KASUS JILBAB DI SEKOLAH-SEKOLAH NEGERI DI INDONESIA TAHUN 1982-1991
Latar Belakang
Hubungan
antara Pemerintah Orde Baru dengan umat Islam telah banyak mendapat
perhatian dari para pengamat sosial
dan politik. Sebagaimana masa-masa sebelumnya, hubungan umat Islam dan negara
pada masa Orde Baru mengalami proses pasang surut. Hubungan tersebut diawali
dengan adanya kerja sama di antara kedua belah pihak, kemudian terjadi
ketegangan dan konflik, dan akhirnya kembali saling mengakomodasi.
Kerja
sama antara kedua belah pihak[1] di
awal terbentuknya pemerintahan Orde Baru sebenarnya lebih dilandasi oleh adanya
kepentingan bersama, yaitu dalam menjatuhkan rezim Orde Lama dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) beserta seluruh unsur-unsurnya.[2]
Namun, begitu pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto ini berhasil
memantapkan kedudukannya dalam pentas politik Indonesia, hubungannya dengan
umat Islam segera memburuk.[3]
Suharto dan banyak pejabat Orde Baru ketika itu agaknya lebih melihat umat
Islam sebagai ancaman bagi kestabilan politik dan pembangunan[4]
daripada sebagai mitra, setidaknya sampai paruh kedua tahun 1980-an ketika
ketegangan di antara keduanya mulai mencair.
Ketegangan
antara umat Islam dan pemerintah mengemuka antara tahun 1967 hingga paruh
pertama tahun 1980-an. Pada periode ini, pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan yang dianggap merugikan umat Islam.[5]
Sementara itu, sebagian elemen Islam menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah
ini secara konfrontatif,[6]
sehingga hubungan di antara keduanya memburuk.
Kedua
belah pihak kemudian sama-sama menyadari bahwa hubungan yang buruk ini tidak
menguntungkan bagi semua pihak. Mereka pun berusaha untuk mengurangi sikap
saling curiga dengan saling memahami posisi dan potensi masing-masing.[7]
Titik balik hubungan ini, mengacu pada pendapat Abdul Aziz Thaba, adalah dengan
digulirkannya gagasan Pancasila sebagai asas tunggal[8]
pada tahun 1982. Gagasan ini menimbulkan reaksi, baik mendukung maupun menolak,[9]
dari berbagai organisasi masa (ormas) Islam. Namun, ketika pemerintah
benar-benar menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1985,[10]
mayoritas ormas Islam yang ada di Indonesia menerimanya.[11]
Sejak itu, mulai terjadi akomodasi antara pemerintah dengan umat Islam.[12]
Terjadinya
ketegangan antara pemerintah Orde Baru yang didominasi militer[13]
dengan umat Islam bisa dipahami, mengingat struktur kekuasaan ketika itu banyak
diisi oleh kaum Islam abangan.[14]
Walaupun keberadaan kaum Islam Abangan dalam pemerintahan Orde Baru ketika itu
sulit dibuktikan dengan angka-angka, beberapa ahli percaya bahwa ketegangan
antara pemerintah Orde Baru dan umat Islam merupakan refleksi ketegangan antara
kelompok Abangan dan kelompok Santri di Indonesia.[15]
Itulah sebabnya mengapa banyak aspirasi kaum muslimin di Indonesia, khususnya
aspirasi politik, yang disikapi secara negatif dan bermusuhan oleh pemerintah
Orde Baru. Dalam hal politik, sikap pemerintah Orde Baru sama seperti yang
dianjurkan oleh Snouck Hurgronje terhadap pemerintah Hindia Belanda pada awal
abad kedua puluh, yaitu mendukung Islam sebagai praktek individu dan sosial,
tetapi menolak Islam politik.[16]
Dibatasinya
ruang gerak umat Islam di bidang politik tentu tidak harus membuat mereka
lumpuh dalam segala bidang. Dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Ahmad Syafi’i
Ma’arif mengatakan:
”Kelumpuhan umat Islam dalam politik tidak berarti
kelumpuhan mereka bergerak dalam bidang sosial dan kultural. Justru pada
periode kemacetan dalam politik inilah umat Islam punya peluang yang baik
sekali untuk melancarkan dakwah Islam dengan sasaran-sasaran yang lebih
strategis.”[17]
Macetnya saluran politik umat Islam
tampaknya memang telah membuat mereka menyalurkan energinya ke bidang-bidang
yang lain, terutama dalam penyebaran dakwah Islam.
Ditetapkannya
Pancasila sebagai asas tunggal kehidupan sosial politik di Indonesia mungkin
merupakan ujian politik terbesar yang diberikan pemerintah Orde Baru terhadap
umat Islam. Organisasi-organisasi pemuda yang menolak Pancasila sebagai asas
tunggal,[18]
walaupun kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Orde
Baru, tidak serta merta membubarkan diri mereka atau berhenti melakukan
aktivitas. Sebagaimana dituturkan Damanik[19], mereka ”tetap bergerak sebagai ‘gerakan
bawah tanah,’ membuat training dan pembinaan-pembinaan bagi
pemuda-pemuda Islam.” Tekanan pemerintah justru membuat gerakan mereka jadi
semakin ideologis dan kaderisasi yang mereka lakukan pada masa itu pada
gilirannya melahirkan kader-kader muda yang militan. Kemunculan jilbab, yang
menjadi tema penelitian ini, merupakan salah satu hasil dari kaderisasi dakwah
yang gencar dilakukan pada masa-masa tersebut.
Pada
saat yang sama, situasi internasional juga ikut mempengaruhi dinamika
pergerakan Islam di Indonesia. Tahun 1970-an merupakan tahun yang penuh
pergolakan di dunia Islam. Berbagai peristiwa penting seolah menandai geliat
baru umat Islam di berbagai negara. Mulai dari Perang Ramadhan (1973), embargo
minyak Arab yang dipimpin oleh Raja Faisal (1973), Berkuasanya Zia Ul-Haq di
Pakistan berikut program Islamisasinya (1977), dimulainya jihad Afghanistan
(1979), hingga berkuasanya Khomeini lewat Revolusi Iran (1979).[20]
Mungkin dalam kaitan ini pula abad XV Hijriah, yang dimulai pada tahun 1400 H,[21]
ditetapkan sebagai abad kebangkitan Islam.[22]
Gagasan kebangkitan Islam ini terus bergulir selama tahun-tahun berikutnya.
Dua
hal eksternal[23]
yang disebut-sebut banyak memberikan pengaruh terhadap kemunculan jilbab di
sekolah-sekolah negeri adalah Revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979 dan
pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para
tokohnya yang banyak diterjemahkan sejak tahun 1970-an. Revolusi Iran, yang
dipimpin Khomeini dan berhasil menggulingkan rezim syah Iran ketika itu, ikut
memberikan kontribusi bagi tumbuhnya semangat berjilbab di kalangan siswi-siswi
muslim di Indonesia. Peristiwa tersebut mendapat perhatian yang luar biasa dari
berbagai media masa dan memperlihatkan pada masyarakat dunia – termasuk
masyarakat Indonesia – bagaimana wanita-wanita Iran menutupi tubuhnya secara
rapat dengan jilbab dan busana muslimah. Namun, agaknya pengaruh ini lebih
bersifat psikologis daripada ideologis, karena ideologi Syi’ah yang dianut oleh
Revolusi Iran jelas-jelas tidak diadopsi atau dianut oleh siswi-siswi yang
mengalami pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri.[24]
Pengaruh
yang lebih ideologis agaknya berasal dari pemikiran-pemikiran Al-Ikhwan
Al-Muslimin[25]
yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para tokohnya yang banyak
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.[26]
Pemikiran Al-Ikhwan juga banyak tersosialisasi lewat training-training
yang diadakan oleh masjid-masjid kampus, terutama Masjid Salman ITB lewat
Latihan Mujahid Dakwah (LMD) yang dimotori oleh Ir. Imaduddin Abdul Rahim.[27]
Awal Kemunculan Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri
Sejauh
yang berhasil ditelusuri lewat penelitian ini, kasus paling awal yang terekam
dari keseluruhan rangkaian kasus pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri
terjadi pada tahun 1979. Pada tahun tersebut terjadi sedikit ketegangan di
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Ada beberapa siswi sekolah
tersebut yang mengenakan kerudung. Pihak sekolah kemudian bermaksud untuk
memisahkan siswi-siswi ini dalam satu kelas tersendiri. Namun, siswi-siswi
tersebut menolak dipisahkan dari kawan-kawannya yang tidak mengenakan jilbab.
Setelah ada campur tangan dari Ketua Majelis Ulama Jawa Barat, EZ Muttaqien,
pemisahan ini akhirnya tidak jadi dilakukan.[1]
Setahun
setelah itu, tahun 1980, terjadi kasus pelarangan jilbab juga di SMAN 3 dan
SMAN 4 Bandung.[2]
Kurang diketahui bagaimana jalannya kasus pelarangan jilbab di kedua sekolah
ini. Namun, mulai bermunculannya kasus-kasus semacam ini di Bandung menyebabkan
terjadinya surat menyurat antara Majelis Ulama Jawa Barat, Kantor Wilayah
(Kanwil) Departemen P dan K Jawa Barat, dan Direktur Jenderal PDM Departemen P
dan K.[3]
Pengaruh berkembangnya semangat berjilbab di
kalangan pelajar sekolah menengah negeri Bandung kemungkinan besar berasal dari
pelatihan-pelatihan yang diadakan Masjid Salman ITB yang pada masa itu memang
aktif menyelenggarakan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) serta Studi Islam
Intensif (SII). Pengaruh aktivitas Masjid Salman ITB tidak hanya terbatas pada
kalangan mahasiswa Bandung saja, melainkan juga kalangan pelajar sekolah
menengah dan kota-kota selain Bandung.
Sementara
itu di Jakarta, kasus pelarangan jilbab juga mulai bermunculan. Munculnya
semangat berjilbab di lingkungan sekolah menengah negeri di Jakarta banyak
dipengaruhi oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta, kendati anjuran
berjilbab ini bukan merupakan kebijakan PII tingkat nasional.[4]
Zainal Muttaqien, yang pada awal 1980-an menjabat sebagai salah satu pengurus
PII wilayah Jakarta, memperkirakan Bulan Juni 1980 sebagai awal dari
”jilbabisasi” yang mereka lakukan.[5]
Setelah muncul siswi-siswi berjilbab di beberapa sekolah negeri, lewat pengaruh
pelatihan-pelatihan yang diadakan PII Jakarta, ketegangan segera terjadi di
beberapa sekolah seperti SMAN 30 dan SMAN 8.[6]
Pada
awal tahun 1982, terjadi satu kasus lagi pelarangan jilbab. Kali ini terjadi
pada seorang siswi bernama Triwulandari, biasa dipanggil Titik, di SMAN 1
Jember. Titik juga tergerak untuk mengenakan jilbab setelah mengikuti Studi
Islam Intensif (SII) di Masjid Salman ITB, Bandung, selama empat hari pada saat
liburan sekolah.[7]
Karena kerudung yang dikenakannya, ia dipaksa pulang oleh kepala sekolahnya, I
Made Rempet. Ia dianggap melanggar peraturan seragam sekolah dan dituduh
sebagai anggota Jama’ah Imron. Ia bahkan sempat dipanggil oleh Kodim 0824
Jember dan ditanyai mengenai Jama’ah Imron.[8]
Penulis tidak memperoleh informasi bagaimana kelanjutan kasus ini.
Pelarangan Jilbab Setelah SK 052
Pada tanggal 17 Maret 1982, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan
Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82,
yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah
negeri. Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan
oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut,
maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung
oleh Departemen P dan K.
SK
tersebut hampir-hampir tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam
sekolah dalam bentuk lain.[9]
Karenanya, kebijakan pemerintah ini segera berbenturan dengan keinginan
beberapa siswi muslim di sekolah-sekolah negeri untuk menutup auratnya sesuai
dengan syari’at Islam yang mereka yakini. Kalau sebelum keluarnya SK 052 saja
sudah mulai bermunculan kasus-kasus pelarangan jilbab, maka setelah keluarnya
SK tersebut semakin banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran,
pelarangan, dan tekanan[10]
dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di
lingkungan sekolah, pada akhirnya dipersilahkan untuk keluar dari sekolah
negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta.
Kasus
pelarangan jilbab sudah mulai terjadi tidak lama setelah berlakunya SK 052.
Padahal, SK itu sendiri memberi masa transisi selama dua tahun sebelum
kebijakan seragam sekolah betul-betul diterapkan.[11]
Selain itu, dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Departemen P dan K disebutkan
bahwa SK 052 hanya merupakan ”pedoman” yang ”tidak memuat sanksi atau bersifat
paksaan”.[12]
Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan banyaknya tekanan dari
sekolah-sekolah negeri terhadap siswi-siswinya yang berjilbab, bahkan tidak
sedikit siswi yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Tekanan diberikan tidak
hanya terhadap siswi, tapi juga terhadap guru yang membiarkan siswi berjilbab
tetap belajar di kelasnya.[13]
Kasus
pertama yang terekam sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan guru Olah Raga SMAN
3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka melepaskan kerudung. Bukan
hanya kerudung yang menjadi masalah, kedelapan siswi ini juga diwajibkan
mengenakan celana pendek (hotpant) pada jam pelajaran Olah Raga.[14]
Setelah surat-menyurat yang cukup alot antara Majelis Ulama, Kanwil Departemen
P dan K Jawa Barat, dan guru Olah Raga terkait, baru masalah itu bisa
diselesaikan dan para siswi tetap diijinkan menggunakan kerudung pada jam-jam
pelajaran, termasuk jam Olah Raga.[15]
Tapi untuk kasus yang terjadi di SMAN 68, Jakarta Pusat, beberapa bulan setelah
itu, siswi yang mengenakan kerudung terpaksa menerima kenyataan harus
dikeluarkan dari sekolah.[16]
Kasus-kasus
lainnya pun segera menyusul setelah itu. Semakin lama semakin banyak siswi yang
mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal ini
menimbulkan reaksi dari beberapa lembaga Islam, terutama Pelajar Islam
Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).[17] Mereka menyatakan keprihatinannya terhadap
kebijakan Departemen P dan K yang mulai menimbulkan korban. Majelis Ulama
Indonesia (MUI), mewakili lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan dialog
dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Menteri P dan K)[18]
dengan harapan Menteri P dan K bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya
mengenai peraturan seragam sekolah ini. Beberapa media massa,[19]
walaupun masih terbatas, memberitakan kasus-kasus pelarangan yang terjadi dan
para siswa beberapa kali melakukan demonstrasi[20]
menuntut hak mengenakan jilbab di sekolah. Sayangnya, semua itu ternyata tidak
banyak membuahkan hasil. Namun menariknya, siswi-siswi yang mengenakan jilbab
di sekolah-sekolah negeri, terutama di Jakarta dan Bandung, terus saja
bertambah.
Pada
awal tahun ajaran 1984/ 1985, persis setelah berakhirnya masa transisi peraturan
seragam sekolah sebagaimana diatur oleh SK 052, kasus-kasus pelarangan jilbab
segera bermunculan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya. Lembaga Bina
Insan Kamil (LBIK)[21]
melaporkan 29 siswi berjilbab dari sembilan sekolah negeri terancam dikeluarkan.
Anas[22]
melaporkan 350 siswi berkerudung di Bandung terancam dikeluarkan. Berita yang
disampaikan Serial Media Dakwah lebih mengejutkan lagi. 300 pelajar
puteri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Solo,
Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan Sumenep, terpaksa pindah sekolah
karena masalah kerudung ini. Sekolah-sekolah negeri di Bandung sendiri bersih
dari jilbab pada tahun 1984. Hanya di Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap
diperkenankan.[23]
Selain itu, tidak sedikit siswi-siswi yang terpaksa mengalah terhadap peraturan
seragam sekolah dan akhirnya melepaskan jilbab yang mereka kenakan selama
berada di lingkungan sekolah. Sementara di luar sekolah, mereka umumnya tetap
mengenakan jilbab atau kerudung.
Babak Baru Perjuangan Jilbab di
Sekolah-Sekolah Negeri
Setelah
penegakan peraturan seragam sekolah yang gencar dari sekolah-sekolah negeri
sepanjang tahun 1984 dan 1985, selama dua tahun berikutnya, 1986-1987, boleh
dikatakan sepi dari kasus pelarangan jilbab.[24]
Siswi-siswi sekolah negeri yang masih mengenakan jilbab, terpaksa melepaskannya
selama berada di lingkungan sekolah. Namun, antara tahun 1988 hingga 1991,
kasus pelarangan jilbab kembali marak terjadi. Pada masa-masa ini, banyak siswi
berjilbab yang memberanikan diri menuntut hak mereka untuk mengenakan jilbab di
lingkungan sekolah. Tentu saja ini kembali menimbulkan konflik dengan pihak
sekolah dan banyak siswi yang terancam dikeluarkan dari sekolah.
Sejak
awal tahun ajaran 1988/ 1987, cukup banyak kasus pelarangan jilbab yang
terjadi, bukan hanya di Jawa, tapi juga di luar Jawa. Sekolah-sekolah yang
mengalami kasus ini antara lain SMAN 1, SMKK, SPG Kendari, dan SMAN Mandonga
(seluruhnya di Sulawesi Utara), SMAN 30 Jakarta, SMAN 1 Arga Makmur Bengkulu,
SMAN 36, dan SMAN 83 Jakarta.[25]
Siswi-siswi yang tetap ingin bertahan dengan jilbab yang dikenakannya,
dikembalikan oleh sekolah kepada orang tua mereka masing-masing dan akhirnya
terpaksa harus pindah ke sekolah swasta.[26]
Perbedaan
menonjol konflik jilbab pada masa ini (1988-1991) dibanding tahun-tahun
sebelumnya adalah kasus pelarangan jilbab pada masa ini lebih banyak diangkat
oleh media massa dan beberapa di antara kasus-kasus ini ada yang berlanjut ke
pengadilan.[27]
Agaknya, perjuangan para siswi berjilbab hingga ke pengadilan inilah yang
menarik perhatian pers untuk meliputnya dan pada gilirannya membuat kasus
pelarangan jilbab ini diketahui lebih luas oleh masyarakat.
Media
massa yang meliput berita pelarangan jilbab pada masa ini adalah majalah Panji
Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit,
Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota.[28]
Media-media massa ini juga menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang
umumnya menyatakan keprihatinan mereka terhadap apa yang menimpa siswi-siswi
berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Suara masyarakat yang umumnya disampaikan
melalui surat-surat pembaca di berbagai media massa bernada cukup pedas
mengecam para pejabat dan guru-guru sekolah negeri yang menghalang-halangi
siswinya berjilbab.
Nama Media
|
Jenis Media
|
Afiliasi Agama
|
Tahun Pemberitaan
|
|
Panji
Masyarakat
|
Majalah
|
Islam
|
11
|
1984, 1989, 1991
|
Serial
Media Dakwah
|
Majalah
|
Islam
|
8
|
1983-1985, 1989
|
UMMI
|
Majalah
|
Islam
|
1
|
1991
|
Kiblat
|
Majalah
|
Islam
|
1
|
1988
|
Editor
|
Majalah
|
Umum
|
2
|
1989, 1991
|
Tempo
|
Majalah
|
Umum
|
6
|
1982, 1989-1991
|
Gatra
|
Majalah
|
Umum
|
1
|
1995
|
Hai
|
Majalah
|
Umum
|
1
|
1989
|
Fokus
|
Majalah
|
Umum
|
1
|
1983
|
Terbit
|
Surat Kabar
|
Umum
|
4
|
1990
|
Jayakarta
|
Surat Kabar
|
Umum
|
2
|
1989
|
Pelita
|
Surat Kabar
|
Umum
|
3
|
1983, 1989
|
Kompas
|
Surat Kabar
|
Umum
|
2
|
1989
|
Pos Kota
|
Surat Kabar
|
Umum
|
1
|
1989
|
Buana
|
Surat Kabar
|
Umum
|
1
|
1990
|
Media
Indonesia
|
Surat Kabar
|
Umum
|
1
|
2002
|
Gala
|
Surat Kabar
|
Umum
|
2
|
1984
|
Pikiran
Rakyat
|
Surat Kabar
|
Umum
|
3
|
1984, 1990
|
Wartasiswa
|
Buletin
|
Umum
|
1
|
Tanpa tahun
|
Buletin
Majelis Ulama
|
Buletin
|
Islam
|
1
|
1983
|
Adapun
tokoh yang ikut merespon kasus ini antara lain Dja’far Badjeber (Komisi E DPR
RI), Sarwono Kusumaatmaja (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara),
Nursyahbani Katjasungkana (Direktur LBH Jakarta), KH Hasan Basri (Ketua MUI),
Hartono Mardjono (Wakil Ketua DPA), Mardinsjah (Sekjen PPP), Lukman Harun (PP
Muhammadiyah), Anwar Harjono (DDII), A.M. Saefudin (Direktur Pesantren Ulil
Albab Bogor), dan Drs. Ridwan Saidi.[31]
Kasus
yang pertama kali berlanjut ke pengadilan adalah kasus pelarangan jilbab di
SMAN 1 Bogor. Beberapa siswi yang berjilbab di sekolah ini diperbolehkan hadir
belajar di kelas, tetapi di dalam absensi mereka dianggap tidak hadir dan
seluruh ulangan maupun praktikum yang mereka ikuti tidak dinilai oleh guru.
Selain itu, mereka juga dipanggil ke kantor sekolah setiap hari dan ditekan
dengan berbagai pertanyaan yang bernada intimidatif.[32]
Setelah gagal untuk menyelesaikan hal ini secara musyawarah, empat orang tua
siswi berjilbab di sekolah ini menuntut Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor ke
pengadilan. Dalam mengajukan gugatannya, mereka dibantu oleh LBH Jakarta.
Setelah
penundaan sidang yang pertama,[33]
pada tanggal 2 Desember 1988, dilakukan pertemuan antara orang tua siswi, Ketua
MUI Bogor, Walikota Bogor, kuasa hukum Departemen P dan K, Kandep P dan K
Bogor, dan Kanwil P dan K Jawa Barat. Pertemuan itu menyepakati bahwa
siswi-siswi berjilbab harus dikembalikan pada statusnya semula dan Kepala SMAN
1 Bogor harus mengajukan surat permohonan maaf pada para orang tua siswi. Pada
sidang pengadilan berikutnya, Kepala SMAN 1 Bogor menyampaikan permohonan maaf
dan berjanji untuk menerima kembali siswi-siswi berjilbab. Kuasa hukum
siswi-siswi berjilbab menarik tuntutannya dan masalah pun dianggap selesai.[34]
Berbeda
dengan sidang pengadilan di atas yang relatif cepat dan dimenangkan oleh pihak
siswi berjilbab, sidang kasus jilbab yang menimpa sepuluh siswi SMAN 68 Jakarta
berlangsung sangat lama. Peristiwa bermula pada Bulan November 1988 ketika di
sekolah tersebut mulai bermunculan siswi-siswi berjilbab.[35]
Siswi-siswi ini kemudian menerima tekanan terus menerus dari sekolah.[36]
Mereka harus memilih antara melepas jilbab, keluar dari kelas, atau guru yang
tidak mengajar di kelas mereka. Tekanan yang diterima oleh siswi-siswi ini
meningkat terus hingga akhirnya mereka sama sekali tidak diizinkan masuk ke
dalam sekolah.[37]
Kebijakan ini didukung oleh Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta.[38]
Setelah
jalan musyawarah tidak membuahkan hasil,[39] orang tua siswi-siswi ini kemudian
menempuh jalur hukum lewat bantuan LBH Jakarta.[40]
Nursyahbani, yang menjadi kuasa hukum siswi-siswi berjilbab, kemudian menyurati
Kanwil P dan K DKI Jakarta[41]
dan Menteri P dan K.[42]
Karena tidak memperoleh hasil yang diharapkan, pada tanggal 2 Maret 1989, kasus
ini resmi diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[43]
Setelah beberapa kali sidang,[44]
pengadilan memutuskan untuk menolak seluruh tuntutan penggugat.[45]
Para penggugat kemudian memutuskan untuk naik banding. Dari sepuluh orang tua
siswi berjilbab, kini tinggal lima yang meneruskan gugatan ke pengadilan
tinggi.
Selama proses pengadilan berlangsung,
siswi-siswi ini diterima belajar di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah
”dengan status belum pindah dari SMAN 68”.[46]
Karena panjangnya proses pengadilan, siswi-siswi ini akhirnya terpaksa mengurus
kepindahan mereka secara resmi dari SMAN 68.
Perjuangan
siswi-siswi ini di pengadilan tinggi pun rupanya mengalami kekalahan. Namun,
pada tanggal 19 Desember 1990 mereka mengajukan kasasi. Bagaimana jalannya
sidang setelah itu tidak lagi menarik perhatian media massa. Berita mengenai
sidang pengadilan ini baru muncul beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun
1995, dengan kemenangan di pihak siswi-siswi berjilbab.[47]
Padahal, sejak 1991 jilbab sudah diizinkan di sekolah-sekolah negeri.
Bersamaan
dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah negeri dan ruang
pengadilan, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain.[48]
Di Tegal, sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas
keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga
Rp. 160,00.[49]
Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun di
pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal
dunia dihakimi masa karena diteriaki sebagai penebar racun.[50]
Kendati pada awalnya kejadian ini sangat merugikan wanita-wanita yang
mengenakan jilbab, tetapi setelah terbukti bahwa semua itu tidak benar dan
nyata-nyata telah memojokkan wanita-wanita berjilbab, simpati dan pembelaan
yang lebih besar mengalir pada para wanita – dan tentu saja siswi-siswi –
berjilbab.
Semua
peristiwa itu menimbulkan reaksi dan kemarahan umat Islam. Pada awal November
1989 berkumpul para pemuda dan mahasiswa yang mewakili 60 lembaga Islam
se-Bandung di Universitas Padjadjaran untuk berunjuk rasa. Kehadiran mereka
dipicu oleh isu penyebaran racun oleh wanita berjilbab yang mereka anggap
sangat memojokkan Islam.[51]
Tanggal 21 Desember 1989 kembali digelar demonstrasi di Bandung menuntut
kebebasan memakai jilbab.[52]
Sementara
itu, pembicaraan intensif mengenai masalah ini bergulir terus antara MUI dan
Departemen P dan K yang diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM
(Dikdasmen), Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk
menyempurnakan peraturan seragam sekolah.[53]
Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru[54],
yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui
konsultasi dengan banyak pihak.[55]
Hal
ini tentu saja disambut gembira oleh siswi-siswi berjilbab serta masyarakat
yang bersimpati pada perjuangan mereka. Tidak sedikit dari siswi-siswi
berjilbab ini yang langsung memberanikan diri mengenakan jilbab di sekolah
tidak lama setelah ditandatanganinya SK tersebut. Walaupun, SK tersebut
sebenarnya baru benar-benar berlaku pada tahun ajaran baru 1991/ 1992 yang
jatuh pada Bulan Juli. Pihak Humas P dan K meminta kepala-kepala sekolah negeri
agar mentolerir hal ini.[56]
Dengan berlakunya SK 100 ini, maka persoalan jilbab di Indonesia secara umum
sudah bisa dianggap selesai.[57]
Nama SMAN
|
Nama Siswi
|
Jumlah Siswi
|
Tahun
|
Kota
|
Keterangan
|
SPG Negeri
|
-
|
-
|
1979
|
Bandung
|
Berakhir damai
|
SMAN 4
|
-
|
-
|
1979/1980
|
Bandung
|
-
|
SMAN 3
|
-
|
12 (?)
|
1979/1980
|
Bandung
|
-
|
-
|
8
|
1982
|
Memanjang, tapi berakhir damai
|
||
-
|
8
|
1984
|
-
|
||
SMAN 1
|
Tri Wulandari
|
1
|
1982
|
Jember
|
-
|
SMAN 30
|
Rita prisma
|
1
|
1981/1982
|
Jakarta
|
-
|
-
|
3
|
1983
|
Terjadi demonstrasi di
sekolah ini. Siswi-siswi berjilbab akhirnya pindah sekolah
|
||
-
|
-
|
1988
|
-
|
||
SMAN 8
|
Lisda, Ani
|
1
|
Jakarta
|
-
|
|
SMAN 68
|
Siti Ratu
|
1
|
1983
|
Jakarta
|
Pindah sekolah
|
Novita, Cheria, Kartika, Pujiarti
|
4
|
1985
|
Pindah sekolah
|
||
Efi Roslianti, Dewi Damayanti, Evi S. Alwini, Cut Yusnita, Vienda
Adriani, Vivi Mulyani, Ida Rosa, Suri F. Andriani, Uud Fiestyorini, Alseis
Nova
|
10
|
1988
|
Jakarta
|
Kasus berlanjut ke
pengadilan hingga beberapa tahun. Siswi-siswi berjilbab akhirnya pindah
sekolah
|
|
SMAN 1
|
Sri Nurdiyanti
|
1
|
1983
|
Surakarta
|
-
|
SMAN 2
|
Lisa, Dessy Ayo Bulan
|
2
|
1983
|
Cirebon
|
-
|
SMAN 10
|
64
|
1984
|
Bandung
|
40 siswi terpaksa
menanggal-kan kerudung. Selebihnya tidak diketahui nasibnya.
|
|
SMAN 1
|
-
|
15
|
1985
|
Jakarta
|
Pindah sekolah
|
SMAN 31
|
-
|
12
|
1985
|
Jakarta
|
5 siswi mengalah dan
bersedia melepaskan kerudung selama di lingkungan sekolah. 7 orang lainnya
bertahan. Tidak diketahui perkembangan dari kasus ini.
|
SMAN 70
|
Farida Hanum, Vivi, Lilik Haryani, Alaysia, Yayu, Sinung Haryati
|
6
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMEAN 3
|
Susanti, Suirah,
Nurjannah, Wiyandari, Ina Teresnawati, Muniroh, Nuryati
|
7
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 6
|
Ani, Sari Munia
|
2
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 44
|
Lilis, Tuti
|
2
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 14
|
Retno Pancawardani
|
1
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 53
|
Tati Khaeriah, Wiwiek
|
2
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 32
|
Nia, Sari
|
2
|
1985
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 1
|
a.l. Rosmala Dewi Maiseng, Ratna Sakai, Ratni Syamriah
|
-
|
1988
|
Kendari
|
-
|
SMKK
|
1988
|
Kendari
|
-
|
||
SPG
|
1988
|
Kendari
|
-
|
||
SMAN
Mandonga
|
-
|
-
|
1988
|
Sulawesi Utara
|
-
|
SMAN 36
|
Sri Mulyani, Hasanah, Nur Magdalena, Wiwiek S.
|
4
|
1988
|
Jakarta
|
Pindah Sekolah
|
SMAN 83
|
Elizabeth Rini, Lutfah
|
2
|
1989
|
Jakarta
|
-
|
SMAN 1
|
Nurfarhanah, Ranti Ariyanti, Hepti Mulyati, Ida Nurhaida, Nursari R,
Nunung P,
Tika Riyanti
|
7
|
1988
|
Bogor
|
Empat siswi mengajukan
kasus ini ke pengadilan. Kasus ini berakhir damai
|
SPG Negeri
|
-
|
4
|
1989
|
Cirebon
|
Sempat diskorsing, tapi
kemudian berakhir damai
|
SMAN 6
|
Sophia Beatrix, Kurrotu Aini, Erni Agustini, Dyan Sulistyorini
|
4
|
1989
|
Surabaya
|
Diskorsing. Tidak
diketahui bagaimana akhir dari kasus ini
|
SMAN 1
& SMAN 4
|
-
|
26
|
1990
|
Bekasi
|
Tidak diberi soal
ujian. Tidak diketahui bagaimana akhir dari kasus ini
|
SMAN 11
|
-
|
12
|
1991
|
Surabaya
|
Diskorsing, tapi
berakhir damai
|
SMAN 1
|
Rosmalinda
|
1
|
1991
|
Kabanjahe Tanah Karo
|
Diskorsing, tapi
berakhir damai
|
SMAN 1
& SMAN 2
|
Choiriyah Agustin, Suci
Uswati, Tri Anisah
|
3
|
1991
|
Purwo-kerto
|
Diskorsing, tapi
berakhir damai
|
SMAN 1
|
-
|
-
|
1991
|
Tegal
|
-
|
ANALISA
Mengacu
pada pembabakan hubungan Pemerintah Orde Baru dan umat Islam yang diajukan
Thaba, tidak terlalu mengherankan melihat sikap Departemen P dan K terhadap
fenomena jilbab yang bermunculan sejak awal tahun 1980-an. Pada periode
Antagonistik (1967-1982) dan Resiprokal Kritis (1982-1985) banyak aspirasi umat
Islam yang disikapi dengan penuh kecurigaan oleh pemerintah. Baru pada pertengahan
periode Akomodatif (1985-1994) terjadi perubahan sikap pemerintah terhadap
aspirasi umat Islam yang bersimpati dan menghendaki diizinkannya jilbab di
sekolah-sekolah negeri.
Pemerintah,
dalam hal ini Departemen P dan K, mencurigai adanya motif politik di balik
munculnya siswi-siswi berjilbab atau setidaknya ada golongan tertentu yang
memperalat siswi-siswi tersebut. Hal ini terungkap dalam penjelasan Departemen
P dan K tentang seragam sekolah kepada intern jajarannya[59]
atau pada perkataan beberapa guru yang menghalangi siswi berjilbab.[60]
Agaknya inilah salah satu alasan yang mendorong mereka melarang jilbab secara
tegas di sekolah-sekolah negeri. Selain itu, kurang paham dan kurang tolerannya
jajaran Departemen P dan K dan sekolah-sekolah negeri terhadap syariat Islam
yang diyakini siswi-siswi berjilbab, kendati kebanyakan mereka sendiri beragama
Islam, tampaknya juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai
penyebab keluarnya SK 052 dan terjadinya berbagai kasus pelarangan jilbab.
Anggapan
adanya gerakan tertentu yang berada di balik maraknya jilbab di sekolah-sekolah
negeri sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana bisa diikuti dalam
penelitian ini, hampir seluruh siswi yang mengalami kasus ini baru mengenakan
jilbab di sekolah menengah negeri, setelah mengikuti training yang
diadakan oleh PII Jakarta, Masjid Salman ITB, atau lembaga lainnya. Jadi,
dorongan berjilbab atau berkerudung memang menjadi bagian dari program training
lembaga-lembaga tersebut, tidak muncul begitu saja. Selain itu, jika melihat
kegigihan banyak siswi dalam mengenakan jilbab, bahkan hingga siap dikeluarkan
dari sekolah, ini memperilhatkan bahwa semangat berjilbab di sekolah-sekolah
negeri pada masa itu bukan sekedar trend atau keinginan sesaat. Jilbab,
dalam arti busana muslimah yang menutupi aurat sesuai dengan syariat Islam,
sudah menjadi keyakinan yang mendalam bagi siswi-siswi ini.
Sebagaimana
telah disinggung pada awal penelitian ini, ada beberapa faktor yang memberikan
kontribusi terhadap kemunculan jilbab di sekolah negeri. Setidaknya ada dua
faktor umum yang bisa dikemukakan di sini, yaitu faktor internal dan eksternal
Indonesia. Faktor internal atau dalam negeri yang ikut mempengaruhi maraknya
jilbab di sekolah-sekolah negeri antara lain sikap pemerintah Orde Baru yang
tidak akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Sikap pemerintah yang tidak
menguntungkan ini pada gilirannya mendorong munculnya semangat perlawanan dan
militansi dari beberapa organisasi pemuda di tingkat mahasiswa dan pelajar
sekolah menengah.
Faktor
eksternal yang mempengaruhi fenomena jilbab di sekolah-sekolah negeri antara
lain gejala ”kebangkitan” di dunia Islam pada era tahun 1970-an dan 1980-an
yang memberi dampak psikologis bagi semangat dakwah Islam di tanah air. Selain
itu, faktor yang tidak kalah penting adalah banyak diterjemahkannya buku-buku
para tokoh Islam Timur Tengah, yang mayoritasnya merupakan tokoh organisasi
Islam Al-Ikhwan Al-Muslimin, ke dalam Bahasa Indonesia serta digunakannya
pemikiran-pemikiran mereka oleh kalangan mahasiswa muslim lewat program
kaderisasi mereka. Dan jilbab adalah salah satu di antara nilai-nilai Islam
yang diperjuangkan oleh para pemikir Islam Internasional tersebut.
Di
sinilah terjadinya pertemuan antara faktor internal, yaitu organisasi pemuda
dan masjid kampus seperti PII Jakarta dan Masjid Salman ITB, dengan faktor
eksternal, yaitu pemikiran tokoh-tokoh Al-Ikhwan Al-Muslimin dan pemikiran yang
sejalan dengannya. Pertemuan di antara kedua faktor ini pada gilirannya
melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Tarbiyah, yang belakangan
bertransformasi menjadi Partai Keadilan yang kemudian bertransformasi lagi menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Gerakan inilah yang tampaknya berada
di belakang perjuangan siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri,
setidaknya sejak pertengahan tahun 1980-an.[61]
Ali
Said Damanik, yang meneliti tentang Gerakan Tarbiyah, kendati tidak membahas
persoalan jilbab secara khusus di dalam bukunya, menegaskan bahwa memang
gerakan inilah yang berada di balik maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Ia menuliskan,
... sampai kurang
lebih sebelas tahun yang lalu, para jilbaber (pengguna jilbab) masih harus
berhadapan dengan larangan, pengusiran, dan sejumlah teror yang dilakukan oleh
birokrasi-birokrasi sekolah, pabrik dan perusahaan.... Tetapi, berkat keteguhan
dan kesabaran para penggunanya – yang sebagian terbesarnya adalah para aktivis
gerakan yang sedang kita bicarakan ini – jilbab kini bisa tampil sebagai salah
satu asesoris manis yang populer.[62]
Walaupun
indikasi adanya gerakan tertentu di balik fenomena jilbab di sekolah-sekolah
negeri memperoleh pembenaran melalui fakta-fakta di atas, namun larangan untuk
mengenakan jilbab karena tudingan politis sulit untuk diterima oleh umat Islam.
Bagaimanapun juga, jilbab tidak pernah menjadi monopoli sebuah gerakan
tertentu, karena perintahnya, sebagaimana diyakini oleh banyak kaum muslimin,
terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits dan dijalankan oleh berbagai kelompok
masyarakat muslim sejak awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Memang ada
sebagian kalangan muslim yang memandang jilbab tidak wajib. Namun ketika
keyakinan ini dipaksakan tanpa mentolerir pihak-pihak yang meyakini
kewajibannya, maka pihak yang terakhir ini akan merasa terlanggar hak-haknya
dalam beragama. Ketika kedua belah pihak tetap bertahan pada posisinya
masing-masing maka terjadilah konflik yang berkepanjangan sebagaimana yang
tampak pada penelitian ini.
PENUTUP
Ada
beberapa kesimpulan yang bisa ditarik pada bagian penutup ini, antara lain:
pertama, konflik yang terkait dengan jilbab di sekolah-sekolah negeri sangat
terkait dengan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Kedua, sikap
curiga pemerintah terhadap umat Islam telah mendorong terjadinya konflik,
antara lain berupa kasus-kasus pelarangan jilbab sebagaimana yang diangkat dalam
penelitian ini.
Ketiga,
kegigihan siswi-siswi SMA negeri dalam memperjuangkan hak untuk mengenakan
jilbab atau busana muslimah di lingkungan sekolah menunjukkan bahwa semua itu
pasti dilandasi oleh keyakinan dan motivasi yang kuat, bukan semata karena ikut-ikutan.
Keempat, Munculnya semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri dipengaruhi
oleh faktor internal maupun eksternal Indonesia. Faktor internal yang menonjol
adalah semakin ideologis dan militannya beberapa organisasi pelajar muslim dan
masjid kampus dalam melakukan program kaderisasi sebagai dampak tekanan
pemerintah yang kuat terhadap mereka. Faktor eksternal yang menonjol adalah
dorongan psikologis yang diberikan oleh Revolusi Iran serta pengaruh ideologis
pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia, antara lain lewat
buku-buku terjemahan. Kelima, adanya peran Gerakan Tarbiyah terhadap perjuangan
siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri.
Keenam,
sikap kaku pemerintah terhadap peraturan seragam sekolah telah menyebabkan
persoalan ini menjadi berlarut-larut. Sekiranya pemerintah bisa bersikap lebih
toleran terhadap hal ini, kasus pelarangan jilbab tentu bisa lebih cepat
tertangani. Ketujuh, persoalan jilbab atau busana muslim lebih tepat dilihat
dari sudut pandang hak seseorang dalam menjalankan agamanya daripada dilihat
dari sudut pandang politik. Jadi, selama hak tersebut tidak merugikan
kepentingan lembaga (sekolah) ataupun kepentingan orang lain, maka hak tersebut
tidak perlu dilarang.
Kedelapan,
bagaimanapun juga, sikap Departemen P dan K terhadap persoalan jilbab ketika
itu perlu dilihat menurut suasana zamannya yang memang belum begitu bersahabat
terhadap berbagai aspirasi umat Islam. Selain itu, kemunculan jilbab di
sekolah-sekolah negeri dengan bentuk dan pola semacam ini memang baru pertama
kali terjadi pada saat itu, sehingga Departemen P dan K belum mempunyai contoh
kasus ataupun pengalaman sejenis yang bisa digunakan secara ideal dalam
pengambilan keputusan. Sementara pada saat yang sama, peraturan seragam sekolah
dianggap sebagai suatu hal yang penting untuk menumbuhkan rasa persatuan siswa.
Adanya pengalaman –serta penelitian tentang pengalaman – ini diharapkan bisa
menjadi pelajaran yang berharga untuk menghindari terjadinya peristiwa serupa
di masa-masa yang akan datang.
footnote latar belakang masalah
[1] Hal ini berlangsung sangat singkat, yaitu hanya selama masa peralihan dari pemerintahan Orde Lama ke pemerintahan Orde Baru, kurang lebih sejak terjadinya pemberontakan PKI pada Bulan Oktober 1965 hingga tahun 1966 atau 1967.
[2] Pada awal pemerintahan Orde Baru sebenarnya muncul perasaan optimisme di kalangan umat Islam untuk dapat memainkan peranan yang penting di dalam perpolitikan nasional. Munculnya optimisme ini wajar, karena mereka telah ikut berperan dalam menjatuhkan rezim Orde Lama dan PKI bersama ABRI dan mahasiswa. Namun, optimisme ini menjadi buyar begitu ABRI menyatakan PKI dan Masyumi sebagai organisasi terlarang karena pernah menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Sejak saat itu, hubungan di antara keduanya menjadi tegang. Lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 25.
[3] Terutama setelah Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1971 dengan kemenangan mayoritas bagi Golongan Karya (Golkar) yang sejak itu hingga akhir masa Orde Baru terus mendominasi lembaga eksekutif maupun legislatif. Namun antara tahun 1966-1971, Suharto yang ketika itu sedang mengokohkan posisinya untuk menjadi presiden RI sebenarnya sudah mulai melakukan proses eliminasi terhadap peran politik umat Islam. Tindakan eliminasi ini antara lain dilakukan dengan tidak diizinkannya pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) oleh mantan wakil presiden RI, Mohammad Hatta; tidak diizinkannya rehabilitasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) setelah sebelumnya dibubarkan oleh Sukarno pada tahun 1960 karena keterlibatan beberapa tokohnya dalam PRRI; dan dicegahnya mantan tokoh-tokoh Masyumi untuk tampil dalam kepengurusan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang dibentuk pada tahun 1967. Lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, ibid, hlm. 305.
[4] Orde Baru memang memfokuskan perhatiannya pada program-program pembangunan yang sangat menuntut adanya kestabilan politik dan keamanan. Program pembangunan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) memang terbilang berhasil, setidaknya dalam mengubah wajah fisik kota-kota besar dan desa-desa di Indonesia. Namun, bersamaan dengan berlangsungnya program pembangunan ini masuk juga dampak-dampak yang negatif. Di antara dampak negatif tersebut adalah merosotnya nilai-nilai moral masyarakat, karena adanya ketidakseimbangan antara pembangunan fisik dan pembangunan mental serta moral. Merosotnya nilai-nilai moral masyarakat sebagai dampak dari pembangunan ini disinyalir telah menimbulkan reaksi di sebagian kalangan pemuda dengan lebih aktif menggali, mengimplementasikan, serta menyebarkan nilai-nilai keagamaan. Salah satu bentuk dari reaksi kalangan muda ini adalah dengan munculnya semangat berjilbab di sekolah-sekolah – serta kampus-kampus – negeri yang menjadi fokus penelitian ini. Untuk yang terakhir ini lihat Edy A. Effendi, “Pergeseran Orientasi Sikap Keberagamaan di Kampus-Kampus Sekular” dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3, Vol. IV, Th. 1993, hlm. 17.
[5] Kebijakan-kebijakan itu antara lain masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN tahun 1973 dan 1978, RUU perkawinan, legalisasi perjudian, penghapusan liburan di Bulan Ramadhan, sensor terhadap naskah khutbah Idul Fitri dan Idul Adha, gagasan P4, Asas Tunggal Pancasila, termasuk juga pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri. Lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, op. cit., hlm. 26 dan 306.
[6] Antara lain lewat gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat Garuda Woyla, kasus Lampung (lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, ibid, hlm. 27), pemboman BCA dan Candi Borobudur.
[8] Pemerintah menginginkan agar Pancasila dijadikan sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi masa (ormas) yang ada di Indonesia.
[9] Yang menolak pun terbagi dua, ada yang menolak secara hati-hati dan ada yang menolak tanpa kompromi. Ormas yang menolak tanpa kompromi ini pada akhirnya terpaksa tidak mendaftarkan organisasinya sebagai ormas yang secara formal diakui oleh pemerintah. Contoh bagi yang terakhir ini adalah Pelajar Islam Indonesia (PII). Lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, ibid. Selain PII, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat organisasi (HMI MPO) juga termasuk yang menolak asas tunggal secara tegas. Kedua organisasi tersebut akhirnya ”dibubarkan” dan dianggap terlarang melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 120 tahun 1987. Untuk ini, lihat Ali Said Damanik, 2003, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Teraju, hlm. 53.
[10] Melalui UU, No. 3 dan 8 tahun 1985. Lihat Ali Said Damanik, 2003, ibid, hlm. 50.
[11] Penerimaan tersebut terutama setelah adanya penegasan dari pihak pemerintah, dalam bentuk Undang-Undang, bahwa Pancasila bukanlah agama dan tidak akan dijadikan agama. Sementara pihak ormas Islam sendiri menerimanya setelah “mengislamkan” Pancasila terlebih dahulu. Lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, op. cit., hlm. 27.
[12] Bentuk akomodasi ini antara lain dengan disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, pendirian Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pendirian Bank Muamalat, pencabutan SIUPP tabloid Monitor, pengiriman 1000 dai ke daerah-daerah, pembentukan Ikatan Candekiawan Muslim Indonesia (ICMI), masuknya tokoh-tokoh Islam ke MPR yang semuanya itu dianggap menguntungkan bagi umat Islam. Lihat Abdul Aziz Thaba, 1996, ibid, hlm 28 dan Afan Gaffar, “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi Yang Tepat” dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 2, Vol. IV, Th. 1993, hlm. 21-25.
[13] Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa. Lihat C.I. Eugene Kim, “Rezim-Rezim Militer di Asia : Sistem dan Gaya Politik” dalam Morris Janowitz, ed., terj. Drs. Sahat Simamora, 1985, Hubungan-Hubungan Sipil-Militer, Perspektif Regional, Jakarta : PT Bina Aksara, hlm. 17. Pada periode-periode berikutnya, dominasi militer pada birokrasi pusat tetap dominan. Sepanjang dua dekade pemerintahan Orde Baru terlihat bahwa 71,4% posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer dan hanya 28,6% sisanya yang diserahkan pada sipil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri pada tahun 1982 terdiri dari 44% militer dan 56% sipil. Lihat R. Eep Saefulloh Fatah, 1994, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 135.
[14] Mengacu pada pembagian yang diberikan oleh Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto, Jawa Tengah, yaitu Santri, Abangan, dan Priyayi. Lihat Clifford Geertz, 1989, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya. Secara umum, yang dimaksud dengan Islam Abangan – terkadang juga disebut Islam KTP – adalah orang-orang yang berstatus Muslim, tapi tidak memahami dan menjalankan nilai-nilai Islam dengan baik. Keberadaan dan pengaruh mereka bisa dilihat pada kasus pensahan aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam GBHN tahun 1973. Mereka ini berbeda dengan Islam Santri yang berusaha berpegang teguh dengan nilai-nilai Islam, bahkan berusaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Itulah sebabnya mengapa di antara dua kelompok ini sering terjadi ketegangan.
[15] Lihat Dewi Fortuna Anwar, ”Ka’bah vs Garuda” dalam Prisma, 1984, hlm 6-7. Lihat Juga Bachtiar Effendi, ”Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran Islam” dalam Prisma, Mei 1995, hlm. 5.
[16] Bachtiar Effendi, Ibid, hlm. 4. Pemerintah juga banyak menyokong syiar-syiar keislaman (amar ma’ruf), tetapi tidak suka untuk memberantas kemunkaran (nahi munkar) karena pemerintah banyak mendapatkan keuntungan dari yang terakhir ini. Wawancara dengan Johar Arifin, 21 Maret 2001.
[17] Sebagaimana dikutip dalam Abdul Aziz Thaba, 1996, op. cit., hlm. 28.
[18] Yaitu HMI MPO yang bergerak di lingkungan kampus dan PII yang bergerak di lingkungan sekolah menengah atas (SMA). PII merupakan salah satu kontributor penting yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri di Jakarta. Kebanyakan trainer ‘pelatih’ PII yang melakukan pembinaan terhadap pelajar-pelajar SMA adalah mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi negeri favorit seperti UI dan IKIP Jakarta. Hal ini tentu saja ikut memberikan semangat dan pengaruh tersendiri bagi pelajar-pelajar yang mengikuti pelatihan. Lihat wawancara dengan Zainal Muttaqien. 15 November 2000. Adapun kendala yang menghadang organisasi mahasiswa Islam seperti HMI untuk bergerak di lingkungan kampus bukan hanya ditetapkannya asas tunggal, melainkan juga diterapkannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) pada tahun 1978 di lingkungan kampus. Dengan diterapkannya NKK/BKK, HMI – termasuk pecahannya, HMI MPO – tidak bisa lagi menjejak kampus. Namun, hal ini tidak membuat pergerakan Islam di kampus terhenti. Bahkan kemudian justru berkembang pengajian dan pembinaan di masjid-masjid kampus yang semakin lama semakin kuat pengaruhnya dan belakangan dikenal sebagai Gerakan Tarbiyah. Gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin dari Mesir. Pada tahun 1998, gerakan ini bertransformasi menjadi Partai Keadilan, dan kini Partai Keadilan Sejahtera. Lihat Ali Said Damanik, 2003, op. cit. Arus pemikiran Islam dan pembinaan di kampus-kampus serta sekolah-sekolah negeri tidak sepenuhnya berjalan sendiri-sendiri. Para pembina yang mengkader pelajar-pelajar SMA hampir seluruhnya merupakan mahasiswa. Selain itu, terkadang ada juga pelajar-pelajar sekolah menengah yang mengikuti pelatihan keislaman yang diadakan di dan oleh masjid kampus, seperti yang rutin dilakukan oleh Masjid Salman ITB.
[19] Ali Said Damanik, 2003, ibid, hlm. 54.
[20] Selain di kancah konflik, geliat ini juga terjadi di lapangan intelektual. Mulai dari Konferensi dunia tentang pendidikan muslim di Makkah (1977), gagasan tentang pendidikan Islam oleh Ali Ashraf (1979), ekonomi Islam oleh Khursid Ahmad (1981), Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge) oleh Ismail Al-Faruqi (1982), dan lain-lain. Lihat Akbar S. Ahmed, terj. M. Sirozi, 1993, Posmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Mizan, hlm. 48-49.
[21] Bertepatan dengan tahun 1980 M.
[22] Lihat Alwi Alatas, 2001, Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991, Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Ummat, hlm. 21-22.
[23] Maksudnya yang berasal dari luar Indonesia.
[24] Lihat Alwi Alatas, 2001, ibid, hlm. 22.
[25] Organisasi atau gerakan (harakah) Al-Ikhwan Al-Muslimin didirikan oleh Hasan Al-Banna pada tahun 1928 di Mesir. Jilbab atau anjuran menutup aurat sesuai syariat Islam merupakan salah satu nilai-nilai Islam yang sangat ditekankan oleh organisasi ini. Lebih jauh tentang dasar-dasar pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin lihat Hasan Al-Banna, 2001, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, jil. 1 & 2, Solo: Intermedia. Gerakan Tarbiyah, yang muncul dan berkembang di kampus-kampus – dan sekolah-sekolah menengah – negeri di Indonesia pada tahun 70-an dan 80-an dan belakangan bertransformasi menjadi Partai Keadilan (Sejahtera), merupakan gerakan yang banyak mengadopsi dan mempraktekkan pemikiran-pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin. Gerakan Tarbiyah ini juga yang memberikan kontribusi terbesar terhadap berkembangnya kesadaran berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Mengenai kaitan antara Gerakan Tarbiyah di Indonesia dan pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin, lihat Ali Said Damanik, 2003, op. cit.
[26] Tokoh-tokoh Ikhwan yang buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, dan Said Hawa. Tokoh di luar Al-Ikhwan, tapi mempunyai pemikiran yang sejalan dengan Al-Ikhwan, yang buku-bukunya juga banyak diterjemahkan adalah Abul A’la Al-Maududi, pimpinan Jama’at I Islami di Pakistan. Lihat Ali Said Damanik,2003, ibid, hlm. 71-72 dan Alwi Alatas, 2001, op. cit., hlm. 26-27. Lihat Juga Panji Masyarakat, No. 676, 1-11 Maret 1991, “Menyingkap Fenomena Jilbab.”
[27] Lebih Jauh tentang ini lihat Ali Said Damanik, 2003, ibid.
footnote hasil penelitian dan penutup
[1] Tempo,
11 Desember 1982, ”Larangan Buat Si Kudung”, hlm. 71.
[2] Serial Media Dakwah (SMD), No. 135, September 1985, “Siswi Berjilbab Tersingkir Dari Sekolah
Negeri”, hlm. 1.
[3] Inisiatif bermula dari Majelis Ulama
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat yang mengirim surat pada tanggal 15 Juli
1980 kepada Kepala Kanwil Departemen P dan K Jawa Barat di Bandung. Surat ini menginformasikan tentang munculnya
kesadaran menutup aurat di kalangan remaja muslim pada saat itu. Majelis Ulama meminta setiap lembaga umum
seperti sekolah negeri agar memberi pelayanan yang layak bagi mereka, mengingat
kebebasan hidup beragama dijamin penuh oleh UUD ’45 pasal 29. Majelis Ulama
juga meminta Kanwil untuk memberikan petunjuk pokok tentang masalah seragam
untuk menghindari kebijakan yang berbeda-beda di setiap sekolah. Pada tanggal
26 September 1980, Dirjen PDM Departemen P dan K merespon surat Kanwil
Departemen P dan K Jawa Barat, tertanggal 31 Juli 1980, yang menerangkan bahwa
pakaian yang cocok untuk pelajar puteri tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan, selain itu juga harus disesuaikan dengan kepribadian Indonesia dan
sebaiknya memperhatikan kebiasaan daerah. Tanggal 7 Februari 1981, Majelis
Ulama Jawa Barat kembali menyurati Kanwil Departemen P dan K Jawa Barat perihal
Kasus Pakaian Anak Didik di SMA III Bandung. Kanwil Departemen Agama Propinsi
Jawa Barat, lewat suratnya tanggal 18 Maret 1981, kemudian juga menyerukan
jajaran di bawahnya untuk ikut melaksanakan dan mengawasi kebijaksanaan pakaian
seragam sekolah sebagaimana tercantum dalam surat Dirjen PDM Departemen P dan K
tanggal 26 September 1980 di atas.Lihat masing-masing pada Majelis Ulama
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. 15 Juli 1980. Surat untuk Kepala Kanwil P
dan K Jawa Barat. No. 681/I/MU-JB/VII/1980; Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 26 September 1980.
Surat kepada Kepala Kanwil Departemen P dan K Propinsi Jawa Barat tentang pakaian
pelajar puteri. No. 6147/C/T.80; dan Kanwil Departemen Agama Propinsi
Jawa Barat. 18 Maret 1981. Surat
pada Kepala Kandepag dan Kasi Pendais se-Jawa Barat dan seluruh Waspenda bidang
Pendais Kanwil Depag tentang pakaian Pelajar Puteri. No. W.i/I/BD.030/634/81.
[4] Wawancara dengan Zainal Muttaqien, 15
November 2000.
[5] Anjuran berjilbab ini, sebagaimana pada
Masjid Salman ITB, juga dilakukan melalui program kaderisasi. Muttaqien, ibid,
menerangkan bahwa sebenarnya tidak ada materi khusus tentang jilbab dalam
pelatihan-pelatihan itu. Anjuran berjilbab disisipkan melalui materi akhlak.
PII Jakarta tidak pernah memaksa para anggotanya yang perempuan untuk
mengenakan jilbab. Namun, setiap kali selesai diadakan pelatihan, hampir semua
peserta pelatihan yang perempuan segera mengenakan jilbab. Ini agaknya sedikit
banyak dipengaruhi oleh isi dan nuansa pelatihan yang bersifat militan. Kendati
demikian, para trainer ‘pelatih’ tidak pernah menyampaikan materi
pelatihan secara indoktrinasi. Mereka banyak menyampaikan dalil-dalil Al-Qur’an
dan Hadits serta mengajak para peserta untuk berpikir dan mendiskusikannya.
Metode yang mereka gunakan ini ternyata cukup ampuh dalam menanamkan
nilai-nilai Islam kepada para peserta pelatihan. Selain itu, latar belakang
para trainer yang umumnya kuliah di perguruan tinggi favorit seperti
Universitas Indonesia tentunya ikut memberikan pengaruh psikologis pada para
kadernya.
[6] Siswi-siswi berjilbab di SMAN 8 bahkan
sempat terpaksa memasuki sekolah lewat jendela karena pintu ditutup untuk
menghalangi mereka masuk. Wawancara dengan Zainal Muttaqien, ibid.
[7] Menurut kesaksian orang tuanya, banyak
perubahan positif yang terjadi pada diri Titik setelah mengikuti SII. Bukan
hanya mengenakan kerudung, ia juga tidak mau lagi pergi ke disko dan bergaul
bebas dengan lawan jenis. Lebih jauh mengenai ini lihat Alwi Alatas, 2001, op.cit.,
hlm. 28-29 dan Serial Media Dakwah (SMD), No. 135, loc. cit., hlm.
1-2.
[8] Empat belas organisasi remaja masjid,
organisasi ekstra pelajar dan mahasiswa di Jember menyurati Kepala Sekolah SMAN
1 Jember meminta agar siswi berkerudung tetap diizinkan bersekolah. Kepala SMAN
1 Jember menjawab bahwa ia tak berhak melakukannya bila tidak ada izin dari
gubernur. Lihat Buchari Tamam dan Johar Arifin, 2 Maret 1984, ”Catatan Kronologis
Kasus Siswi Berjilbab”, tidak dipublikasikan. Nama penyusun laporan ini penulis
peroleh dari hasil wawancara dengan Johar Arifin, 21 Maret 2001.
[9] Sebetulnya kemungkinan untuk menggunakan
bentuk seragam sekolah yang berbeda masih diakomodir oleh SK 052 tersebut.
Hanya saja akomodasi tersebut sangat terbatas sifatnya dan sulit untuk
dilakukan. SK 052 membolehkan para pelajar di suatu sekolah, terurama siswi,
untuk menggunakan seragam yang berbeda (diistilahkan sebagai ”seragam khas”), asalkan hal itu dilakukan secara serempak
oleh seluruh siswi yang ada di sekolah tersebut. Lihat SK 052, Bab IV, Pasal 5,
butir (4), pada lampiran. Hal ini tentu saja sangat sulit untuk dilakukan di
kebanyakan kota-kota besar di Indonesia, apalagi pada tahun 1980-an di mana
kesadaran untuk mengenakan jilbab masih sangat minim. Menariknya, ketika
memberikan contoh ”seragam khas” untuk siswi sekolah negeri, ciri-ciri yang
diberikan – yaitu tutup kepala, lengan dan rok yang panjang – sangat identik
dengan busana muslimah. Hanya saja di dalam SK 052 istilah busana muslimah atau
jilbab sama sekali tidak digunakan.
[10] Tekanan sekolah tersebut banyak
bentuknya. Mulai dari dipanggil oleh guru yang ditugasi oleh sekolah untuk
menangani masalah tersebut atau oleh kepala sekolah langsung, disindir di depan
kelas ataupun ketika berlangsungnya upacara sekolah, dipanggil orang tuanya,
diinterogasi oleh pihak kepolisian, dilarang mengikuti kegiatan belajar
mengajar di kelas, dilarang memasuki halaman sekolah, hingga akhirnya dikeluarkan
dari sekolah. Semua bentuk tekanan tersebut, kecuali diinterogasi oleh pihak
kepolisian, bisa dilihat contohnya dalam Efi Rosliyanti Dkk., tanpa tahun,
”Catatan Harian Siswi-Siswi 68” pada lampiran. Untuk tekanan dalam bentuk
dinterogasi atau didatangi oleh polisi bisa di lihat pada kasus Triwulandari
dari SMAN 1 Jember di atas dan pada wawancara dengan Zainal Muttaqien, 15
November 2000 dan Johar Arifin, 21 Maret 2001.
[11] Berarti sampai dengan awal tahun ajaran
1984/ 1985. Untuk ini lihat SK 052, Bab V, Pasal 7.
[12] Wartasiswa,
No. 3, Th. 1.
[13] Bahkan
ada guru yang sampai dikeluarkan oleh sekolah karena membela siswi berjilbab.
Lihat contohnya dalam Alwi Alatas, 2001, op.cit., hlm. 98
[14] Tempo,
11 Desember 1982, loc. cit., hlm. 71-72.
[15] Untuk
lebih lengkapnya lihat Alwi Alatas, 2001, op. cit., hlm. 33-34 dan Serial
Media Dakwah (SMD), No. 105, Maret 1983, “SMAN 68 Jakarta Keluarkan
Siswi Berkerudung”, hlm. 6.
[16] Siswi itu bernama Siti Ratu Nasiratun
Nisa, dipanggil Ratu. Ia dipaksa pulang pada tanggal 8 Januari 1983 untuk ganti
seragam. Ratu akhirnya dikeluarkan dari SMAN 68. Lihat Buchari Tamam dan Johar
Arifin, 2 Maret 1984, loc cit. dan Serial Media Dakwah (SMD), No.
105, loc cit., hlm. 6.
[17] Dua lembaga yang terakhir masing-masing
dipimpin oleh Mohammad Natsir dan KH Hasan Basri. Selain itu masih ada lagi Badan
Pembela Masjidil Aqsho (BPMA), Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Islam
Wanita Indonesia (BMOIWI) serta beberapa lembaga lainnya yang ikut menyatakan
keprihatinan dan bahkan ikut memperjuangkan diizinkannya jilbab di
sekolah-sekolah negeri. Dukungan terhadap siswi berjilbab yang bersifat
perorangan juga cukup banyak. Mereka
biasanya menyampaikan pendapat mereka melalui kolom surat pembaca pada
media-media masa. Semua ini bisa dilihat di dalam Alwi Alatas, 2001, op. cit.
[18] Tidak lama setelah keluarnya SK 052, yang
menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Nugroho Natosusanto. Surat
menyurat serta pertemuan yang dilakukan MUI dengan Menteri P dan K cukup
sering. Menteri menyatakan dapat memahami
masalah yang disampaikan MUI dan berjanji untuk mengambil langkah-langkah
persuasif, bukan dalam bentuk penindasan, untuk menanganinya. Namun, karena
tekanan terhadap siswi-siswi berjilbab masih saja terjadi, MUI berusaha untuk
terus berkomunikasi dengan Menteri P dan K. Pada 19 Agustus 1983, masalah
jilbab memang sempat dinyatakan status quo sampai April 1984. Namun,
tekanan terhadap siswi berjilbab baru benar-benar berkurang setelah Dirjen PDM
mengeluarkan surat edaran untuk seluruh Kanwil Departemen P dan K pada tanggal
10 Desember 1983 yang isinya menegaskan masa transisi aturan seragam sekolah
hingga tahun ajaran baru 1984/ 1985. Selama masa transisi tersebut siswi-siswi
yang masih berkerudung tidak diberikan sanksi apapun. Lihat Alwi
Alatas, 2001, op. cit., hlm. 34-43; Buletin Majelis Ulama. No.
20. September 1983. ”Catatan
Kronologis Masalah Jilbab.”; dan Buchari Tamam dan Johar Arifin, 2 Maret 1984, loc.
cit.
[19] Antara lain Serial Media Dakwah (SMD)
dan harian Pelita.
[20] Demonstrasi ini antara lain terjadi pada
tanggal 15 Januari 1983 oleh siswi-siswi berkerudung dari sekolah menengah
se-Bekasi, tanggerang, dan Jakarta ke DPRD DKI Jakarta, tanggal 9 Agustus 1983
di SMAN 30 Jakarta oleh siswa-siswi di sekolah tersebut yang menimbulkan
bentrokan dengan aparat, 11 Agustus 1983 oleh 150-an siswi berkerudung terhadap
Menteri P dan K di Taman Siswa Garuda di Jakarta, dan 21 Agustus 1984 oleh 50
orang siswa-siswi SMAN 3 Bandung yang menyampaikan aspirasi mereka pada DPRD
Jawa Barat. Masing-masing bisa dilihat dalam Buchari Tamam dan Johar Arifin, 2
Maret 1984, loc. cit.; Serial Media Dakwah (SMD), No. 111,
September 1983, ”Siswi-Siswi Kerudung Diminta Pindah Sekolah”, hlm. 17-18;
Nasmay Lofita Anas, tanpa tahun, ”Heboh Kerudung di Kota Kembang”, tidak
dipublikasikan; Harian Pikiran Rakyat, 22 Agustus 1984, “Pelajar SMAN 3
Bandung Tanya Soal Jilbab”; dan Gala, 22 Agustus 1984, ”Puluhan pelajar
SMA 3 Datangi DPRD Jabar”.
[21] Lembaga Bina Insan Kamil (LBIK), 23 Juli
1985, Surat Permohonan Dana, No 01/LBIK/G-554/1405-1985.
[22] Nasmay
Lofita Anas, loc. cit.
[23] Serial
Media Dakwah (SMD), No. 135, September 1985, loc. cit., hlm. 3-4.
[24] Kalaupun ada, maka kasus-kasus itu tidak
terdokumentasikan dengan baik, sehingga tidak ditemukan data-datanya.
[26]
Biasanya mereka pindah ke sekolah-sekolah Muhammadiyah.
[27] Ada dua kasus yang berlanjut ke
pengadilan, yaitu kasus pelarangan jilbab di SMAN 1 Bogor dan SMAN 68 Jakarta.
Keduanya memperoleh bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
[28] Lihat Alwi Alatas, 2001, op. cit.,
hlm. 62. Pada tahun 1990, setelah semakin memanasnya kasus-kasus jilbab,
beberapa media massa seperti Harian Pikiran Rakyat dan Terbit
semakin sering mengangkat permasalahan jilbab. Media-media ini memberikan
kecaman dan tekanan pada pemerintah untuk segera menuntaskan kasus jilbab.
[29] Data-data ini adalah sejauh yang berhasil
dihimpun oleh penelitian ini, boleh jadi masih ada pemberitaan media massa yang
tidak masuk dalam tabel ini.
[30] Jumlah pemberitaan yang dimaksudkan di
sini adalah berapa kali (berapa edisi) media tersebut menurunkan berita atau
artikel seputar permasalahan jilbab di sekolah-sekolah negeri.
[31] Mereka semua memberikan
pembelaan terhadap siswi-siswi berjilbab atau setidaknya meminta Menteri P dan
K untuk meninjau ulang kebijakannya. Lihat Panji Masyarakat, No. 607,
1-10 April 1989, “Sebuah Perintah Dzalim”, hlm. 30-32; Jayakarta, 6
Januari 1989, “Depdikbud Jangan Kaku Keluarkan Peraturan”; dan Kiblat,
29 Desember 1988, ”Drama Itu pun Berakhir”. Lihat
juga surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, 26 Januari 1989, Surat
untuk Mendikbud tentang masalah jilbab dan pakaian seragam sekolah, No.
B-87/I/MENPAN/1/1989, ditandatangani oleh MENPAN, Ir. Sarwono Kusumaatmaja.
[33] Sidang
ini dipenuhi pengunjung. Lihat ibid.
[34] Ibid.
[35] Seperti
pada sekolah-sekolah lainnya, mereka baru mengenakan jilbab ketika sudah berada
di sekolah, setelah berinteraksi dengan nilai-nilai Islam yang mereka terima
melalui pelatihan-pelatihan keislaman, bukan itu.
[36]
Seluruh siswa yang memasuki SMAN 68 pada tahun-tahun itu diharuskan
menandatangani surat bermaterai yang menyatakan kesanggupan mereka untuk
mentaati seluruh peraturan sekolah, termasuk peraturan seragam sekolah yang
diatur dalam SK 052. Dalam surat tersebut juga dinyatakan sanksi bila mereka
melanggar, yaitu “tidak diperkenankan mengikuti pelajaran selama jangka waktu
tertentu”, atau “dikeluarkan dari sekolah”. Lihat SMAN 68, 18 Juli 1987, “Surat
Pernyataan Calon Siswa SMA.” ditandatangani oleh calon siswa dan orang tuanya,
Efi Rosliyanti dan H. Agus Alamsyah. Hal ini jelas melemahkan posisi
siswi-siswi yang ingin mengenakan
jilbab di sekolah tersebut.
[37] Lihat
pada Efi Rosliyanti dkk., loc. cit. pada lampiran.
[38] Lihat
surat Kanwil Departemen P dan K (Depdikbud) kepada Kepala SMAN 68 tanggal 12
Desember 1988, No. 2932/IO1.A1/U/88. Pada
tanggal yang sama diadakan pertemuan antara orang-tua siswi-siswi berjilbab
dengan pihak sekolah, tapi tidak menghasilkan kesepakatan. Tepat sehari setelah
itu, siswi-siswi berjilbab “dikembalikan” pada orang tua mereka masing-masing.
[39]
Kesepuluh orang tua siswi berjilbab melayangkan surat protes atas sikap sekolah
tersebut, tetapi pihak sekolah tetap pada keputusannya karena sikapnya sudah
sesuai dengan sikap Kanwil DKI Jakarta. Mereka juga melayangkan surat protes
kepada Menteri P dan K (ketika itu dijabat oleh Fuad Hasan) yang agaknya tidak
memperoleh respon. Lihat masing-masing Orang tua/ wali murid 10 orang siswi
SMAN 68, 16 Desember 1988, Surat kepada Kepala Sekolah SMAN 68 dengan tembusan
pada Kakanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta dan beberapa
pihak terkait lainnya dan SMAN 68, 19 Desember 1988, Surat kepada orang tua
sepuluh siswi berjilbab, No. 795/IO1.1/SMA 68/O/1988.
[40] Lihat
surat Siswi-Siswi Berjilbab SMAN 68 kepada LBH tanggal 26 Desember 1988.
[41] Dalam
surat balasannya, pihak Kanwil, setelah menyatakan terima kasih atas perhatian
LBH, menyatakan tetap pada sikapnya semula. Lihat surat Kanwil P dan K (Depdikbud) DKI Jakarta tanggal 9 Januari 1989, No. 44/IO1.A1/U/89.
[42]
Masing-masing lihat surat LBH Jakarta tanggal 29 Desember 1988, No. 1858/SK/LBH/XII/1988 dan
27 Januari 1989, No. 137/SK/LBH/I/1989.
[43] Mengenai siapa saja yang menjadi tergugat
serta tuntutan para penggugat lihat surat LBH Jakarta pada Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Maret 1989, No. 03/Perdt/LBH/1989-02.
[44] Masing-masing tanggal 20 April, 17 Mei,
24 Mei, 31 Mei, 14 Juni, dan 23 Agustus 1989. Lihat Alwi Alatas, 2001, op.
cit., hlm. 61. Sidang-sidang ini selalu ramai dihadiri pengunjung. Untuk
ini lihat pada Panji Masyarakat, No. 614, 11-20 Juni 1989, ”Sidang
Jilbab ’Panas’”, hlm. 13.
[45] Lihat surat Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 23 Agustus 1989 pada lampiran.
[47] Gatra,
22 April 1995, “Terjerat Ironi Seragam”, hlm. 44.
[48] Sementara itu, kasus pelarangan jilbab di
beberapa sekolah negeri tetap terjadi, antara lain di SPG Negeri di Cirebon dan
SMAN 6 Surabaya.
[49] Panji
Masyarakat, No. 674, 11-20 Februari 1991, “Mila Diajak Damai Oleh Dynasty”,
hlm. 14-15.
[50] Panji
Masyarakat, No. 629, 11-21 November 1989, “Kita Tidak Rela Jilbab
Difitnah”, hlm. 60-62.
[51] Isu ini
juga direspon dan dibantah oleh beberapa tokoh masyarakat, termasuk Menteri
Agama Munawir Syadzali. Namun, yang terakhir ini juga mendapat kritikan karena
berkali-kali menyatakan bahwa jilbab tidak wajib hukumnya dan beliau sering
menjadikan istrinya yang tidak berjilbab sebagai contoh. Lihat masing-masing
pada Panji Masyarakat, No. 629, 11-21 November 1989, loc. cit.,
hlm. 60-62; Tempo, 17 Februari 1990, “Jihad Melawan Nafsu,” hlm.
102-103; dan Darul Aqsha dkk., 1995, op. cit., hlm. 68.
[52]
Diselenggarakan oleh Pemuda dan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB). Selain itu
masih ada lagi demonstrasi sejenis lainnya, yaitu pada tanggal 26 November dan 27 November 1990. Yang terakhir disebutkan dilakukan di IKIP Bandung dan melibatkan sekitar
2000 pemuda Islam. Lihat Darul Aqsha dkk., ibid.
[53] Ini terjadi pada pertemuan yang
dilaksanakan pada Bulan Desember 1990. Lihat Tempo, 19 Januari 1991,
”Seragam harus, Jilbab Boleh.”
[54] Pada SK yang baru ini, keinginan para
siswi berjilbab sudah diakomodir, lengkap dengan contoh gambar pakaiannya.
Namun, istilah yang digunakan pada SK tersebut tetap ”seragam khas”, bukan
jilbab. Selain itu, SK ini tidak berfungsi ”menggantikan” SK sebelumnya (SK
052), tetapi ”menyempurnakan”.
[55] Antara lain dengan Kejaksaan Agung,
Menpan, Pimpinan Komisi IX DPR RI, dan BAKIN. Lihat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 16 Februari 1991, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen pendidikan dan Kebudayaan tentang penyempurnaan Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 052/C/Kep/D.82 (Pedoman
Pakaian Seragam Sekolah), No. 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Hasan Walinono.
[56] Tempo,
2 Maret 1991, “Kembalinya Anak Berkerudung,” hlm. 100. Namun, pada beberapa
sekolah yang berpegang kaku pada jadwal berlakunya SK tersebut, ketegangan
masih juga terjadi. Untuk yang terakhir ini lihat Panji Masyarakat, No.
674, 11-20 Februari 1991, “Jilbab Lolos Seleksi,” hlm. 14-15.
[57] Setelah itu masih ada sedikit hambatan
bagi siswi berjilbab yang hendak menerima ijazah kelulusan dari SMA-nya. Bagi
mereka diharuskan melepaskan jilbabnya atau paling tidak menampakkan telinga
pada pasfoto yang akan disematkan pada ijazah, padahal siswi-siswi ini
berkeyakinan bahwa hal tersebut juga dilarang oleh syariat Islam. Baru
kira-kira sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Maret 2002, Dirjen PDM
(Dikdasmen) mengeluarkan surat edaran bernomor 1174/C/PP/2002 yang
ditandatangani oleh Indra Djati Sidi. Surat edaran ini membolehkan digunakannya
pasfoto berjilbab untuk keperluan administrasi pendidikan pada STTB, rapor dan
penerimaan siswa baru. Lihat Kepala Dinas Dikmenti Propinsi DKI Jakarta, 25
Maret 2002, Surat Edaran kepada semua
kepala SMU/ SMK Negeri dan Swasta di lingkungan dinas Dikmenti DKI Jakarta, No. Ed. 05/101.A1/LL/2002,
ditandatangani oleh H. Sukesti Martono. Lihat juga Media Indonesia, 1
April 2002, ”Foto Berjilbab Diizinkan untuk Administrasi Pendidikan.”
[58] Data-data ini sebatas yang berhasil
dihimpun dalam penelitian ini. Agaknya masih banyak kasus-kasus serupa yang
tidak terdokumentasikan. Data-data yang dimasukkan dalam tabel ini hanya
kasus-kasus yang terjadi di SMA-SMA negeri saja. Kasus-kasus yang terjadi di SMP
(SLTA) – jumlahnya tidak banyak – tidak dimasukkan. Untuk kolom keterangan,
siswi-siswi yang akhirnya pindah sekolah, mayoritasnya – kalau tidak dikatakan
seluruhnya – melakukan hal tersebut karena terpaksa.
[59] Pada surat penjelasan tersebut dijelaskan
“Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk
menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada
beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/ tidak
sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah.” Kemudian dinyatakan
bahwa “’aksi jilbab’ yang dilancarkan oknum-oknum tertentu bukan suatu gerakan
agama, melainkan gerakan politik.” Lihat Wartasiswa, No. 3, Th. 1, loc.
cit.
[60]
Beberapa guru mencurigai siswi-siswi berjilbab ini mempunyai motif politik atau
“mewakili gerakan tertentu”. Lihat Alwi Alatas, 2001, op. cit., hlm. 32.
[61] Mengacu
pada tahun terjadinya transisi Gerakan Usrah menjadi Gerakan Tarbiyah
sebagaimana yang diprediksikan dalam penelitian Ali Said Damanik, 2003, op.
cit., hlm. 100.
[62] Ali
Said Damanik, 2003, ibid, hlm. vii. Lihat juga penuturannya pada halaman 3.
OLEH:
ALWI ALATAS EDITED BY DHEZUN