal ini diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya.
Dalam perkembangan selanjutnya sekte ini mengalami perpecahan. Dari tokoh penting sekte ini  seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil membentuk kelompok oposisi terhadap al-Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya al-najdat pada tahun 69 H. (688 M.).

4.Al-Ajaridah
Pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim bin Ajarrad. Pemikiran sekte ini lebih moderat dari pada pemikiran al-Azariqah. Sekte ini berpendapat :[15]
1.      Tidak ada kewajiban hijrah ke wilayah daerah al-Ajaridah.
2.      Tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh.
3.      Anak-anak kecil tidak dapat dikatagorikan orang musyrik.
4.      Surat Yusuf bukan bagian dari al-Qur’an, karena al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita percintaan seperti yang terkandung dalam surat yusuf.

5.      Al-Sufriyah
Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah akan tetapi lebih lunak. Nama al-Sufriyah berasal dari nama pemimpin mereka yang bernama Zaid bin Asfar. Pendapat dari sekte al-Sufriyah yang terpenting adalah :[16]
  1. Umat Islam non khawarij adalah musyrik, tetapi boleh tinggal bersama mereka dalam perjanjian damai (genjatan senjata) asalkan tidak mengganggu dan menyerang.
  2. Kufur atau kafir mengandung dua arti yaitu kufr al-nikmat (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr bi Allah (mengingkari Allah). Kufr al-nikmat tidak berarti keluar dari Islam.
  3. Taqiyah hanya dibenarkan dalam bentuk perkataan, tidak dibenarkan dalam bentuk tindakan (perbuatan).
  4. Perempuan Islam diperbolehkan menikah dengan laki-laki kafir apabila terancam keamanan dirinya.
6.Al-Ibadiyah
Sekte ini dilahirkan oleh Abdullah bin Ibad al-Murri al-Tamimi tahun 686 M. Doktrin sekte ini yang terpenting adalah :[17]
  1. Orang Islam yang berbuat dosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, akan tetapi muwahhid.
  2. Dar al-kufr adalah markas pemerintahan yang harus diperangi, sedangkan diluar itu disebut dar al-tauhid dan tidak boleh diperangi.
  3. Yang boleh menjadi harta pampasan perang adalah kuda dan peralatan perang.
  4. Umat Islam non khawarij adalah orang yang tidak beragama tetapi bukan orang musyrik
Sekte al-Ibadiyah sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran khawarij dan merupakan sekte khawarij yang bertahan hingga zaman modern. Mereka menghasilkan sejumlah mutakallimin (theolog) paling awal dalam Islam dan bersedia hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam lainnya yang tidak menganiaya mereka. Mayoritas umat Islam dan keluarga penguasa dalam kesultanan Oman adalah Ibadiyah. Sekte ini juga terdapat di Mzab dan Wargla (Aljazair), pulau Jerba lepas pantai timur Tunisia, Nafusa dan Zuwaghah (Libia), Zanzibar dan beberapa perkampungan di Afrika Timur. Kini jumlahnya tidak lebih dari sejuta orang.
Adapun golongan Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun mereka sebagai golongan telah hilang dalam sejarah, ajaran-ajaran mereka masih mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak dalam masyarakat Islam sekarang.

Posisi Khawarij dalam Struktur Pemikiran Islam dan Peta Penyebarannya

Mayoritas kaum orientalis cenderung memuji Khawarij dan mengagung-agungkannya. Van Fluten, misalnya, ia menjuluki Khawarij dengan 'kaum republik' karena dalam pandangannya, Khawarij mengusung prinsip-prinsip demokrasi konservatif. Demikian juga yang dinyatakan oleh Von Yulius Wellhausen, seorang orientalis asal Jerman. Dari kalangan pemikir modern, Prof. Umar Abu Nashr dalam bukunya Al-Khawâriju Wa al-Islam juga sejalan dengan perspektif ini. Ia melihat bahwa Khawarij paling dekat dalam beradaptasi dengan agama.  Menurutnya, Pemikiran Khawarij telah memberikan warna yang berbeda pada tradisi pemikiran politik Islam yang menurut sebagian pakar, keduanya bercorak 'revolusioner' dan 'demokratis'. Pertama, Khawarij menjadikan khilafah sebagai hak setiap individu Muslim selama memenuhi syarat-syarat yang mereka tentukan, yakni Islam, adil, dan berilmu. Kedua, Khawarij memberikan hak pilih kepada seluruh umat Islam sehingga mereka berhak mencopot khalifah jika melenceng dari syarat-syarat kekhalifahan.

Tapi mayoritas Ahlussunnah menganggap Khawarij telah keluar dari pemahaman agama yang benar. Dahulu, Ibnu Abbas berkata tentang Khawarij, "Tidaklah Haruriyah (Khawarij) lebih mengetahui hukum dari orang Yahudi dan Nashrani. Mereka semua adalah sesat." Bahkan Rasulullah juga sudah memprediksi munculnya kelompok yang membangkang seperti ini dalam beberapa sabdanya. Pendapat-pendapat Khawarij juga dikritik dan dihancurkan oleh Umar bin Abdul Aziz, ditentang oleh Maltha, Ibnu Hazm, Syahrastani, dan lain-lain. Pada masa sekarang, Syaikh Abu Zahrah menyebut mereka dengan fanatis, berpandangan sempit, berpihak pada satu sisi pemikiran saja, gemar mengklaim bahwa hadits-hadits yang mereka gunakan sebagai dalil berasal dari Rasul demi melegitimsi kebenaran pendapatnya, dan berpegang teguh pada zahir Al-Quran tanpa melihat maksud dan tujuan.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Al-Syahristani, Al-Milal wa al-Nihal, Jilid 1 ( t.p., 1968) hal.123
[2] Ibid
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, (Raja Grafindo Persada, 1995) h.196
[4] Al-Syahristani, op.cit h.125
[5] A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2, (Pustaka al-Husna, 1988) h.309
[6] Al-Syahristani, op.cit h.125
[7] Drs Bashori, Ilmu Kalam, hal 56
[8] Drs.Burhandaya, Sejarah Perkembangan pemikiran ketuhanan dalam islam, PN tiga A, Yogjakarta 1976 hal 37
[9] Drs Bashori, Ilmu Kalam, hal 56
[10] Al-Syahristani, op.cit h.130
[11] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, (Raja Grafindo Persada, 1995) h.196
[12] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (UI Press, 1986) h.20
[13] Opcit hal 25
[14] Opcit hal 28
[15]ibid hal 30
[16] Ibid hal 32
[17] Ibid hal 34

Referensi Lain
1. Abdul Khaliq Musthafa, Nevin. 1985. Al-Mu'âradhatu Fî al-Fikri as-Siyâsi al-Islâmi. Kairo; maktabah al-Malik Faishal al-Islamiyah.
2. Abu Hadid, Ibnu. 1967.  Syarhu Nahji al-Balâghah. Kairo; Mathba'ah Halabi.
3. Husein, Thaha.  1962. Al-Fitnatu al-Kubrâ. Kairo; Dar al-Ma'arif.
4. Ibrahim Hasan, Hasan. Dr. 1959. Târîkhu al-Islâmi as-Siyâsy Wa ad-Dîni Wa ats-Tsaqâfati Wa al-Ijtimâ'i. Kairo; Maktabah Nahdhah al-Mashriyah.
5. Khudhori Beik, Muhammad. Syaikh. 1376 H. Muhâdharâtu Târîkhi al-Umami al-Islâmiyyah. Kairo; Mathba'ah Istiqamah.
6. Maqdisi, Abu Zabad Ahmad bin Sahal Balkhi Mutahhir bin Tahir. 1916. Kitâbu al-Bad'i Wa at-Ta'rîkh. Kairo. t.p.
7. Nabrawi, Fathiya.  Dr,  Nashr Manha, Muhammad. Dr. 1984. Tathawwuru al-Fikri as-Siyâsi Fî al-Islâm. Kairo; Dar al-Ma'arif.
8. Syahrastani. t.t. Al-Milal wa An-Nihal. t.k. t.p
9. Thabari. 1980. Mukhtasharu Tafsîri al-Imâmi ath-Thabari. Kairo; Dar  asy-Syuruq.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Postingan yang Lain