Terbaru

Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme




1. Sekularisme
Pada saat ini, agama Islam dan kaum muslimin dijadikan sebagai objek atau target yang harus dihancurkan atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi. Mereka (para musuh Allah SWT) dengan berbagai macam cara berusaha untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Misalnya saja dengan cara menghembuskan angin sekularisme, liberalisme dan pluralisme ke tengah-tengah negara yang dihuni oleh mayoritas kaum muslimin.

Istilah sekularisme pertama kali digunakan oleh seorang penulis Inggris yang bernama George Holoyake pada tahun 1846. Makna dari sekularisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi, badan atau negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan masyarakat. Konsep sekularisme ini lahir dari konsep kebebasan berpikir yang telah ada sepanjang sejarah. Menurut pencetus faham sekular, yaitu George Holoyake bahwa idenya ini bertujuan untuk memisahkan tatanan sosial dari agama tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah agama, norma atau kepercayaan masyarakat apa pun.

Apabila faham sekular ini masuk ke ranah politik, maka sekularisme di dalam politik adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dengan pemerintahan atau negara. Bentuknya bisa saja dengan cara mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama mayoritas sebuah negara. Misalnya dengan cara mengganti hukum keagamaan dengan hukum sipil.

Lambat laun, faham jahat ini sudah merambah dan masuk ke dalam jiwa kaum muslimin di mana pun mereka berada. Misalnya saja ada sebagian orang ketika mereka harus berhadapan dengan uang sogok, maka ketika ada temannya yang menegurnya bahwa sogok itu diharamkan oleh agama (Islam), maka dengan nada marah dia berkata, “Kamu jangan bawa-bawa agama di sini!”

Inilah salah satu bukti bahwa masyarakat muslim di Indonesia khususnya, telah banyak yang terinfeksi virus sekularisme. Selain itu, masih ada dua faham yang sedang mengintai kaum muslimin pada saat ini, yaitu faham pluralisme dan liberalisme.

2. Pluralisme
Menurut asal katanya, pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Apabila merujuk kepada Wikipedia berbahasa Inggris (www.wikipedia.org), maka definisi pluralism adalah sebagai berikut, “In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation.” Atau dalam bahasa Indonesianya diartikan sebagai berikut, “Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan).”

Pluralisme menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang ekslusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan kebenaran itu, setidak-tidaknya akan ditemukan sebuah kebenaran atau nilai-nilai yang benar. Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah sebuah keharusan. Seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,” (QS. Al-Kafirun [109]: 1-6).

Akan tetapi, bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah benar (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa tuhan yang kami sembah adalah bukan tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme di dalam agama Islam. Namun demikian, faham ini (pluralisme) semakin disebar luaskan oleh para musuh Allah SWT. Mereka mengaku sebagai muslim, akan tetapi berniat merusak Islam dan kaum muslimin dari dalam.

Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Akan tetapi yang diinginkan oleh pluralisme agama adalah ingin menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama masing-masing.
Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Di halaman pertama situsnya tertulis, “Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama.”

Saat ini, pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :

1. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural.
2. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
3. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.

Melihat kondisi seperti ini, akhirnya MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang melarang pluralisme sebagai respon atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti, “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.”

Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai faham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Karena Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Qur`an, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam,” (QS. Ali Imran [03]: 19). “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi,” (QS. Ali Imran [03]: 85).


3. Liberalisme
Kata liberalisme berkaitan erat dengan kata libertas (bahasa Latin) yang artinya kebebasan. Kata liberalisme ini sangat luas cakupannya. Di antaranya mencakup bidang politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal kepada kebebasan setiap pribadi terhadap kekuasaan apapun. Sedangkan di Perancis, kata liberalisme ini lebih dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi.

Kata liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dan di dalam berbagai bidang yang berbeda, akan tetapi kata ini memiliki pengertian sendiri di dalam agama, yaitu diartikan sebagai keinginan untuk dibebaskan dari paksaan dari luar, seperti paksaan dari norma agama. Para tokoh liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas kitab suci masing-masing agama, seperti atas Al-Qur`an untuk umat muslim dan Bible untuk umat Kristiani.

Di dalam agama Kristen yang menyembah Yesus (Nabi Isa AS, menurut kaum muslimin), pada mulanya masih memberi tempat untuk hal-hal yang bersifat supranatural. Akan tetapi, lama-kelamaan perkembangan liberalisme mengarah kepada penekanan bahwa Yesus adalah sekedar manusia biasa (menggeser dogma Kristen). Awal mulanya, liberalisme ini mempunyai andil dalam memperbaiki beberapa kekeliruan kepercayaan di dalam tubuh umat Kristiani. Akan tetapi, faham ini tidak memberi jalan keluar yang lebih baik. Justru nafas kebebasan itu berangsur-angsur membawa manusia kepada peninggian diri sendiri dan akhirnya semakin menafikan Tuhan sebagai Dzat yang kekal.

Di dalam Islam, ada sekelompok anak muda yang mengaku muslim dan mengusung faham ini dan menancapkannya ke dalam tubuh umat Islam. Yaitu yang kita kenal dengan sebutan Jaringan Islam Liberal. Tepatnya pada awal tahun 2000, sebuah situs bernama http://www.islamlib.com diluncurkan atas prakarsa dari beberapa intelektual muda Indonesia. Pada tahun 2001, istilah Islam Liberal sudah banyak dibicarakan, baik di halaman-halaman media massa maupun di ruang-ruang diskusi di negara-negara muslim.

Mereka yang menyebut dirinya sebagai Islam Liberal biasanya bersikap defensif di hadapan para pemikir Barat dan berusaha keras menjelaskan kemuliaan dan keluasan Islam dengan istilah-istilah yang favourable, yang cocok dan tidak melukai perasaan orang-orang Barat. Akan tetapi sebaliknya, mereka akan bersikap ofensif (menyerang), baik dengan kata-kata maupun dengan tulisan terhadap saudara-saudaranya sendiri yang berusaha mengamalkan Islam sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Al-Hadits yang shahih.

Sebenarnya, Islam Liberal sudah muncul sekitar abad ke-18 pada saat kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawi, dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Prof. Kurzman, seorang profesor sosiologi di University of North Chapell Hill, Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku yang berjudul, “Liberal Islam a Source Book.” Buku ini menggambarkan perkembangan pemikiran yang menandai kebangkitan pemikiran Islam yang dipengaruhi oleh filsafat modern, khususnya dipengaruhi oleh liberalisme.

Menurut Prof. Kurzman, cikal bakal faham liberal ini awal mulanya mulai muncul melalui Syah Waliyullah (India, 1703 – 1762). Menurut Syah, Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Pemikiran seperti ini juga berkembang di kalangan Syiah, yaitu yang dikomandoi oleh Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) yang mendobrak pintu ijtihad dan membukanya selebar-lebarnya.

Ide ini pun terus bergulir. Di Mesir, ada Rifa’ah Rafi’ Al-Tahtawi (Mesir, 1801 – 1873) yang memasukkan unsur-unsur Eropa ke dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818 – 1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827 – 1897) yang memasukkan mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Di India, muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817 – 1825) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerjasama dengan penjajah Inggris. Lalu muncul pula Qasim Amin dari Mesir (1865 – 1908), kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku “Tahrir Al-Mar`ah” “Kebebasan Wanita,” yang kemudian disusul oleh munculnya Ali Abdur Razzaq (1888 - 1966) yang mendobrak sistem khilafah.

Di Aljazair muncul nama Muhammad Arkoun (lahir 1928). Di Pakistan, ada nama Fazlur Rahman (lahir 1919) yang kemudian menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Fazlur Rahman menggagas tafsir kontekstual, satu-satunya model tafsir yang menurutnya adil dan terbaik.

Di Indonesia muncul nama Nurcholis Madjid (murid Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori firqah liberal bersama Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Adian Husaini dalam makalah “Islam Liberal dan Misinya” menukil dari Greg Barton, Sabili No. 5: 88). Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruan pemikiran Islam sejak tahun 1970-an.

Menurut situs www.islamlib.com, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan, yaitu: (1) Membuka pintu ijtihad seluas-luasnya pada semua dimensi Islam; (2) Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks; (3) Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural; (4) Memihak kepada kalangan minoritas dan tertindas; (5) Meyakini kebebasan beragama; dan (6) Memisahkan kepentingan duniawi dan ukhrawi, dan memisahkan kepentingan agama dan politik.


Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki misi yang diembannya, yaitu:

1. Mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada khalayak seluas mungkin.

2. Mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Mereka yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.

3. Mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Awalnya, JIL hanya sebagai wadah berkumpulnya anak-anak muda NU di berbagai tempat, seperti di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, juga di sebuah tempat di Pancoran, Jakarta. Lalu ada ide dari Luthfi Assyaukanie, seorang mantan wartawan majalah Ummat yang juga sebagai dosen di Universitas Paramadina Jakarta (kini sedang menempuh program Doktor di Australia) agar membuka sebuah mailing list di website sebagai sebuah forum diskusi dan sosialisasi ide-ide di antara mereka. Mereka itu antara lain terdiri dari Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Sahal, redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam yang aktif di Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU. Tercatat ada beberapa nama yang ikut bergabung di dalam mailing list yang bernama islamliberal@yahoogroups.com ini. Tercatat nama seperti Hamid Basyaib, Farid Gaban, dan Denny J.A.

Ternyata, mailing list ini diminati ratusan member. Mereka bukan hanya dari kalangan muslim, tetapi juga dari kalangan non-muslim. Bahkan, para Indonesianis seperti William Liddle, Greg Barton, Daniel S. Lev, dan sejumlah Indonesianis lainnya menjadi member di dalam mailing list ini. Yang juga mengejutkan, kalangan muda Kristen, Partai Rakyat Demokrasi, dan lembaga CSIS juga tercatat sebagai member.
Diskusi di jaringan maya ini semakin lama semakin intens. Nama “Islam Liberal” itu sendiri sebetulnya adalah sebuah kebetulan. Dari diskusi yang intens itu, lambat laun, nama Islam Liberal begitu saja melekat pada komunitas member mailing list itu, sehingga nama tersebut sudah menjadi label pada komunitas itu. Paling tidak, nama itu bisa menggambarkan arah dan substansi pemikiran yang berkembang dalam diskusi di dunia maya tersebut.

Pada pertengahan Maret 2001, ketika sedang maraknya aksi-aksi dan gerakan radikalisme Islam, diskusi di mailing list ini menemukan fokusnya. Akhirnya, berbagai diskusi di mailing list ini mengkristal menjadi sebuah model pemikiran dan penafsiran Islam. Pemikiran ini tentu bersinggungan dengan kalangan penganut Islam lainnya. Lahirnya komunitas ini sekaligus dijadikan nama sebuah wadah atau gerakan mereka, yaitu Jaringan Islam Liberal yang disingkat JIL.

Menurut kalangan JIL, arti kata liberal di sini hanya dalam arti kebebasan berpikir dan mengkritik apa yang selama ini dianggap sebagai sebuah norma yang tidak bisa disentuh. Di antaranya mereka menggagas ide-ide bercorak liberal yang dekat dengan perspektif Barat, misalnya tentang keharusan demokrasi, pluralisme, universalisme (kesamaan prinsip) agama, sampai kepada kesetaraan gender. Menurut situs mereka (www.islamlib.com), misi komunitas ini (JIL) adalah untuk menghadang gerakan Islam fundamentalis.

Di dalam situs resmi milik mereka itu, tercantum beberapa nama tokoh yang menjadi kontributor JIL, antara lain Nurcholis Madjid (Universitas Paramadina Mulya, Jakarta), Charles Kurzman (University of North Carolina), Azyumardi Azra (UIN Jakarta), Abdallah Laroui, Muhammad V. (University of Maroko), Masdar F. Mas’udi (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta), Goenawan Muhammad (Pimpinan Majalah Tempo), Edward Said, Djohan Effendi (Deakin University, Australia), Abdullah Ahmad An-Naim (University of Khartoum, Sudan), Jalaluddin Rachmat (Yayasan Muthahhari, Bandung), Asghar Ali Engineer, Nasaruddin Umar (UIN Jakarta), Mohammad Arkoun (University of Sorbonne, Perancis), Komaruddin Hidayat (Yayasan Paramadina Jakarta), Sadeq Jalal Azam (Damascus University, Suriah), Said Agil Siradj (PBNU Jakarta), Denny J.A. (Universitas Jayabaya Jakarta), Rizal Mallarangeng (CSIS Jakarta), Budi Munawar Rahman (Yayasan Paramadina Jakarta), Ihsan Ali Fauzi (Ohio University, USA), Taufik Adnan Amal (IAIN Alaudin, Ujung Pandang), Hamid Basyaib (Yayasan Aksara Jakarta), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU Jakarta), Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya, Jakarta), Saiful Muljani (Ohio State University, USA), Ade Armando (Universitas Indonesia, Depok), Samsurizal Panggabean (Universitas Gajahmada, Yogyakarta). Mereka menunjuk Ulil Abshar Abdalla sebagai koordinator umum JIL, yang menjadi penggerak utama di dalam JIL, sekaligus sebagai “ulama” bagi komunitas yang tergabung di dalamnya.

Mereka berperan di dalam mengampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu, di antaranya melalui media Kantor Berita Radio 68 H. Stasiun radio milik Komunitas Utan Kayu (KUK) ini secara rutin melakukan siaran talkshow dialog interaktif dengan para aktivis dan intelektual muda JIL. Siaran radio itu dirilis oleh 425 stasiun radio lainnya di seluruh Indonesia.

Tidak hanya melakukan penyebaran gagasan Islam liberal melalui radio, penyebaran gagasan Islam liberal (Islam yang pluralis dan inklusif) disebarkan juga melalui media cetak. Harian Jawa Pos setiap minggunya menyediakan ruang satu halaman untuk wawancara disertai artikel-artikel yang dipasok oleh JIL. Koran lainnya, seperti Koran Tempo, Republika, dan Kompas sering pula menampilkan tulisan-tulisan para intelektual anggota JIL ini.
Mengenai sumber dana JIL, mereka mendapat sokongan dana dari beberapa LSM internasional, seperti Asia Foundation, Ford Foundation serta LSM lainnya yang mendukung ide-ide, gagasan, dan pemikiran yang diusung oleh para aktivis JIL. Sehingga, kepentingan-kepentingan Barat sangat kentara di dalam ide-ide dan program-program yang diusung oleh mereka.


Pokok-pokok Ajaran JIL:

1. Mengklaim bahwa Al-Qur`an yang beredar sekarang sudah tidak asli lagi (palsu), karena banyak ayat-ayatnya yang salah.

2. Menganggap Al-Qur`an ini berlaku karena otoritas (paksaan, pen.) dari Khalifah Utsman bin Affan.

3. JIL berjuang untuk membuat Al-Qur`an versi JIL, yaitu Al-Qur`an ala Indonesia. (Lihat Majalah Syir’ah, No.2, tahun 2002).

4. Ayat Al-Qur`an yang berbunyi: “Innad diina ‘indallaahil islaam.”

5. Menurut JIL ayat tersebut adalah salah, dan yang benar adalah berbunyi:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الْحَنَفِيَّةُ.

6. Menurut JIL, kata-kata Islam sudah tidak cocok dengan situasi dan kondisi saat ini, karena Islam terlalu radikal dan keras.

7. Ibadah Haji boleh dilakukan di dalam tiga bulan yaitu Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah.

8. Beragama itu seperti memakai baju, boleh bergonta–ganti.

9. Semua agama itu sama benarnya dan tidak boleh mengaku agama sendiri yang paling benar. Buktinya kaum muslimin (orang Islam) itu sehari semalam (minimal) dalam shalatnya mereka membaca: “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” Dibaca sebanyak 17 kali. Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus itu belum tahu di mana adanya. Mungkin saja jalan yang lurus itu ada di dalam agama Hindu, ada dalam agama Budha, ada dalam agama Kristen, ada dalam agama Yahudi, atau ada dalam agama Islam. Oleh karena itu, orang Islam jangan mengaku paling benar sendiri. Buktinya, masih memohon kepada Tuhan untuk ditunjuki ke jalan yang lurus secara terus menerus sepanjang hidup.

10. Harus ada kesediaan untuk menerima semua sumber kebenaran, termasuk yang datang dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, dan yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

11. Tidak ada Hukum Tuhan, yang ada hanya Sunnah Tuhan.

12. Memakai jilbab, hukum potong tangan, qishash, rajam, pernikahan, dan jual beli tidak ada di dalam Islam.

13. Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji kritis, sehingga tidak saja menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya.

14. Upaya untuk menegakkan syariat Islam adalah wujud ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang menghimpit mereka. Umat Islam menganggap semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam dalam penafsiran yang kolot dan dogmatis diterapkan di muka bumi.

15. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “Hukum Tuhan.” “Sekali lagi, saya tidak percaya kepada Hukum Tuhan,” kata Ulil.

16. Pandangan bahwa syariat Islam adalah suatu “paket lengkap“ yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman adalah wujud ketidak tahuan dan ketidak mampuan memahami Sunnah Tuhan itu sendiri.

17. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah sebagai bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi merupakan cara untuk lari dari masalah.

18. Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai, ketimbang sebuah lembaga agama yang sudah mati, beku dan mengungkung kebebasan.

19. Perlu dilakukan dekonstruksi keyakinan teologis dan eksistensi teks sebagai wahyu Tuhan, menjadi wahyu yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya. (Lihat buku Fikih Lintas Agama).

20. Wahyu tidak berhenti pada zaman nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang sudah selesai di dalam Al-Qur`an. Tetapi wahyu non verbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

21. Apabila terdapat pertentangan antara teks dan problem kemanusiaan, maka dengan sendirinya teks tidak dapat dipergunakan.

22. Al-Qur`an sebagai teks terbuka, kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, pembebasan, keadilan jender, tidak diskriminatif. (Lihat buku Fikih Lintas Agama).

23. Al-Qur`an mau dijadikan seperti Bible, ada Al-Qur`an tulisan bahasa Indonesia, bahasa Cina, bahasa Belanda, bahasa Persi, bahasa Korea (bukan ditulis dengan bahasa Arab, atau ditulis dengan bahasa masing-masing negara yang mencetaknya).

24. Al-Qur`an adalah bahasa gado-gado, karena tarik menarik kepentingan para penyusunnya pada saat penyusunan Al-Qur`an pada saat itu.

25. Ditemukan beberapa kekeliruan di dalam salinan mushaf Utsmani.

26. Berbagai kesimpangsiuran mushaf Utsmani (Al-Qur`an sekarang, pen.) mengantarkan sejumlah sarjana muslim kepada keyakinan pada naskah-naskah tersebut telah hilang tanpa bekas.

27. Tidak ada kesepakatan formal di kalangan sarjana muslim mengenai penamaan ke-114 surah di dalam Al-Qur`an. Merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama yang diberikan kepada surah-surah itu bukanlah bagian dari Al-Qur`an. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surah Al-Qur`an yang beragam itu.

Meski begitu, tak sedikit yang tertarik dengan aliran aneh bin nyeleneh ini. keanehan dan kerancuan menjadi daya tarik yang memikat, khususnya bagi mereka yang telah dibutakan hatinya dengan harta, tahta, wanita, dan popularitas. Semoga Allah menjaga kita, keluarga, dan orang-orang dekat kita dari pemikiran yang destruktif seperti ini.

@dhezun
Comments
0 Comments
Facebook Comments by dhezun notes

0 komentar:

Postingan yang Lain