Terbaru

Teori Multiple Intelegensi (Kecerdasan Majemuk) Dalam Pembelajaran



A. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba mengakomodasi kebutuhan siswa.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta yang mulai melirik dunia pendidikan dalam mengembangkan usahanya. Sarana untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih dirasakan sangat kurang dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan.

Hal ini terlihat dengan semakin menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi. Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas adalah masih banyaknya sekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak, bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi.

Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut, di atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musical, visual-spatial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Kompas, 6 Agustus 2003). Jenisjenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner padan tahun 1983. Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orangorang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orangorang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain.

Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.

Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.

Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Insan Kancil (Kompas, 13 Oktober 2003), pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah Dasar. Sekitar 99 persen, Taman Kanak-Kanak mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Artinya, pendidikan Taman Kanak-Kanak telah menekankan pada kecerdasan akademik, tanpa menyeimbanginya dengan kecerdasan lain. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh guru-guru masih tetap mementingkan akan kemampuan logika (matematika) dan bahasa.

Menurut Moleong, dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), guru dan orang tua hendaknya bersinergi dalam mengembangkan berbagai jenis kecerdasan, terutama terhadap anak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak gagap dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Anak-anak usia 0 – 8 tahun harus diperkenalkan dengan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences). Guru hendaknya tidak terjebak pada kecerdasan logika semata.

Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003). Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika (matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerjasama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan?

Kecerdasan (Inteligensi) secara umum dipahami pada dua tingkat yakni :

Kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien.

Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi pencapaian sasaran yang lebih baik dari orang yang kurang cerdas. Artinya orang yang cerdas mestinya lebih sukses dari orang yang kurang cerdas. Yang sering membingungkan ialah kenyataan adanya orang yang kelihatan tidak cerdas (sedikitnya di sekolah) kemudian tampil sukses, bahkan lebih sukses dari dari rekan-rekannya yang lebih cerdas, dan sebaliknya.

Prestasi seseorang ditentukan juga oleh tingkat kecerdasannya (Inteligensi). Walaupun mereka memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan orang tuanya memberi kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan prestasinya, tetapi kecerdasan mereka yang terbatas tidak memungkinkannya untuk mencapai keunggulan.

Tingkat Kecerdasan Tingkat kecerdasan (Intelegensi) bawaan ditentukan baik oleh bakat bawaan (berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh faktor lingkungan (termasuk semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh seseorang; terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan mempunyai dampak kuat terhadap kecersan seseorang). Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Kemampuan untuk berpikir abstrak.
2. Untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar.
3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.

Perumusan pertama melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir. Perumusan kedua sebagai kemampuan untuk belajar dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ketiga-tiganaya menunjukkan aspek yang berbeda dari intelegensi, namun ketiga aspek tersebut saling berkhaitan. Keberhasilan dalam menyesuaikan diri seseorang tergantung dari kemampuannya untuk berpikir dan belajar. Sejauhmana seseorang dapat belajar dari pengalaman-pengalamannya akan menentukan penyesuaian dirinya.

Ungkapan-ungkapan pikiran, cara berbicara, dan cara mengajukan pertanyaan, kemampuan memecahkan masalah, dan sebagainya mencerminkan kecerdasan. Akan tetapi, diperlukan waktu lama untuk dapat menyimpulkan kecerdasan seseorang berdasarkan pengamatan perilakunya, dan cara demikian belum tentu tepat pula. Oleh karena itu, para ahli telah menyusun bermacam-macam tes inteligensi yang memungkinkan kita dalam waktu yang relatif cepat mengetahui tingkat kecerdasan seseorang. Inteligensi seseorang biasanya dinyatakan dalam suatu kosien inteligensi Intelligence Quotient(IQ).

Apakah hanya kecerdasan (yang diukur dengan tes intelegensi dan menghasilkan IQ) yang menentukan keberbakatan seseorang ? barangkali untuk bakat intelegtual masih tepat jika IQ menjadi kriteria (patokan) utama, tetapi belum tentu untuk bakat seni, bakat kreatif-produktif, dan bakat kepemimpinan. Memang dulu para ahli cenderung untuk mengidentifikasi bakat intelektual berdasarkan tes intelegensi semata-mata, dalam penelitian jangka panjangnya mengenai keberbakatan menetapkan IQ 140 untuk membedakan antara yang berbakat dan tidak. Akan tetapi, akhir-akhir ini para ahli makin menyadari bahwa keberbakatan adalah sesuatu yang majemuk, artinya meliputi macam-macam ranah atau aspek, tidutak hanya kecerdasan.

Keberbakatan dan Anak Berbakat Renzulli, dkk.(1981) dari hasil-hasil penelitiannya menarik kesimpulan bahwa yang menentukan keberbakatan seseorang adalah pada hakekatnya tiga kelompok (cluster) ciri-ciri, yaitu : kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri (tangung jawab terhadap tugas). Seseorang yang berbakat adalah seseorang yang memiliki ketiga ciri tersebut. Masing-masing ciri mempunyai peran yang sama-sama menentukan. Seseorang dapat dikatakan mempunyai bakat intelegtual, apabila ia mempunyai intelegensi tinggi atau kemampuan di atas rata-rata dalam bidang intelektual yang antara lain mempunyai daya abstraksi, kemampuan penalaran, dan kemampuan memecahkan masalah). Akan tetapi, kecerdasan yang cukup tinggi belum menjamin keberbakatan seseorang.

Kreatifitas sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya, adalah sama pentingnya. Demikian juga berlaku bagi pengikatan diri terhadap tugas yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet meskipun mengalami macam-macam rintangan dan hambatan, melakukan dan menyelesaikan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya, karena ia telah mengikatnya diri terhadap tugas tersebut atas kehendaknya sendiri.

Adapun yang dimaksud dengan anak berbakat adalah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi yang tinggi. Anak-anak ini membutuhkan program pendidikan yang berdeferensiasi atau pelayanan yang di luar jangkauan program sekolah biasa, agar dapat mewujudkan bakat-bakat mereka secara optimal, baik bagi pengembangan diri maupun untuk dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi kemajuan masyarakat dan negara. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan psikomotor, kemampuan psikososial seperti bakat kepemimpinan.

Keberbakatan itu meliputi bermacam-macam bidang, namun biasanya seseorang mempunyai bakat istimewa dalam salah satu bidang saja. Dan tidak pada semua bidang. Misalnya : Si A menonjol dalam matematika, tetapi tidak dalam bidang seni. Si B menunjukkan kemapuan memimpin, tetapi prestasi akademiknya tidak terlalu menonjol. Hal ini kadang-kadang dilupakan oleh pendidik. Mereka menganggap bahwa seseorang telah diidentifikasi sebagai berbakat harus menonjol dalam semua bidang. Selanjutnya perumusan tersebut menekankan bahwa anak berbakat mampu memberikan prestasi yang tinggi. Mampu belum tentu terwujud. Contoh Ada anak-anak yang sudah dapat mewujudkan bakat mereka yang unggul, tetapi ada pula yang belum. Bakat memerlukan pendidikan dalam latihan agar dapat terampil dalam restasi yang unggul.


B. PEMBAHASAN

1. Konsep Multiple Intelegenci 

Konsep Multiple Intelegensi (MI), menurut Gardner (1983) dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple intelegences, ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu yaitu linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Melalui delapan jenis kecerdasan ini, setiap individu mengakses informasi yang akan masuk ke dalam dirinya. Karena itu Amstrong (2002) menyebutkan, kecerdasan tersebut merupakan modalitas untuk melejitkan kemampuan setiap siswa dan menjadikan mereka sebagai sang juara, karena pada dasarnya setiap anak cerdas. Sebelum menerapkan MI sebagai suatu strategi dalam pengembangan potensi seseorang, perlu kita kenali atau pahami ciri-ciri yang dimiliki seseorang.

1. Kecerdasan Linguistik, umumnya memiliki ciri antara lain (a) suka menulis kreatif, (b) suka mengarang kisah khayal atau menceritakan lelucon, (c) sangat hafal nama, tempat, tanggal atau hal-hal kecil, (d) membaca di waktu senggang, (e) mengeja kata dengan tepat dan mudah, (f) suka mengisi teka-teki silang, (f) menikmati dengan cara mendengarkan, (g) unggul dalam mata pelajaran bahasa (membaca, menulis dan berkomunikasi).

2. Kecerdasan Matematika-Logis, cirinya antara lain: (a) menghitung problem aritmatika dengan cepat di luar kepala, (b) suka mengajukan pertanyaan yang sifatnya analisis, misalnya mengapa hujan turun?, (c) ahli dalam permainan catur, halma dsb, (d) mampu menjelaskan masalah secara logis, (d) suka merancang eksperimen untuk membuktikan sesuatu, (e) menghabiskan waktu dengan permainan logika seperti teka-teki, berprestasi dalam Matematika dan IPA.

3. Kecerdasan Spasial dicirikan antara lain: (a) memberikan gambaran visual yang jelas ketika menjelaskan sesuatu, (b) mudah membaca peta atau diagram, (c) menggambar sosok orang atau benda persis aslinya, (d) senang melihat film, slide, foto, atau karya seni lainnya, (e) sangat menikmati kegiatan visual, seperti teka-teki atau sejenisnya, (f) suka melamun dan berfantasi, (g) mencoret-coret di atas kertas atau buku tugas sekolah, (h) lebih memahamai informasi lewat gambar daripada kata-kata atau uraian, (i) menonjol dalam mata pelajaran seni.

4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, memiliki ciri: (a) banyak bergerak ketika duduk atau mendengarkan sesuatu, (b) aktif dalam kegiatan fisik seperti berenang, bersepeda, hiking atau skateboard, (c) perlu menyentuh sesuatu yang sedang dipelajarinya, (d) menikmati kegiatan melompat, lari, gulat atau kegiatan fisik lainnya, (e) memperlihatkan keterampilan dalam bidang kerajinan tangan seperti mengukir, menjahit, memahat, (f) pandai menirukan gerakan, kebiasaan atau prilaku orang lain, (g) bereaksi secara fisik terhadap jawaban masalah yang dihadapinya, (h) suka membongkar berbagai benda kemudian menyusunnya lagi, (i) berprestasi dalam mata pelajaran olahraga dan yang bersifat kompetitif.

5. Kecerdasan Musikal memiliki ciri antara lain: (a) suka memainkan alat musik di rumah atau di sekolah, (b) mudah mengingat melodi suatu lagu, (c) lebih bisa belajar dengan iringan musik, (d) bernyanyi atau bersenandung untuk diri sendiri atau orang lain, (e) mudah mengikuti irama musik, (f) mempunyai suara bagus untuk bernyanyi, (g) berprestasi bagus dalam mata pelajaran musik.

6. Kecerdasan Interpersonal memiliki ciri antara lain: (a) mempunyai banyak teman, (b) suka bersosialisasi di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya, (c) banyak terlibat dalam kegiatan kelompok di luar jam sekolah, (d) berperan sebagai penengah ketika terjadi konflik antartemannya, (e) berempati besar terhadap perasaan atau penderitaan orang lain, (f) sangat menikmati pekerjaan mengajari orang lain, (g) berbakat menjadi pemimpin dan berperestasi dalam mata pelajaran ilmu sosial.

7. Kecerdasan Intrapersonal memiliki ciri antara lain: (a) memperlihatkan sikap independen dan kemauan kuat, (b) bekerja atau belajar dengan baik seorang diri, (c) memiliki rasa percaya diri yang tinggi, (d) banyak belajar dari kesalahan masa lalu, (e) berpikir fokus dan terarah pada pencapaian tujuan, (f) banyak terlibat dalam hobi atau proyek yang dikerjakan sendiri.

8. Kecerdasan Naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka, (c) suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang, (d) menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan alam, (e) suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam lainnya, (f) berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup.

Keunikan yang dikemukakan Gardner adalah, setiap kecerdasan dalam upaya mengelola informasi bekerja secara spasial dalam sistem otak manusia. Tetapi pada saat mengeluarkannya, ke delapan jenis kecerdasan itu bekerjasama untuk menghasilkan informasi sesuai yang dibutuhkan.


2. Mendidik Anak Cerdas dan Berbakat 
Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Apa itu kecerdasan majemuk ? Sebagai orang tua masa kini, kita sering kali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita ingin mereka menjadi juara dengan harapan ketika dewasa mereka bisa memasuki perguruan tinggi yang bergengsi.

Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci utama untuk kesuksesan hidup di masa depan. Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengingkari bahwa sangat sedikit orang-orang yang sukses di dunia ini yang menjadi juara di masa sekolah. Bill Gates (pemilik Microsoft), Tiger Wood (pemain golf) adalah beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil di bidangnya. Kemudian di sinilah muncul pertanyaan sebagai berikut :

Kalau IQ ataupun prestasi akademik tidak bisa dipakai untuk meramalkan sukses seorang anak di masa depan, lalu apa ? Apa yang harus dilakukan orang tua supaya anak-anak mempunyai persiapan cukup untuk masa depanya ?

Kemudian jawabannya adalah :

Prestasi dalam kecerdasan majemuk (multiple Intelligence)dan bukan hanya prestasi akademik. Kecerdasan majemuk Kemungkinan anak untuk meraih sukses menjadi sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdannya yang majemuk itu. Membangun seluruh kecerdasan anak adalah ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongkat sebagai penyangganya. Semakin sama tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin kokoh pulalah tenda itu berdiri.

Untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas berarti memiliki skor yang tinggi pada seluruh kecerdasan majemuk tersebut. Walaupun sangat jarang seseorang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang, biasanya orang yang benar-benar sukses memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol. Albert Einstein, beliau sangat terkenal jenius di bidang sains, ternyata juga sangat cerdas dalam bermain biola dan matematika.

Demikian pula Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang olah tubuh, seni arsitektur, matematika, dan fisika. Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup lagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi untuk menjamin anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses sekolah semata. Kedua orang tua harus berusaha sebaik mungkin untuk menentukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang memiliki oleh masing-masing anak.


3. Sukses dan Kecerdasan 

Kecerdasan memang bukan satu-satunya elemen sukses. John Wareham (1992), mengatakan ada 10 (sepuluh) unsur pokok untuk menjadi eksekutif yang sukses yaitu :

1. Kemampuan menampilkan pesona diri yang tepat
2. Kemampuan mengelola energi diri yang baik
3. Kejelasan dan kesehatan sistem nilai pribadi dan kontrak-kontrak batin
4. Kejelasan sasaran-sasaran hidup yang tersurat maupun yang tersirat
5. Kecerdasan yang memadai (dalam arti penalaran)
6. Adanya kebiasaan kerja yang baik
7. Keterampilan antar manusia yang baik
8. Kemampuan adaptasi dan kedewasaan emosional
9. Pola kepribadian yang tepat dengan tuntutan pekerjaan
10. Kesesuaian tahap dan arah kehidupan dengan espektasi gaya hidup.

Dale Carnegie (1889-1955), bahkan tidak menyebutkan kecerdasan secara eksplisit (dalam pengertian umum) sebagai elemen keberhasilan. Beliau mengatakan bahwa untuk berhasil dibutuhkan 10 (sepuluh Kualitas) yaitu :

1. Rasa percaya diri yang berlandaskan konsep diri yang sehat,
2. Keterampilan berkomunikasi yang baik,
3. Keterampilan antar manusia yang baik,
4. Kemampuan memimpin diri sendiri dan orang lain,
5. Sikap positip terhadap orang, kerja dan diri sendiri,
6. Keterampilan menjual ide dan gagasan,
7. Kemampuan mengingat yang baik,
8. kemampuan mengatasi masalah, stres dan kekuatiran,
9. Antusiasme yang menyala-nyala, dan
10. Wawasan hidup yang luas.

Jadi jelaslah bahwa kecerdasan, yang biasanya diukur dengan skala IQ, memang bukan elemen tunggal atau tiket menuju sukses. John Wareham, menyimpulkan hal di atas sesudah ia mewawancarai puluhan ribu calon eksekutif dan mensuplai ribuan eksekutif ke banyak perusahaan, dalam peranannya sebagai ” head Hunter ”. Begitu juga Dale Carnegie tiba pada kesimpulannya sesudah ia mewawancarai banyak tokoh sukses kontemporer pada jamannya dan sesudah membaca ribuan biografi dan otobiografi orang-orang sukses dari segala macam lapangan kehidupan.

C. PENUTUP 

1. Kesimpulan 

Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien. Kecerdasan merupakan suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Tingkat kecerdasan (Intelegensi) ditentukan oleh bakat bawaan berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya. Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Kemampuan untuk berpikir abstrak.
2. Kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar
3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.

Ciri-ciri keberbakatan seseorang adalah, kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri. Anak berbakat adalah mereka yang karena memiliki kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi yang tinggi. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan psikomotor, kemampuan psikososial. Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak.

2. Saran 
Pemerintah hendaknya mengadakan seminar tentang kecerdasan oleh seorang pakar psikologi sehingga dapat memotivasi baik orangtua maupun guru dalam memberikan bimbingan kepada anaknya. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci utama untuk kesuksesan hidup di masa depan. Maka perlu adanya pembinaan para guru agar bisa mencerdaskan siswa terutama pendidikan yang ada di lingkungan sekolah.



Daftar Pustaka
http//:gemasastrin.htm. Teori Multiple Intelligences dalam Pendidikan Anak. Des. 2008
Jurnal Pendidikan Penabur,No 04/Th IV/Juli 2005
Http//renggani.blogspot.com/2007/07 Multiple Intelligences-Kecerdasan Mejemuk.html
http:sepia.blogsome.com/muthahari-career-day. Multiple Intelegensi (Kecerdasan Majemuk) januari-2007.
http//:unhalu.ac.id/staff/blog.latahang. Penerapa Multiple Intelegency dalam Pembelajara Fisika, Pebruari. 2009
Wikipedia, File///F./Theory_of_Multiple_Intelligences.htm

Sumber: http://www.vilila.com/2010/10/multiple-intelegensi-kecerdasan-majemuk.html#ixzz1GdSZ5Ezk


---------
@dhezun
Comments
1 Comments

1 komentar:

Kajian Syiah dari sumber rujukan mereka




(Bukti Kesesatan Agama Syi’ah dari Sumber Rujukan Mereka)
Oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi hafizhahullah

Termasuk kewajiban yang paling wajib adalah menjaga agama dan keyakinan kaum muslimin terhadap penyimpangan dan kerusakan, serta menerangkan jalan kerusakan agar kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam kerusakan tersebut. Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

“Manusia bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan (karena) khawatir bila kejelekan itu akan menimpaku ….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim]

Di antara ancaman yang sangat besar terhadap aqidah kaum muslimin adalah agama kaum Syi’ah Rafidhah, suatu agama yang merusak dan meruntuhkan nilai-nilai keyakinan umat Islam. Ironisnya, agama Syi’ah ini didukung oleh beberapa negara dan dipersiapkan guna menyebar racun mereka di seluruh negeri kaum muslimin.

Bila merasa kuat pada suatu negeri, Kaum Syi’ah akan berbuat kezhaliman dan kesewenang-wenangan, seperti ulah mereka di Iran, Suriah, Bahrain, dan selainnya. Bila merasa lemah, mereka akan tampil dengan “pakaian” pendekatan dan persahabatan, atau sengaja memancing kemarahan kaum muslimin dengan mencela agama kaum muslimin sehingga sebagian kaum muslimin lepas kontrol. Bila kejadian yang mereka inginkan telah terjadi, mereka pun berdiri di belakang media massa agar ditampilkan sebagai orang-orang yang “dizhalimi” supaya mendapat belas kasih dan kesempatan untuk bercerita tentang keyakinan mereka.
Berikut beberapa pembahasan ringkas tentang kesesatan dan penyimpangan agama Syi’ah. Kami menerangkan kesesatan agama mereka dari “mulut” mereka sendiri yang menumpahkan keyakinan mereka dalam buku-buku mereka sendiri.


Definisi Syi’ah

Syaikh kelompok Syi’ah, Muhammad bin Muhammd bin An-Nu’man, yang bergelar Al-Mufîd, berkata, “Syi’ah adalah para pengikut amirul mukminin Ali shalawatullâhi ‘alaihi di atas jalan loyalitas, meyakini keimaman (Ali) setelah Rasul shalawatullâhi ‘alaihi wa âlihi tanpa terputus, menafikan keimaman siapa saja yang telah mendahului (Ali) dalam khilafah, serta menjadikan (Ali) sebagai yang diikuti dalam keyakinan, bukan mengikut kepada salah seorang di antara mereka di atas jalan kesetiaan.” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 38]
Syaikh mereka yang lain, Sa’d bin ‘Abdillah Al-Qummy, mendefinisikan, “Syi’ah adalah golongan Ali bin Abi Thalib yang dinamakan Syi’ah Ali pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan masa setelahnya. Mereka dikenal dengan loyalitas kepada Ali dan menyatakan keimaman (Ali).” [Al-Maqâlât Wal Firâq hal. 15]

Dalam agama Syi’ah, banyak kelompok dan aliran. Hanya, pada masa ini, penggunaan kata syi’ah tertuju kepada penganut terbanyak agama Syi’ah: Syi’ah Itsnâ Asyariyyah. Demikian keterangan salah seorang rujukan mereka, Husain An-Nury Ath-Thabarsy, dalam kitabnya, Mustadrak Al-Wasâ`il 3/311.


Siapakah 12 Imam Kaum Syi’ah?

Mereka disebut Syi’ah Itsnâ Asyariyyah karena meyakini keimaman 12 imam Ahlul Bait. 12 imam tersebut adalah [1] Abul Hasan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu (Lahir 23 tahun sebelum hijrah dan mati syahid pada 40 H), digelari Al-Murtadhâ; dan dua putra beliau, [2] Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (2 H-50 H), digelari Al-Mujtabâ/Az-Zaky; [3] Abu Abdillah Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (3 H-61 H), digelar Asy-Syahid. Delapan Imam lain adalah dari keturunan Al-Husain radhiyallahu ‘anhu secara berurut. Kunyah, nama, dan gelar mereka terhitung dari bawah, yaitu [11] Abu Muhammad Al-Hasan Al-‘Askar (232 H-260 H) bin [10] Abul Hasan Ali Al-Hâdy (212 H-254 H) bin [9] Abu Ja’far Muhammad Al-Jawwâd (195 H-220 H) bin [8] Abul Hasan Ali Ar-Ridhâ (148 H-203 H) bin [7] Abu Ibrahim Musa Al-Kâzhim (128 H-183 H) bin [6] Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq (83 H-148 H) bin [5] Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir (57 H-114 H) bin [4] Abu Muhammad Ali As-Sajjâd/Zainul ‘Âbidîn (38 H-95 H) bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thâlib -semoga Allah meridhai dan merahmati mereka seluruhnya-. Adapun imam ke-12, mereka sebut berkunyah Abul Qâsim bernama Muhammad serta bergelar Al-Mahdi, Al-Qâ`im, Al-Hujjah, dan Al-Muntazhar. Akan datang penjelasan tentang Imam Mahdi kaum Syi’ah.


Asal Muasal Agama Syi’ah

Pendiri agama Syi’ah adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang pura-pura memeluk Islam. Dialah yang memunculkan aqidah keimaman Ali radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan pokok keyakinan kaum Syi’ah. Hal ini diakui oleh orang-orang Syi’ah dalam belasan buku rujukan mereka. [Bacalah kitab Ibnu Saba’ Haqiqah La Khayâl karya Dr. Su’dâ Al-Hâsyimy]

Seorang tokoh mereka, Al-Hasan An-Nûbakhty, menjelaskan, “As-Saba`iyyah adalah mereka yang berkata tentang keimaman Ali ‘alaihis salam, sedang keimaman adalah kewajiban dari Allah Azza wa Jalla. Mereka adalah pengikut Abdullah bin Saba`. (Abdullah bin Saba`) tergolong orang yang menampakkan celaan terhadap Abu Bakr, Umar, Utsman, dan para shahabat, serta berlepas diri dari (para shahabat) tersebut …. Sejumlah ulama menghikayatkan bahwa, dahulu, Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi, lalu memeluk Islam dan berloyalitas kepada Ali ‘alaihis salam.” [Firâq Asy-Syî’ah hal. 32]

Pokok-Pokok Kesesatan Agama Syi’ah
Berbicara tentang kesesatan agama Syi’ah adalah suatu hal yang sangat panjang. Berikut beberapa simpulan ringkas tentang agama Syi’ah dari buku-buku mereka sendiri.


1.       Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Keimaman Para Imam Ahlul Bait
Keyakinan kaum Syi’ah tentang keimaman 12 imam Ahlul Bait mengandung kekafiran yang sangat nyata. Di antara keyakinan tersebut adalah bahwa keimaman Ahlul Bait lebih tinggi daripada derajat kenabian.
Salah seorang tokoh mereka, Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, berkata, “Kami meyakini bahwa keimaman adalah seperti kenabian, yang tidaklah terjadi, kecuali berdasarkan nash dari Allah Ta’âlâ melalui lisan Rasul-Nya atau melalui lisan Imam yang telah ditetapkan secara nash apabila dia ingin menetapkan imam setelahnya. Hukum keimaman dalam hal tersebut adalah hukum kenabian tanpa perbedaan.” [‘Aqâ`id Al-Imâmiyah hal. 103]

Imam Kaum Syi’ah, Zainuddin Al-Bayâdhy, berkata, “Kebanyakan guru kami lebih mengutamakan (Ali) di atas Ulul ‘Azmi karena keumuman kepemimpinan (Ali), dan seluruh penduduk dunia mengambil manfaat pada kekhalifahan (Ali).” [Ash-Shirâthul Mustaqîm ‘Alâ Mustahiqqî At-Taqdîm 1/210]
Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Keimaman umum adalah lebih tinggi daripada derajat kenabian dan kerasulan.” [Zahrur Rabî’ hal. 12]

Bahkan, kaum Syi’ah menganggap bahwa keutamaan para nabi bersumber dari kecintaan para nabi kepada para imam Ahlul Bait.

Tokoh mereka, Muhammad Bâqir Al-Majlisy, dalam kitabnya, Bihârul Anwâril Jâmi’ah Li Akhbâril A`immatil Ath-hâr 26/267, menyebut bab khusus dengan judul bab “Keutamaan (Para Imam Ahlul Bait) ‘alaihimus salam terhadap Para Nabi dan Seluruh Makhluk; Pengambilan Janji terhadap Para Nabi, Para Malaikat, dan Seluruh Makhluk Tentang Mereka; serta Bahwa Ulul ‘Azmi Ada sebagai Ulul ‘Azmi karena Kecintaan kepada (Para Imam Ahlul Bait) Shalawatullâhi ‘Alaihim.”

Siapa saja yang mengingkari keimaman Ahlul Bait adalah kafir di kalangan penganut agama Syi’ah.
Sumber riwayat mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulîny, meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq -semoga Allah merahmatinya-, bahwa Ja’far berkata, “(Ada) tiga orang yang Allah tidak melihat kepada mereka pada hari Kiamat, tidak menyucikan mereka, dan siksaan pedih untuk mereka: (1) Orang yang mengakui suatu keimaman dari Allah yang bukan miliknya, (2) orang yang mengingkari seorang imam dari Allah, dan (3) Orang yang menyangka bahwa kedua (jenis orang) tersebut memiliki bagian dalam keislaman.” [Ushûlul Kâfy 1/434, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, cet. Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H]

Dalam Amaly Ash-Shadûq, disebutkan riwayat dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi bahwa, “Siapa saja yang mengingkari keimaman Ali setelahku, dia telah mengingkari kenabian pada kehidupanku, sedang siapa saja yang mengingkari kenabianku, dia telah mengingkari rubûbiyah Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.” [Al-Amaly hal. 308, Bihârul Anwâr 34/109]

Bahkan, mereka menganggap bahwa para nabi menegakkan seluruh risalah kenabian, dan risalah itu akan disempurnakan oleh imam kaum Syi’ah yang muncul pada akhir zaman.

Tokoh mereka pada masa ini, Al-Khumainy, berkata, “Setiap nabi dari para nabi hanyalah datang untuk menegakkan keadilan, dan tujuannya adalah untuk menerapkan (keadilan) di alam, tetapi beliau tidaklah berhasil. Hingga, penutup para nabi, yang datang untuk memperbaiki dan mengatur manusia serta menerapkan keadilan, sesungguhnya juga tidak mendapat taufiq. Sesungguhnya, yang akan berhasil dengan segala makna kalimat (keberhasilan) dan menerapkan keadilan di seluruh penjuru dunia adalah Al-Mahdi yang ditunggu.” [Mukhtârât min Ahâdîts wa Khithâbât Al-Khumainy 2/42]

Tidak seorang muslim pun yang meragukan kekafiran ucapan di atas, yang bertentangan dengan ayat-ayat Allah Ta’âlâ dan keyakinan yang dimaklumi dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Allah Subhânahû wa Ta’âla telah berfirman,

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, tetapi Allah tidaklah menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur`an) dan agama yang benar untuk Dia menangkan (agama) itu atas segala agama, walau orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 32-33]


2.       Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Kedudukan Para Imam Ahlul Bait

Kaum Syi’ah meyakini bahwa para imam mereka mengetahui perkara ghaib.
Dalam Ushûlul Kâfy karya ahli hadits mereka, Al-Kulîny, terdapat sejumlah riwayat dari para imam Ahlul Bait -semoga Allah merahmati mereka- tentang pengetahuan para imam akan ilmu ghaib. Riwayat-riwayat tersebut terangkai dalam sejumlah bab pembahasan, di antaranya adalah bab “Para Imam ‘alaihimus salam Mengetahui Hal yang Telah Terjadi dan Hal yang Akan Terjadi, serta Tiada Suatu Apapun yang Tersembunyi terhadap Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/316], bab “Para Imam Mengetahui Waktu Meninggal Mereka, dan Mereka Tidak Meninggal, kecuali dengan Pilihan Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/313], dan bab “Para Imam ‘alaihimus salam Mengetahui Seluruh Ilmu yang Keluar kepada Malaikat, Para Nabi, dan Para Rasul ‘alaihimus salam” [Ushûlul Kâfy 1/310].

Mereka juga meyakini bahwa ucapan para imam mereka adalah firman Allah.

Dalam Ushûlul Kâfy, disebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Ucapanku adalah ucapan ayahku. Ucapan ayahku adalah ucapan kakekku. Ucapan kakekku adalah ucapan Al-Husain. Ucapan Al-Husain adalah ucapan Al-Hasan. Ucapan Al-Hasan adalah ucapan (Ali) Amirul Mukminin (A). Ucapan Amirul Mukminin adalah hadits Rasulullah (shâ). Hadits Rasulullah adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla.” [Ushûlul Kâfy 1/105]

Dalam syarah kitab Ushûlul Kâfy, Muhammad Shalih Al-Mâzandarâny berkata, “Sesungguhnya hadits dari setiap imam yang tampak adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Tiada perbedaan dalam ucapan-ucapan para imam sebagaimana tiada perbedaan dalam firman Allah Ta’âlâ.” [Syarh Jâmi’ ‘Alâ Ushûlil Kâfy 2/272]
Sikap ekstrem dan berlebihan di atas adalah kekafiran yang sangat jelas pada kelompok Syi’ah. Siapa saja yang menganggap bahwa ada yang mengetahui hal ghaib dari makhluk adalah kafir menurut Al-Qur`an, Sunnah, dan kesepakatan kaum muslimin.

3.       Aqidah Raj’ah Kaum Syi’ah
Al-Ahsâ`iy dalam kalangan Syi’ah memberi definisi, “Ketahuilah bahwa raj’ah adalah rahasia dari rahasia Allah. Berpendapat dengan (raj’ah) adalah buah keimanan kepada hal ghaib. Maksud (raj’ah) adalah kembalinya para imam ‘alaihimus salam dan syi’ah-nya serta musuh-musuh mereka dari yang keimanannya telah dimurnikan atau kekafirannya dari dua golongan, dan bukan tergolong orang-orang yang telah Allah binasakan di dunia dengan suatu siksaan. Apabila telah dibinasakan dengan suatu siksaan, mereka tidak akan kembali.” [Kitâbur Raj’ah hal. 11]

Al-Majlisy menerangkan aqidah mereka, “Sungguh jiwa-jiwa yang telah pergi akan kembali dan akan melaksanakan qishash pada hari kebangkitan mereka. Siapa saja yang disiksa akan mengambil qishash dengan menyiksa (orang yang menyiksa)nya. Siapa saja yang dibuat marah akan melampiaskan kemarahannya. Siapa saja yang dibunuh akan mengambil qishash dengan membunuh (orang yang membunuh)nya, sedang musuh-musuh mereka akan dikembalikan bersama mereka sehingga mereka melampiaskan kemarahannya. Lalu, mereka dihidupkan selama tiga puluh bulan setelah (musuh) itu (dimatikan), kemudian meninggal dalam satu malam dalam keadaan telah melampiaskan kemarahan mereka dan memuaskan diri-diri mereka, sedangkan musuh-musuh mereka telah menuju siksaan neraka yang paling pedih. Selanjutnya, mereka berdiri di depan (Allah) Al-Jabbâr ‘Azza wa Jalla lalu (Allah) memberikan hak-hak mereka untuk mereka.” [Bihârul Anwâr 53/44]

Menurut Syi’ah, musuh pertama yang akan dibangkitkan adalah Abu Bakr, Umar, dan Utsman. [Bihârul Anwâr 98/293]

Mereka juga menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq -semoga Allah merahmatinya- dalam menafsirkan firman Allah, “Oleh karena itu, beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka sekadar sebentar.” [Ath-Thâriq: 17], bahwa Ja’far berkata, “Beri tangguhlah orang-orang kafir itu, wahai Muhammad, yaitu beri tangguhlah mereka itu sekadar sebentar untuk waktu kebangkitan Al-Qâ`im (Mahdi) ‘alaihis salam sehingga (Al-Qâ`im) membalas dendam untukku terhadap orang-orang yang bersombong serta para thaghut dari Quraisy, Bani Umayyah, dan seluruh manusia.” [Tafsîr Al-Qummi 2/416]

Aqidah kaum Syi’ah di atas adalah kekafiran nyata yang para ulama sepakati. Allah ‘Azza wa Jalla telah menerangkan bahwa hanya ada alam kubur dan hari kiamat,

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu) hingga, apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amalan shalih terhadap (amalan) yang telah kutinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang sekadar dia ucapkan. Sedang, di hadapan mereka, ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” [Al-Mu`minûn: 99-100]

Allah ‘Azza wa Jalla juga menerangkan bahwa setelah kematian adalah kembali kepada-Nya,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Lalu, hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” [Al-‘Ankabût: 57]


4.       Aqidah Al-Badâ` dalam Agama Syi’ah

Dalam bahasa Arab, kata al-badâ` digunakan dalam dua makna: penampakan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan kemunculan pendapat baru.

Dalam riwayat-riwayat kaum Syi’ah disebutkan, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu apapun yang semisal Al-Badâ`,”, “Tidaklah Allah diagungkan dengan sesuatu yang semisal Al-Badâ`.” [Ushûlul Kâfy 1/197], dan “Andaikata mengetahui pahala keyakinan tentang Al-Badâ`, manusia tidak akan bosan berbicara tentang (Al-Badâ`) itu.” [Ushûlul Kâfy 1/199]

Dari Abu Hamzah Ats-Tsumâly, beliau berkata: Saya mendengar Abu Ja’far (Muhammad Al-Bâqir) ‘alaihis salam berkata, “Wahai Tsabit, sesungguhnya Allah Tabâraka wa Ta’âlâ pernah menentukan perkara ini pada tahun 70. Tatkala Al-Husain shalawatullâhi ‘alaihi terbunuh, kemurkaan Allah terhadap penduduk bumi menjadi sangat besar sehingga Allah mengakhirkan (penentuan) itu hingga tahun 140. Kami telah menceritakan kepada kalian, dan kalian telah mendengarkannya kemudian menyingkap tirai penutup, sedang setelah itu Allah tidak menetapkan waktu tertentu di sisi kami. Allah menghapus yang Dia kehendaki dan menetapkan (yang Dia kehendaki), serta di sisi-Nya ada Ummul Kitab.” [Ushûlul Kâfy 1/429, Al-Ghâ`ibah karya Ath-Thûsy hal. 263 dan Bihârul Anwâr 52/105]

Keyakinan kaum Syi’ah di atas disebut dalam banyak buku mereka dan diakui oleh ulama mereka. Tentu dimaklumi oleh seorang muslim bahwa keyakinan tersebut adalah kekafiran yang jelas karena mengharuskan kejahilan dan ketidaktahuan Allah terhadap hal yang akan terjadi.


5.       Keyakinan Taqiyyah dalam Agama Syiah

Dalam mendefinisikan taqiyyah, Al-Mufîd berkata, “Taqiyyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta menutupi (keyakinan) dari orang-orang yang menyelisihi dan tidak terang-terangan kepada mereka dalam hal yang mengakibatkan bahaya dalam agama atau dunia.” [Tash-hîhul I’tiqâd hal. 115]

Al-Khumainy berkata, “Makna taqiyyah adalah seorang manusia mengatakan suatu ucapan yang berseberangan dengan kenyataan, atau mendatangkan amalan yang bertentangan dengan timbangan-timbangan syariat. Hal tersebut untuk menjaga darah, kehormatan, atau harta.” [Kasyful Asrâr hal 147]
Keyakinan ini adalah suatu ibadah yang sangat agung di kalangan orang-orang Syi’ah.
Dalam riwayat mereka, disebutkan dari Abu Umar Al-A’jamy bahwa dia berkata: Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata kepadaku, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya sembilan dari sepuluh bagian agama adalah taqiyyah, dan tiada agama bagi orang yang tidak memiliki taqiyyah ….” [Ushûlul Kâfy 2/133, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H]

Juga dari Sulaiman bin Khalid, dia berkata bahwa Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata, “Wahai Sulaiman, sesungguhnya kalian berada di atas suatu agama. Siapa saja yang menyembunyikan (agama) itu, Allah akan memuliakannya. (Namun), siapa saja yang menyebarkan (agama) itu, Allah akan menghinakannya.” [Ushûlul Kâfy 2/136, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H]
Bahkan, mereka berdusta dengan menisbatkan kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa “Orang yang meninggalkan taqiyyah adalah seperti orang yang meninggalkan shalat.” [Jâmi’ul Akhbâr karya Ibnu Bâbawaih Ash-Shaqûq hal. 110 dan Bihârul Anwâr 74/412 karya Al-Majlisy]

Keyakinan batil kaum Syi’ah ini menutupi segala kedustaan dan kontradiksi mereka. Sehingga, bila ditanyakan kepada mereka, “Mengapa Ali z membait Abu Bakr, Umar, dan Utsman?” Mereka akan menganggap bahwa hal tersebut adalah taqiyyah, “Mengapa banyak kontradiksi ditemukan dalam buku-buku Syi’ah?” Mereka akan menjawab, “Itu taqiyyah.”

An-Nubakhty menukil dari Sulaiman bin Jarir bahwa Sulaiman berkata, “Sesungguhnya, untuk syi’ah mereka, para imam Rafidhah meletakkan dua keyakinan yang, dengan (dua hal) itu, tidak akan tampak suatu kedustaan apapun dari para imam mereka. Dua keyakinan itu adalah keyakinan al-badâ` dan pembolehan taqiyyah. Adapun al-badâ`, itu karena para imam di tengah Syi’ah mereka menduduki kedudukan para nabi di tengah rakyat dalam keilmuan pada hal yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Apabila sesuatu yang mereka katakan terjadi, mereka berkata, ‘Bukankah kami telah memberitahu kalian bahwa hal ini akan terjadi? Dari Allah, kami mengetahui hal yang para nabi ketahui. Antara kami dan Allah terdapat sebab-sebab yang para nabi mengetahui hal yang mereka ketahui.’ Kalau sesuatu yang mereka katakan akan terjadi itu tidak terjadi, mereka berkata, ‘Telah terjadi al-badâ` pada Allah dalam hal tersebut.’.” [Firaq Asy-Syi’ah hal. 64-65]

Bahkan maksud utama keyakinan taqiyyah ini adalah untuk mengeluarkan dan menjauhkan Syi’ah dari keislaman. Mereka menyebut riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Hal-hal yang kalian dengar dariku yang menyerupai ucapan manusia (yaitu kaum muslimin), padanya ada taqiyyah. (Sedangkan), hal-hal yang engkau dengar dariku yang tidak menyerupai ucapan manusia, tiada taqiyyah di dalamnya.” [Bihârul Anwâr 2/252]


6.       Sikap Kaum Syi’ah terhadap Al-Qur`an

Banyak kekafiran kaum Syi’ah dalam keyakinan mereka tentang Al-Qur`an. Seorang muslim yang mengetahuinya pasti dadanya akan sesak dengan ucapan-ucapan mereka.
Di antara keyakinan mereka adalah bahwa Al-Qur`an, yang berada di tangan kaum muslimin, telah berkurang dan telah diubah atau diganti.

Dalam riwayat Al-Kulîny dengan sanadnya dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq disebutkan, “Sesungguhnya Al-Qur`an yang Jibril bawa kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi adalah sebanyak tujuh belas ribu ayat.” [Ushûlul Kâfy 2/350, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H]
Dalam riwayat lain, “… Mushaf Fatimah adalah seperti Al-Qur`an kalian ini (sebanyak) tiga kali lipat. Demi Allah, di dalamnya tiada satu huruf pun dari Al-Qur`an kalian ….” [Ushûlul Kâfy 1/295, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H]

Muhsin Al-Kâsyâny, seorang ahli tafsir mereka, berkata, “Faedah yang terpetik dari riwayat-riwayat melalui jalur Ahlul Bait ‘alaihimus salam adalah bahwa Al-Qur`an yang berada di tengah kita tidaklah sempurna sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan, dalam (Al-Qur`an) itu, ada yang menyelisihi (firman) yang Allah turunkan, ada pula yang telah berubah lagi terganti dalam (Al-Qur`an). Juga sesungguhnya banyak hal telah dibuang dari (Al-Qur`an), di antaranya adalah nama Ali pada banyak tempat. Selain itu, Al-Qur`an juga tidak berada di atas susunan yang diridhai di sisi Allah dan di sisi rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsîrush Shâfy 1/49]

Syaikh kaum Syi’ah, Al-Mufîd, berkata, “Sesungguhnya kabar-kabar yang datang sangatlah banyak, dari para imam petunjuk dari keluarga Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, tentang pertentangan Al-Qur`an dan apa-apa yang orang-orang zhalim adakan berupa penghapusan dan pengurangan di dalamnya ….” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 8]

Ucapan ulama Syi’ah dari dahulu hingga belakangan menunjukkan aqidah ini, bahkan Syaikh kaum Syi’ah, An-Nûry Ath-Thabarsy, memiliki buku khusus yang berjudul Fashlul Khithâb Fî Itsbati Tahrîf Kalâmi Rabbil Arbab (Kata Pemutus tentang Penetapan Terjadinya Perubahan pada [Al-Qur`an] Kalam Rabbil Arbâb). Kalau ada dari kalangan Syi’ah yang mengingkari perubahan dan pergantian Al-Qur`an, hal tersebut hanya berasal dari aqidah taqiyyah mereka.

Pegangan dan kumpulan dari Al-Qur`an, dengan berbagai riwayat dari masa para shahabat hingga hari ini, semuanya tidak berlaku di kalangan Syi’ah.

Ahli hadits terpercaya kaum Syi’ah, Al-Kulîny, menyebutkan bab “Tiada yang Mengumpul Seluruh Al-Qur`an, Kecuali Para Imam (A), Sedang Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu (Al-Qur`an)”, kemudian membawakan riwayat dengan sanadnya dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa Abu Ja’far berkata, “Tiada seorang pun dari manusia yang mengaku mengumpulkan seluruh Al-Qur`an sebagaimana yang diturunkan, kecuali seorang pendusta. Tiada yang mengumpul dan menghafal (Al-Qur`an) sebagaimana yang Allah Ta’âlâ turunkan, kecuali Ali bin Abi Thalib (‘A) dan para imam setelahnya (‘A).” [Ushûlul Kâfy 1/284, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H]

Dalam sifat Imam Mahdi kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Imam Mahdi akan keluar dengan membawa kitab baru. Mereka menyebutkan, “Telah mutawatir dari para imam yang suci shalawâtullâhi ‘alaihim bahwa imam zaman serta utusan masa dan waktu shalawâtullâhi wa salâmuhu ‘alaihi akan datang dengan kitab baru, sangat keras terhadap orang-orang Arab, dan kebanyakan tentara-tentaranya adalah anak-anak ajam (bukan Arab).” [Al-Fawâ`idul Madaniyyah Wasy Syawâhidul Makkiyyah hal. 532-533, Muhammad Amin dan Nûruddîn Al-‘Âmily]

Maha Suci Allah dari kekafiran kaum Syi’ah. Allah telah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ. لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap Al-Qur`an, ketika (Al-Qur`an) itu datang kepada mereka, (pasti akan celaka), dan sesungguhnya (Al-Qur`an) itu adalah kitab mulia. Tiada kebatilan yang datang pada (Al-Qur`an), baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [Fushshilat: 41-42]


7.       Sikap Kaum Syi’ah terhadap Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam

Dalam keyakinan kaum Syi’ah, seluruh hadits yang tidak berasal dari jalur Ahlul Bait tidaklah diterima.
Salah satu rujukan mereka, Muhammad Husain Âlu Kâsyifil Ghithâ, berkata, “Sesungguhnya Syi’ah tidak menganggap (sesuatu) sebagai sunnah, kecuali hal-hal yang telah shahih untuk mereka melalui jalur-jalur Ahlul Bait …. Adapun riwayat Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, ‘Amr bin ‘Âsh, dan semisalnya, itu tidaklah bernilai (semisal) seekor lalat di kalangan orang-orang Syi’ah Imamiyyah. [Ashlush Syi’ah wa Ushûluhu hal. 79]

Asy-Syâhid Nûrullâhi At-Tastury berkata, “… (Hal itu) karena Al-Bukhâry, Muslim, dan semisalnya adalah para pemalsu hadits lagi para pendusta di kalangan Syi’ah. Bahkan, karena banyak alasan, mereka menetapkan kedunguan dan pendeknya pemahaman Al-Bukhâry perihal membedakan antara (hadits) shahih dan dha’if.” [Ash-Shawârimul Muhriqah hal. 57]

Terlebih lagi, menurut mereka, orang yang mengambil riwayat dari selain Ahlul Bait adalah musyrik. Dalam sebuah riwayat dalam buku terpercaya mereka, disebutkan bahwa Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq menyatakan, “… Dan siapa saja yang mengaku mendengar dari selain pintu yang Allah buka untuknya, dia adalah musyrik ….” [Ushûlul Kâfy 1/439, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H]

Juga, salah satu bab Ushûlul Kâfy 1/464 berjudul “Sesunggunya Tiada Suatu Kebenaran di Tangan Manusia, Kecuali dari Apa-Apa yang Keluar dari Sisi Para Imam (‘A), Sedang Segala Sesuatu yang Tidak Keluar dari Sisi Mereka adalah Batil.”

Bila keyakinan kaum Syi’ah terhadap hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang berada di tangan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, berarti kaum Syi’ah telah menolak agama Islam ini dan mendustakan sumber kedua yang menjadi rujukan kaum muslimin. Allah telah berfirman,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Segala sesuatu yang Rasul datangkan kepada kalian, terimalah, sedang segala sesuatu yang dia larang terhadap kalian, tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]


8.       Sikap Kaum Syi’ah terhadap Para Shahabat

Dalam buku-buku mereka, terdapat riwayat dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia adalah murtad setelah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang. Saya (perawi) bertanya, ‘Siapakan ketiga orang itu?’ Beliau menjawab, ‘Al-Miqdâd, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy.’ ….” [Raudhatul Kâfy 8/198, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H]

Mereka meriwayatkan pula dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira, serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi meninggal, sedang beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly karya Ash-Shadûq hal 726]

Al-Majlisy berkata, “Sesungguhnya, tergolong sebagai keharusan aksioma agama Imamiyah: penghalalan mut’ah, haji Tamattu’, serta berlepas diri dari Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Mu’âwiyah.” [Al-I’tiqâdât karya Al-Majlisy hal. 90-91]

Ucapan-ucapan keji kaum Syi’ah terhadap para shahabat dan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini sangatlah banyak.
Seluruh hal tersebut adalah pengingkaran terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang memuji dan menyanjung para shahabat radhiyallâhu ‘anhum. Allah ‘Azza wa Jalla telah menyifatkan orang yang jengkel terhadap para shahabat sebagai orang kafir dalam firman-Nya setelah menyebutkan sifat para shahabat dalam Taurat dan Injil,

لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

“… Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” [Al-Fath: 29]


9.       Kesyirikan di Kalangan Kaum Syi’ah

Muhammad bin Ali Ash-Shadûq membawakan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq bahwa Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memiliki makhluk dari rahmat-Nya. Allah menciptakan mereka dari cahaya-Nya dan (menciptakan) rahmat-Nya dari rahmat-Nya untuk rahmat-Nya. Mereka adalah mata Allah yang melihat, telinga-Nya yang mendengar, dan lisan-Nya yang berbicara di tengah makhluk-Nya dengan seizin-Nya, serta para kepercayaan-Nya terhadap apa-apa yang (Allah) turunkan berupa udzur, nadzar, dan hujjah. Dengan mereka, (Allah) menghapus dosa-dosa, menolak kesedihan, menurunkan rahmat, menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup. Dengan mereka, (Allah) menguji makhluk-Nya dan menetapkan putusan-Nya di tengah makhluk-Nya.” Perawi bertanya, “Semoga Allah menjadikanku sebagai penebusmu. Siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mendapat wasiat.” [At-Tauhîd karya Ash-Shâduq hal. 167, cet. Dârul Ma’rifah, Beirut]

Dalam Mustadrak Al-Wasâ`il, Ath-Thabarsy membuat bab berjudul “Kebolehan Thawaf di Kuburan”.
Dalam Amâly Ath-Thûsy, Muhammad bin Hasan Ath-Thûsy menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Sesunggunya Allah Ta’âlâ telah menjadikan tanah kakekku, Husain ‘alaihis salam, sebagai penyembuh untuk segala penyakit dan pengaman dari segala kekhawatiran. Apabila salah seorang dari kalian mengambil (tanah) itu, hendaknya dia mencium dan meletakkan (tanah) itu pada kedua matanya lalu melewatkan (tanah) itu pada seluruh jasadnya. Hendaknya dia berkata, ‘Ya Allah, dengan hak tanah ini dan hak orang yang menyatu dan tertanam di dalam (tanah) ini, dengan hak ayahnya, ibunya, saudaranya, dan para imam dari keturunannya, dan dengan hak para malaikat yang mengitarinya, pasti Engkau menjadikan (tanah) ini sebagai obat untuk segala penyakit, penyembuh untuk segala penyakit, keselamatan dari segala bahaya, dan pelindung dari segala yang aku khawatirkan, serta aku berhati-hati terhadap (tanah) ini.’ Lalu, dia menggunakan tanah tersebut.” [Amâly Ath-Thabarsy, Mu`assasah Al-Wafâ`, Beirut, cet ke-2, 1401 H]

Banyak sekali bentuk kesyirikan kaum Syi’ah yang tidak bisa kami detailkan dalam tulisan ringkas ini, seperti (1) menjadikan para imam mereka sebagai perantara antara makhluk dan Allah; (2) Beristighatsah kepada Allah dengan menyebut imam-imam mereka; (3) Kewajiban ziarah ke kubur Al-Husain dan kekafiran orang yang meninggalkan kewajiban ini; (4) Kebolehan melaksanakan thawaf, shalat dan bersungkur di kuburan; serta kesyirikan lain. Kesyirikan kaum Syi’ah meliputi segala hal: dalam Rubûbiyyah, Ulûhiyyah dan Al-Asmâ` wa Ash-Shifât.


10.    Sikap Kaum Syi’ah terhadap Kaum Muslimin

Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Kami tidaklah bersepakat dengan mereka (kaum muslimin) pada ilah (sembahan). Tidak pada nabi, tidak pula pada imam. Hal tersebut adalah karena mereka (kaum muslimin) berkata bahwa Rabb mereka adalah Rabb Yang Muhammad adalah nabi-Nya dan khalifah-Nya setelah Nabi-Nya adalah Abu Bakr. Kami tidak berkata dengan Rabb ini tidak pula dengan nabi tersebut. Namun, kami berkata bahwa Rabb yang khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakr bukanlah Rabb kami, dan nabi itu bukanlah nabi kami.” [Al-Anwârun Nu’mâniyyah 2/278, cet. Al-A’lamy Lil Mathbû’ât, Beirut, 1404 H]

Muhaqqiq mereka, Yusuf Al-Bahrany, menyebutkan kekafiran kaum muslimin di kalangan orang-orang Syi’ah dalam ucapannya, “Tahqiq yang diambil dari kabar-kabar Ahlul Bait ‘alaihimus salam -sebagaimana penjelasan kami, yang tidak memerlukan tambahan, dalam kitab Asy-Syihâbuts Tsâqib- bahwa seluruh orang yang menyelisihi lagi mengetahui keimaman dan mengingkari keyakinan (keimaman) adalah para nawâshib[1], orang-orang kafir, dan orang-orang musyrik yang tidak memiliki jatah dan bagian dalam keislaman tidak pula dalam hukum-hukum (Islam) ….” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 14/159]

Mereka juga menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta menganggap bahwa kaum muslimin adalah kafir dan najis sebagaimana dalam banyak buku mereka dengan berbagai riwayat. Biarlah Yusuf Al-Bahrany mewakili mereka. Dia berkata, “Tiada silang pendapat di kalangan shahabat kami dan selainnya dari yang berpendapat dengan keyakinan ini tentang kekafiran, kenajisan, serta kehalalan darah dan harta nâshib. Juga bahwa hukum terhadap (nâshib) adalah sama dengan hukum terhadap kafir harby.” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 10/42]

Karena kekafiran kaum muslimin itulah, dalam buku-buku mereka, terurai tentang ketidakbolehan menikahi kaum muslimin, mengerjakan shalat di belakang kaum muslimin, menshalati jenazah kaum muslimin, dan menjatuhkan hukum bahwa kaum muslimin kekal dalam neraka.

Demikian sebagian kesesatan dan kekafiran agama Syi’ah. Meski masih banyak hal yang belum bisa disebut pada tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi sebagian kaum muslimin, yang tertipu oleh kaum Syiah, agar mereka rujuk kepada Islam yang benar, dan semoga menjadi bekal seorang muslim untuk teguh di atas agama. Wallahu A’lam.

-----------------------------------
[1] Nawâshib adalah bentuk jamak dari kata nâshib, yaitu gelar yang mereka gunakan untuk kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka.

Link download artikelnya >>> Syiah
Comments
0 Comments

0 komentar:

Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme




1. Sekularisme
Pada saat ini, agama Islam dan kaum muslimin dijadikan sebagai objek atau target yang harus dihancurkan atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi. Mereka (para musuh Allah SWT) dengan berbagai macam cara berusaha untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Misalnya saja dengan cara menghembuskan angin sekularisme, liberalisme dan pluralisme ke tengah-tengah negara yang dihuni oleh mayoritas kaum muslimin.

Istilah sekularisme pertama kali digunakan oleh seorang penulis Inggris yang bernama George Holoyake pada tahun 1846. Makna dari sekularisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi, badan atau negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan masyarakat. Konsep sekularisme ini lahir dari konsep kebebasan berpikir yang telah ada sepanjang sejarah. Menurut pencetus faham sekular, yaitu George Holoyake bahwa idenya ini bertujuan untuk memisahkan tatanan sosial dari agama tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah agama, norma atau kepercayaan masyarakat apa pun.

Apabila faham sekular ini masuk ke ranah politik, maka sekularisme di dalam politik adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dengan pemerintahan atau negara. Bentuknya bisa saja dengan cara mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama mayoritas sebuah negara. Misalnya dengan cara mengganti hukum keagamaan dengan hukum sipil.

Lambat laun, faham jahat ini sudah merambah dan masuk ke dalam jiwa kaum muslimin di mana pun mereka berada. Misalnya saja ada sebagian orang ketika mereka harus berhadapan dengan uang sogok, maka ketika ada temannya yang menegurnya bahwa sogok itu diharamkan oleh agama (Islam), maka dengan nada marah dia berkata, “Kamu jangan bawa-bawa agama di sini!”

Inilah salah satu bukti bahwa masyarakat muslim di Indonesia khususnya, telah banyak yang terinfeksi virus sekularisme. Selain itu, masih ada dua faham yang sedang mengintai kaum muslimin pada saat ini, yaitu faham pluralisme dan liberalisme.

2. Pluralisme
Menurut asal katanya, pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Apabila merujuk kepada Wikipedia berbahasa Inggris (www.wikipedia.org), maka definisi pluralism adalah sebagai berikut, “In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation.” Atau dalam bahasa Indonesianya diartikan sebagai berikut, “Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan).”

Pluralisme menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang ekslusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan kebenaran itu, setidak-tidaknya akan ditemukan sebuah kebenaran atau nilai-nilai yang benar. Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah sebuah keharusan. Seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,” (QS. Al-Kafirun [109]: 1-6).

Akan tetapi, bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah benar (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa tuhan yang kami sembah adalah bukan tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme di dalam agama Islam. Namun demikian, faham ini (pluralisme) semakin disebar luaskan oleh para musuh Allah SWT. Mereka mengaku sebagai muslim, akan tetapi berniat merusak Islam dan kaum muslimin dari dalam.

Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Akan tetapi yang diinginkan oleh pluralisme agama adalah ingin menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama masing-masing.
Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Di halaman pertama situsnya tertulis, “Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama.”

Saat ini, pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :

1. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural.
2. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
3. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.

Melihat kondisi seperti ini, akhirnya MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang melarang pluralisme sebagai respon atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti, “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.”

Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai faham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Karena Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Qur`an, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam,” (QS. Ali Imran [03]: 19). “Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi,” (QS. Ali Imran [03]: 85).


3. Liberalisme
Kata liberalisme berkaitan erat dengan kata libertas (bahasa Latin) yang artinya kebebasan. Kata liberalisme ini sangat luas cakupannya. Di antaranya mencakup bidang politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal kepada kebebasan setiap pribadi terhadap kekuasaan apapun. Sedangkan di Perancis, kata liberalisme ini lebih dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi.

Kata liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dan di dalam berbagai bidang yang berbeda, akan tetapi kata ini memiliki pengertian sendiri di dalam agama, yaitu diartikan sebagai keinginan untuk dibebaskan dari paksaan dari luar, seperti paksaan dari norma agama. Para tokoh liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas kitab suci masing-masing agama, seperti atas Al-Qur`an untuk umat muslim dan Bible untuk umat Kristiani.

Di dalam agama Kristen yang menyembah Yesus (Nabi Isa AS, menurut kaum muslimin), pada mulanya masih memberi tempat untuk hal-hal yang bersifat supranatural. Akan tetapi, lama-kelamaan perkembangan liberalisme mengarah kepada penekanan bahwa Yesus adalah sekedar manusia biasa (menggeser dogma Kristen). Awal mulanya, liberalisme ini mempunyai andil dalam memperbaiki beberapa kekeliruan kepercayaan di dalam tubuh umat Kristiani. Akan tetapi, faham ini tidak memberi jalan keluar yang lebih baik. Justru nafas kebebasan itu berangsur-angsur membawa manusia kepada peninggian diri sendiri dan akhirnya semakin menafikan Tuhan sebagai Dzat yang kekal.

Di dalam Islam, ada sekelompok anak muda yang mengaku muslim dan mengusung faham ini dan menancapkannya ke dalam tubuh umat Islam. Yaitu yang kita kenal dengan sebutan Jaringan Islam Liberal. Tepatnya pada awal tahun 2000, sebuah situs bernama http://www.islamlib.com diluncurkan atas prakarsa dari beberapa intelektual muda Indonesia. Pada tahun 2001, istilah Islam Liberal sudah banyak dibicarakan, baik di halaman-halaman media massa maupun di ruang-ruang diskusi di negara-negara muslim.

Mereka yang menyebut dirinya sebagai Islam Liberal biasanya bersikap defensif di hadapan para pemikir Barat dan berusaha keras menjelaskan kemuliaan dan keluasan Islam dengan istilah-istilah yang favourable, yang cocok dan tidak melukai perasaan orang-orang Barat. Akan tetapi sebaliknya, mereka akan bersikap ofensif (menyerang), baik dengan kata-kata maupun dengan tulisan terhadap saudara-saudaranya sendiri yang berusaha mengamalkan Islam sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Al-Hadits yang shahih.

Sebenarnya, Islam Liberal sudah muncul sekitar abad ke-18 pada saat kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawi, dan Dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. Prof. Kurzman, seorang profesor sosiologi di University of North Chapell Hill, Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku yang berjudul, “Liberal Islam a Source Book.” Buku ini menggambarkan perkembangan pemikiran yang menandai kebangkitan pemikiran Islam yang dipengaruhi oleh filsafat modern, khususnya dipengaruhi oleh liberalisme.

Menurut Prof. Kurzman, cikal bakal faham liberal ini awal mulanya mulai muncul melalui Syah Waliyullah (India, 1703 – 1762). Menurut Syah, Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Pemikiran seperti ini juga berkembang di kalangan Syiah, yaitu yang dikomandoi oleh Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) yang mendobrak pintu ijtihad dan membukanya selebar-lebarnya.

Ide ini pun terus bergulir. Di Mesir, ada Rifa’ah Rafi’ Al-Tahtawi (Mesir, 1801 – 1873) yang memasukkan unsur-unsur Eropa ke dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818 – 1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827 – 1897) yang memasukkan mata pelajaran sekuler ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Di India, muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817 – 1825) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerjasama dengan penjajah Inggris. Lalu muncul pula Qasim Amin dari Mesir (1865 – 1908), kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku “Tahrir Al-Mar`ah” “Kebebasan Wanita,” yang kemudian disusul oleh munculnya Ali Abdur Razzaq (1888 - 1966) yang mendobrak sistem khilafah.

Di Aljazair muncul nama Muhammad Arkoun (lahir 1928). Di Pakistan, ada nama Fazlur Rahman (lahir 1919) yang kemudian menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Fazlur Rahman menggagas tafsir kontekstual, satu-satunya model tafsir yang menurutnya adil dan terbaik.

Di Indonesia muncul nama Nurcholis Madjid (murid Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori firqah liberal bersama Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Adian Husaini dalam makalah “Islam Liberal dan Misinya” menukil dari Greg Barton, Sabili No. 5: 88). Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruan pemikiran Islam sejak tahun 1970-an.

Menurut situs www.islamlib.com, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan, yaitu: (1) Membuka pintu ijtihad seluas-luasnya pada semua dimensi Islam; (2) Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks; (3) Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural; (4) Memihak kepada kalangan minoritas dan tertindas; (5) Meyakini kebebasan beragama; dan (6) Memisahkan kepentingan duniawi dan ukhrawi, dan memisahkan kepentingan agama dan politik.


Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki misi yang diembannya, yaitu:

1. Mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada khalayak seluas mungkin.

2. Mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Mereka yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.

3. Mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Awalnya, JIL hanya sebagai wadah berkumpulnya anak-anak muda NU di berbagai tempat, seperti di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, juga di sebuah tempat di Pancoran, Jakarta. Lalu ada ide dari Luthfi Assyaukanie, seorang mantan wartawan majalah Ummat yang juga sebagai dosen di Universitas Paramadina Jakarta (kini sedang menempuh program Doktor di Australia) agar membuka sebuah mailing list di website sebagai sebuah forum diskusi dan sosialisasi ide-ide di antara mereka. Mereka itu antara lain terdiri dari Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Sahal, redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam yang aktif di Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU. Tercatat ada beberapa nama yang ikut bergabung di dalam mailing list yang bernama islamliberal@yahoogroups.com ini. Tercatat nama seperti Hamid Basyaib, Farid Gaban, dan Denny J.A.

Ternyata, mailing list ini diminati ratusan member. Mereka bukan hanya dari kalangan muslim, tetapi juga dari kalangan non-muslim. Bahkan, para Indonesianis seperti William Liddle, Greg Barton, Daniel S. Lev, dan sejumlah Indonesianis lainnya menjadi member di dalam mailing list ini. Yang juga mengejutkan, kalangan muda Kristen, Partai Rakyat Demokrasi, dan lembaga CSIS juga tercatat sebagai member.
Diskusi di jaringan maya ini semakin lama semakin intens. Nama “Islam Liberal” itu sendiri sebetulnya adalah sebuah kebetulan. Dari diskusi yang intens itu, lambat laun, nama Islam Liberal begitu saja melekat pada komunitas member mailing list itu, sehingga nama tersebut sudah menjadi label pada komunitas itu. Paling tidak, nama itu bisa menggambarkan arah dan substansi pemikiran yang berkembang dalam diskusi di dunia maya tersebut.

Pada pertengahan Maret 2001, ketika sedang maraknya aksi-aksi dan gerakan radikalisme Islam, diskusi di mailing list ini menemukan fokusnya. Akhirnya, berbagai diskusi di mailing list ini mengkristal menjadi sebuah model pemikiran dan penafsiran Islam. Pemikiran ini tentu bersinggungan dengan kalangan penganut Islam lainnya. Lahirnya komunitas ini sekaligus dijadikan nama sebuah wadah atau gerakan mereka, yaitu Jaringan Islam Liberal yang disingkat JIL.

Menurut kalangan JIL, arti kata liberal di sini hanya dalam arti kebebasan berpikir dan mengkritik apa yang selama ini dianggap sebagai sebuah norma yang tidak bisa disentuh. Di antaranya mereka menggagas ide-ide bercorak liberal yang dekat dengan perspektif Barat, misalnya tentang keharusan demokrasi, pluralisme, universalisme (kesamaan prinsip) agama, sampai kepada kesetaraan gender. Menurut situs mereka (www.islamlib.com), misi komunitas ini (JIL) adalah untuk menghadang gerakan Islam fundamentalis.

Di dalam situs resmi milik mereka itu, tercantum beberapa nama tokoh yang menjadi kontributor JIL, antara lain Nurcholis Madjid (Universitas Paramadina Mulya, Jakarta), Charles Kurzman (University of North Carolina), Azyumardi Azra (UIN Jakarta), Abdallah Laroui, Muhammad V. (University of Maroko), Masdar F. Mas’udi (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta), Goenawan Muhammad (Pimpinan Majalah Tempo), Edward Said, Djohan Effendi (Deakin University, Australia), Abdullah Ahmad An-Naim (University of Khartoum, Sudan), Jalaluddin Rachmat (Yayasan Muthahhari, Bandung), Asghar Ali Engineer, Nasaruddin Umar (UIN Jakarta), Mohammad Arkoun (University of Sorbonne, Perancis), Komaruddin Hidayat (Yayasan Paramadina Jakarta), Sadeq Jalal Azam (Damascus University, Suriah), Said Agil Siradj (PBNU Jakarta), Denny J.A. (Universitas Jayabaya Jakarta), Rizal Mallarangeng (CSIS Jakarta), Budi Munawar Rahman (Yayasan Paramadina Jakarta), Ihsan Ali Fauzi (Ohio University, USA), Taufik Adnan Amal (IAIN Alaudin, Ujung Pandang), Hamid Basyaib (Yayasan Aksara Jakarta), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU Jakarta), Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya, Jakarta), Saiful Muljani (Ohio State University, USA), Ade Armando (Universitas Indonesia, Depok), Samsurizal Panggabean (Universitas Gajahmada, Yogyakarta). Mereka menunjuk Ulil Abshar Abdalla sebagai koordinator umum JIL, yang menjadi penggerak utama di dalam JIL, sekaligus sebagai “ulama” bagi komunitas yang tergabung di dalamnya.

Mereka berperan di dalam mengampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu, di antaranya melalui media Kantor Berita Radio 68 H. Stasiun radio milik Komunitas Utan Kayu (KUK) ini secara rutin melakukan siaran talkshow dialog interaktif dengan para aktivis dan intelektual muda JIL. Siaran radio itu dirilis oleh 425 stasiun radio lainnya di seluruh Indonesia.

Tidak hanya melakukan penyebaran gagasan Islam liberal melalui radio, penyebaran gagasan Islam liberal (Islam yang pluralis dan inklusif) disebarkan juga melalui media cetak. Harian Jawa Pos setiap minggunya menyediakan ruang satu halaman untuk wawancara disertai artikel-artikel yang dipasok oleh JIL. Koran lainnya, seperti Koran Tempo, Republika, dan Kompas sering pula menampilkan tulisan-tulisan para intelektual anggota JIL ini.
Mengenai sumber dana JIL, mereka mendapat sokongan dana dari beberapa LSM internasional, seperti Asia Foundation, Ford Foundation serta LSM lainnya yang mendukung ide-ide, gagasan, dan pemikiran yang diusung oleh para aktivis JIL. Sehingga, kepentingan-kepentingan Barat sangat kentara di dalam ide-ide dan program-program yang diusung oleh mereka.


Pokok-pokok Ajaran JIL:

1. Mengklaim bahwa Al-Qur`an yang beredar sekarang sudah tidak asli lagi (palsu), karena banyak ayat-ayatnya yang salah.

2. Menganggap Al-Qur`an ini berlaku karena otoritas (paksaan, pen.) dari Khalifah Utsman bin Affan.

3. JIL berjuang untuk membuat Al-Qur`an versi JIL, yaitu Al-Qur`an ala Indonesia. (Lihat Majalah Syir’ah, No.2, tahun 2002).

4. Ayat Al-Qur`an yang berbunyi: “Innad diina ‘indallaahil islaam.”

5. Menurut JIL ayat tersebut adalah salah, dan yang benar adalah berbunyi:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الْحَنَفِيَّةُ.

6. Menurut JIL, kata-kata Islam sudah tidak cocok dengan situasi dan kondisi saat ini, karena Islam terlalu radikal dan keras.

7. Ibadah Haji boleh dilakukan di dalam tiga bulan yaitu Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah.

8. Beragama itu seperti memakai baju, boleh bergonta–ganti.

9. Semua agama itu sama benarnya dan tidak boleh mengaku agama sendiri yang paling benar. Buktinya kaum muslimin (orang Islam) itu sehari semalam (minimal) dalam shalatnya mereka membaca: “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” Dibaca sebanyak 17 kali. Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang lurus itu belum tahu di mana adanya. Mungkin saja jalan yang lurus itu ada di dalam agama Hindu, ada dalam agama Budha, ada dalam agama Kristen, ada dalam agama Yahudi, atau ada dalam agama Islam. Oleh karena itu, orang Islam jangan mengaku paling benar sendiri. Buktinya, masih memohon kepada Tuhan untuk ditunjuki ke jalan yang lurus secara terus menerus sepanjang hidup.

10. Harus ada kesediaan untuk menerima semua sumber kebenaran, termasuk yang datang dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, dan yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

11. Tidak ada Hukum Tuhan, yang ada hanya Sunnah Tuhan.

12. Memakai jilbab, hukum potong tangan, qishash, rajam, pernikahan, dan jual beli tidak ada di dalam Islam.

13. Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji kritis, sehingga tidak saja menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya.

14. Upaya untuk menegakkan syariat Islam adalah wujud ketidak berdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang menghimpit mereka. Umat Islam menganggap semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam dalam penafsiran yang kolot dan dogmatis diterapkan di muka bumi.

15. Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “Hukum Tuhan.” “Sekali lagi, saya tidak percaya kepada Hukum Tuhan,” kata Ulil.

16. Pandangan bahwa syariat Islam adalah suatu “paket lengkap“ yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman adalah wujud ketidak tahuan dan ketidak mampuan memahami Sunnah Tuhan itu sendiri.

17. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah sebagai bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi merupakan cara untuk lari dari masalah.

18. Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai, ketimbang sebuah lembaga agama yang sudah mati, beku dan mengungkung kebebasan.

19. Perlu dilakukan dekonstruksi keyakinan teologis dan eksistensi teks sebagai wahyu Tuhan, menjadi wahyu yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya. (Lihat buku Fikih Lintas Agama).

20. Wahyu tidak berhenti pada zaman nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang sudah selesai di dalam Al-Qur`an. Tetapi wahyu non verbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.

21. Apabila terdapat pertentangan antara teks dan problem kemanusiaan, maka dengan sendirinya teks tidak dapat dipergunakan.

22. Al-Qur`an sebagai teks terbuka, kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, pembebasan, keadilan jender, tidak diskriminatif. (Lihat buku Fikih Lintas Agama).

23. Al-Qur`an mau dijadikan seperti Bible, ada Al-Qur`an tulisan bahasa Indonesia, bahasa Cina, bahasa Belanda, bahasa Persi, bahasa Korea (bukan ditulis dengan bahasa Arab, atau ditulis dengan bahasa masing-masing negara yang mencetaknya).

24. Al-Qur`an adalah bahasa gado-gado, karena tarik menarik kepentingan para penyusunnya pada saat penyusunan Al-Qur`an pada saat itu.

25. Ditemukan beberapa kekeliruan di dalam salinan mushaf Utsmani.

26. Berbagai kesimpangsiuran mushaf Utsmani (Al-Qur`an sekarang, pen.) mengantarkan sejumlah sarjana muslim kepada keyakinan pada naskah-naskah tersebut telah hilang tanpa bekas.

27. Tidak ada kesepakatan formal di kalangan sarjana muslim mengenai penamaan ke-114 surah di dalam Al-Qur`an. Merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama yang diberikan kepada surah-surah itu bukanlah bagian dari Al-Qur`an. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surah Al-Qur`an yang beragam itu.

Meski begitu, tak sedikit yang tertarik dengan aliran aneh bin nyeleneh ini. keanehan dan kerancuan menjadi daya tarik yang memikat, khususnya bagi mereka yang telah dibutakan hatinya dengan harta, tahta, wanita, dan popularitas. Semoga Allah menjaga kita, keluarga, dan orang-orang dekat kita dari pemikiran yang destruktif seperti ini.

@dhezun
Comments
0 Comments

0 komentar:

Taksonomi Bloom Dalam Pembelajaran






Kajian Teori Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhirarkhi dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian- sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi

Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.[1]

I.        Ranah KOGNITIF
A.    Kognitif Bloom[2]
Kemampuan berpikir, kompetensi memperoleh pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan penalaran. Klasifikasi kognitif meliputi pengembangan keterampilan intelektual dengan tingkatan-tingkatan yaitu:
a)      Pengetahuan (Knowledge/C1)
Merupakan kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, prosedur atau istilah yang telah dipelajari (Recall data or information). Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. Kemampuan yang dimiliki hanya kemampuan menangkap informasi kemudian menyatakan kembali informasi tersebut tanpa memahaminya. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu, mendefinisikan; menguraikan; menyebut satu per satu; mengidentifikasi; memberikan nama; mendaftar; mencocokan; membaca; mencatat; mereproduksi; memilih; menetapkan; menggambarkan (defines; describes; enumerates; identifies; labels; lists; matches; names; reads; records; reproduces; selects; states; views).
b)      Pemahaman (Comprehension/C2)
Merupakan kemampuan untuk memahami arti, interpolasi, interpretasi instruksi (pengarahan) dan masalah. pemahaman merupakan salah satu jenjang kemampuan dalam proses berpikir dimana siswa dituntut untuk memahami yang berarti mengetahui sesuatu hal dan melihatnya dari berbagai segi. Pada tingkatan ini, selain hapal siswa juga harus memahami makna yang terkandung, misalnya dapat menjelaskan suatu gejala, dapat menginterpretasikan grafik, bagan atau diagram serta dapat menjelaskan konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri.
c)       Penerapan (Application /C3)
Merupakan kemampuan untuk menggunakan konsep dalam situasi baru atau pada situasi konkret. Tingkatan ini merupakan jenjang yang lebih tinggi dari pemahaman. Kemampuan yang diperoleh meliputi kemampuan untuk menerapkan prinsip, konsep, teori, hukum maupun metode yang dipelajarinya dalam situasi baru. Kata kerja yang digunakan yaitu, mempraktikan; mengurus; mengartikulasikan; menilai; memetakan; mengumpulkan; menghitung; membangun; menyokong; mengontrol; menentukan; berkembang; menemukan; menetapkan; menyampaikan; melaksanakan; memasukan; menginformasikan; menginstruksikan; menerapkan; mengambil bagian; meramalkan; mempersiapkan; memelihara; menghasilkan; memproyeksikan; menyediakan; menghubungkan; melaporkan; mempertunjukan; memecahkan; mengajar; memindahkan; menggunakan; memanfaatkan (acts; administers; articulates; assesses; charts; collects; computes; constructs; contributes; controls; determines; develops; discovers; establishes; extends; implements; includes; informs; instructs; operationalizes; participates; predicts; prepares; preserves; produces; projects; provides; relates; reports; shows; solves; teaches; transfers; uses; utilizes).
d)       Analisis (Analisys /C4)
Merupakan kemampuan untuk memilah materi atau konsep kedalam bagian-bagian sehingga struktur susunannya dapat dipahami. Dengan analisis diharapkan seorang siswa dapat memilah integritas menjadi bagian-bagian yang lebih rinci atau lebih terurai dan memahami hubungan-hubungan bagian-bagian tersebut satu sama lain. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menganalisa, membandingkan, mengklasifikasikan (breaks down; correlates; diagrams; differentiates; discriminates; distinguishes; focuses; illustrates; infers; limits; outlines; points out; prioritizes; recognizes; separates; subdivides).
e)       Sintesis (Synthesis /C5)
Merupakan kemampuan untuk mengintegrasikan baian-bagian yang terpisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu. kemampaun sintesis merupakan kemampaun menggabungkan bagian-bagian (unsur-unsur) sehingga terjelma pola yang berkaitan secara logis atau mengambil kesimpulan-kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya satu sama lainnya. Kemampuan ini misalnya dalam merencanakan eksperimen, menyusun karangan, menggabungkan objek-objek yang memiliki sifat sama ke dalam suatu klasifikasi. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu, menghasilkan; merumuskan; mengorganisasikan (categorize; combine; compiles; composes; creates; devises; designs; explains; generates; modifies; organizes; plans; rearranges; reconstructs; relates; reorganizes; revises; rewrites; summarizes; tells; writes).

f)        Evaluasi (Evaluation /C6)
Merupakan kemampuan untuk membuat pertimbangan (penilaian) terhadap suatu situasi, nilai-nilai atau ide-ide. Kemampuan ini merupakan kemampuan tertinggi dari kemampuan lainya. Evalusi adalah kemampuan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, materi dan kriteria tertentu. Untuk dapat membuat suatu penilaian, seseorang harus memahami, dapat menerapkan, menganalisis dan mensintesis terlebih dahulu. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menilai, menafsirkan, menafsir, memutuskan (appraises, compares, concludes, contrasts, criticizes, critiques, defends, describes, discriminates, evaluates, explains, interprets, justifies, relates, summarizes, supports).

B.      Revisi taksonomi Bloom[3]
taksonomi tujuan pembelajaran yang dikemukakan oleh Bloom, Engelhart, Furst, Hill dan Krathwohl (1956) dalam bukunya “The Taxonomy of Educational Objectives, The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain” . Selama hampir setengah abad buku itu banyak menjadi rujukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun ide-ide dalam buku tersebut masih sangat bermanfaat, namun dinilai perlu adanya revisi untuk lebih bisa mengadopsi perkembangan dan temuan baru dalam dunia pendidikan. Oleh karena itulah diterbitkan edisi revisi buku tersebut yang berjudul “A Taxonomy for Learning and Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives” (Anderson, Krathwohl, Airasian, Cruikshank, Mayer, Pintrich, Raths, dan Wittrock, 2001). Tulisan ini menyajikan pemanfaatan taksonomi yang baru ini dalam pengembangan soal untuk setiap jenjang. Pembaca yang tertarik untuk mengetahui perbedaan antara taksonomi yang lama dengan taksonomi yang baru dan penjelasan lebih rinci tentang taksonomi yang baru dan pemanfaatan dalam perumusan tujuan pembelajaran dapat membaca tulisan penulis sebelumnya[4]
Jumlah dan jenis proses kognitif tetap sama seperti dalam taksonomi yang lama, hanya kategori analisis dan evaluasi ditukar urutannya dan kategori sintesis kini dinamai membuat (create).Seperti halnya taksonomi yang lama, taksonomi yang baru secara umum juga menunjukkan penjenjangan, dari proses kognitif yang sederhana ke proses kognitif yang lebih kompleks. Namun demikian penjenjangan pada taksonomi yang baru lebih fleksibel sifatnya. Artinya, untuk dapat melakukan proses kognitif yang lebih tinggi tidak mutlak disyaratkan penguasaan proses kognitif yang lebih rendah. [5]



a)      Menghafal (Remember): menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Mengingat merupakan proses kognitif yang paling rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling).
                    i.            Mengenali (Recognizing): mencakup proses kognitif untuk menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang yang identik atau sama dengan informasi yang baru. Bentuk tes yang meminta siswa menentukan betul atau salah, menjodohkan, dan pilihan berganda merupakan tes yang sesuai untuk mengukur kemampuan mengenali. Istilah lain untuk mengenali adalah mengidentifikasi (identifying).
b)      Mengingat (Recalling): menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang apabila ada petunjuk (tanda) untuk melakukan hal tersebut. Tanda di sini seringkali berupa pertanyaan. Istilah lain untuk mengingat adalah menarik (retrieving)

c)       Memahami (Understand): mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Karena penyususn skema adalah konsep, maka pengetahuan konseptual merupakan dasar pemahaman. Kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengkelasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining)

                    i.      Menafsirkan (interpreting): mengubah dari satu bentuk informasi ke bentuk informasi yang lainnya, misalnya dari dari kata-kata ke grafik atau gambar, atau sebaliknya, dari kata-kata ke angka, atau sebaliknya, maupun dari kata-kata ke kata-kata, misalnya meringkas atau membuat parafrase. Informasi yang disajikan dalam tes haruslah “baru” sehingga dengan mengingat saja siswa tidak akan bisa menjawab soal yang diberikan. Istilah lain untuk menafsirkan adalah mengklarifikasi (clarifying), memparafrase (paraphrasing), menerjemahkan (translating), dan menyajikan kembali (representing).
                  ii.      Memberikan contoh (exemplifying): memberikan contoh dari suatu konsep atau prinsip yang bersifat umum. Memberikan contoh menuntut kemampuan mengidentifikasi ciri khas suatu konsep dan selanjutnya menggunakan ciri tersebut untuk membuat contoh. Istilah lain untuk memberikan contoh adalah memberikan ilustrasi (illustrating) dan mencontohkan (instantiating).
                iii.      Mengkelasifikasikan (classifying): Mengenali bahwa sesuatu (benda atau fenomena) masuk dalam kategori tertentu. Termasuk dalam kemampuan mengkelasifikasikan adalah mengenali ciri-ciri yang dimiliki suatu benda atau fenomena. Istilah lain untuk mengkelasifikasikan adalah mengkategorisasikan (categorising).
                iv.      Meringkas (summarising): membuat suatu pernyataan yang mewakili seluruh informasi atau membuat suatu abstrak dari sebuat tulisan. Meringkas menuntut siswa untuk memilih inti dari suatu informasi dan meringkasnya. Istilah lain untuk meringkas adalah membuat generalisasi (generalising) dan mengabstraksi (abstracting).
                  v.      Menarik inferensi (inferring): menemukan suatu pola dari sederetan contoh atau fakta. Untuk dapat melakukan inferensi siswa harus terlebih dapat menarik abstraksi suatu konsep/prinsip berdasarkan sejumlah contoh yang ada. Istilah lain untuk menarik inferensi adalah mengekstrapolasi (extrapolating), menginterpolasi (interpolating), memprediksi (predicting), dan menarik kesimpulan (concluding).
                vi.      Membandingkan      (comparing): mendeteksi persamaan dan perbedaan yang dimiliki dua objek, ide, ataupun situasi. Membandingkan mencakup juga menemukan kaitan antara unsur-unsur satu objek atau keadaan dengan unsur yang dimiliki objek atau keadaan lain. Istilah lain untuk membandingkan adalah mengkontraskan (contrasting), mencocokkan (matching), dan memetakan (mapping).
              vii.      Menjelaskan (explaining): mengkonstruk dan menggunakan model sebab-akibat dalam suatu system. Termasuk dalam menjelaskan adalah menggunakan model tersebut untuk mengetahui apa yang terjadi apabila salah satu bagian sistem tersebut diubah. Istilah lain untuk menjelaskan adalah mengkonstruksi model (constructing a model)

d)     Mengaplikasikan (Applying): mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Oleh karena itu mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Namun tidak berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan prosedural saja. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing).
                    i.            Menjalankan (executing): menjalankan suatu prosedur rutin yang telah dipelajari sebelumnya. Langkah-langkah yang diperlukan sudah tertentu dan juga dalam urutan tertentu. Apabila langkah-langkah tersebut benar, maka hasilnya sudah tertentu pula. Istilah lain untuk menjalankan adalah melakukan (carrying out).
                  ii.            Mengimplementasikan (implementing): memilih dan menggunakan prosedur yang sesuai untuk menyelesaikan tugas yang baru. Karena diperlukan kemampuan memilih, siswa dituntut untuk memiliki pemahaman tentang permasalahan yang akan dipecahkannya dan juga prosedur-prosedur yang mungkin digunakannya. Apabila prosedur yang tersedia ternyata tidak tepat benar, siswa dituntut untuk bisa memodifikasinya sesuai keadaan yang dihadapi. Istilah lain untuk mengimplementasikan adalah menggunakan (using)

e)      Menganalisis (Analyzing): menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur­unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut dan struktur besarnya. Ada tiga macam proses kognitif yang tercakup dalam menganalisis: membedakan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributting).
                    i.            Membedakan (differentiating): membedakan bagian-bagian yang menyusun suatu struktur berdasarkan relevansi, fungsi dan penting tidaknya. Oleh karena itu membedakan (differentiating) berbeda dari membandingkan (comparing). Membedakan menuntut adanya kemampuan untuk menentukan mana yang relevan/esensial dari suatu perbedaan terkait dengan struktur yang lebih besar. Misalnya, apabila seseorang diminta membedakan antara apel dan jeruk, faktor warna, bentuk dan ukuran bukanlah ciri yang esensial. Namun apabila yang
                  ii.            Mengorganisir (organizing): mengidentifikasi unsur-unsur suatu keadaan dan mengenali bagaimana unsur-unsur tersebut terkait satu sama lain untuk membentuk suatu struktur yang padu.
                iii.            Menemukan pesan tersirat (attributting): menemukan sudut pandang, bias, dan tujuan dari suatu bentuk komunikasi.

f)       Mengevaluasi: membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini: memeriksa (checking) dan mengritik (critiquing).
                    i.            Memeriksa (Checking):   Menguji konsistensi atau kekurangan suatu karya berdasarkan kriteria internal (kriteria yang melekat dengan sifat produk tersebut).
                  ii.            Mengritik (Critiquing): menilai suatu karya baik kelebihan maupun kekurangannya, berdasarkan kriteria eksternal.

g)      Membuat (create): menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat (generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing).
                    i.            Membuat (generating): menguraikan suatu masalah sehingga dapat dirumuskan berbagai kemungkinan hipotesis yang mengarah pada pemecahan masalah tersebut.
                  ii.            Merencanakan (planning): merancang suatu metode atau strategi untuk memecahkan masalah.
                iii.            Memproduksi (producing):          membuat suatu rancangan atau menjalankan suatu rencana untuk memecahkan masalah.


II.    Ranah AFEKTIF
Keterampilan dalam domain afektif menggambarkan cara orang bereaksi secara emosional dan kemampuan mereka untuk merasakan sakit lain atau makhluk hidup sukacita. Tujuan Afektif biasanya target pertumbuhan kesadaran dan sikap, emosi, dan perasaan.      
Ranah sikap dikembangkan oleh Krathwohl, Bloom dan Masia (1964). Dikemukakan ada lima klasifikasi ranah sikap, dan tiap klasifikasi dibagi lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih khusus. Kelima klasifikasi utama mereka adalah:
a)      Menerima
b)      Merespon
c)      Menghargai
d)     Mengorganisasi
e)      Bertindak konsisten

a)      Menerima
            Ranah ini berkaitan dengan keinginan siswa untuk terbuka (peka) pada perangsang atau pesan-pesan yang berasal dari lingkungannya. Pada tingkat ini muncul keinginan menerima perangsang atau paling tidak menyadari bahwa perangsang itu ada.
b)     Merespon
            Pada tingkat ini muncul keinginan untuk melakukan tindakan sebagai respon pada perangsang. Tindakan-tindakan ini dapat disertai dengan perasaan puas dan nikmat.
c)      Menghargai
            Penyertaan rasa puas dan nikmat ketika melakukan respon pada perangsang, menyebabkan individu ingin secara konsisten menampilkan tindakan itu dalam situasi yang serupa. Pada tahap ini individu dikatakan menerima suatu nilai dan mengembangkannya serta ingin terlibat lebih jauh ke nilai itu.
d)     Mengorganisasi
            Individu yang sudah konsisten dan berhasil menampilkan suatu nilai. Pada suatu saat akan menghadapi situasi dimana lebih dari satu nilai yang bisa ditampilkan. Bila ini terjadi, maka individu akan mulai ingin menata nilai-nilai itu kedalam suatu system nilai, menentukan keterkaitan antar nilai dan menetapkan nilai mana yang paling dominan.
e)      Bertindak konsisten sesuai dengan nilai yang dimiliki
            Ini adalah tingkat tertinggi dari ranah sikap. Dimana individu akan berperilaku konsisten berdasarkan nilai yang di junjungnya.


III.             Ranah Psikomotorik
Keterampilan dalam domain psikomotor menggambarkan kemampuan untuk secara fisik memanipulasi alat atau instrumen. Tujuan Psikomotor biasanya fokus pada perubahan dan / atau pengembangan dalam perilaku dan / atau keterampilan. Berikut ranah psikomotorik yang disajikan oleh dave
A.    Meniru (imitation) : mengamati pola prilaku seseorang setelah orang tersebut melakukakn sesuatu, contoh : meniru cara seseorang bicara
B.     Manipulasi (manipulation) : Mampu melakukan tindakan tertentu dengan mengikuti petunjuk dan berlatih
C.     Ketelitian (precision) : memeriksa kembali, ketika ada ujian yang salah dalam menjawabnya
D.    Artikulasi (articulation) : keselara seluruh aksi dalam setiap penampilan
E.     Sesuai bakat dan keahlian (naturalization) : akan memberikan performa yang maksimal apabila kita melakukan sesuatu yang kita biasa dan ahli di dalamnya


 
A.    Keterampilan Domain Psikomotorik
Bloom dan rekan-rekannya pernah membuat subkategori untuk keterampilan dalam domain psikomotorik, tetapi sejak itu pendidik lainnya telah menciptakan sendiri taksonomi psikomotor Simpson (1972) antara kontributor lain, seperti Harrow (1972) dan Dave (1975). Menciptakan Taksonomi psikomotor yang membantu untuk menjelaskan perilaku peserta didik, yaitu:
a)       Persepsi: Kemampuan untuk menggunakan isyarat sensorik untuk memandu aktivitas motorik. Hal ini berkisar dari rangsangan indra, melalui seleksi isyarat, untuk terjemahan. Contoh: Mendeteksi isyarat komunikasi non-verbal, Mengatur panas kompor untuk mengoreksi temperatur. Kata Kunci: memilih, melukiskan, mendeteksi, membedakan, mengidentifikasi,, berhubungan, memilih.

b)      Set Kesiapan untuk bertindak. Ini termasuk set mental, fisik, dan emosional. Ketiga set disposisi yang mentakdirkan tanggapan seseorang untuk situasi yang berbeda (pola pikir). Contoh: Tahu dan bertindak berdasarkan urutan langkah-langkah dalam proses manufaktur. Kenali kemampuan dan keterbatasan seseorang. Menunjukkan keinginan untuk mempelajari proses baru (motivasi). CATATAN: Ini pembagian Psikomotor erat terkait dengan "Menanggapi fenomena" subdivisi dari domain terkendali. Kata Kunci: dimulai, menampilkan, menjelaskan, bergerak, hasil, bereaksi, menunjukkan, menyatakan, relawan.

c)      Dipandu Respon: tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks yang mencakup imitasi dan trial and error. Kecukupan kinerja dicapai dengan berlatih. Contoh: Melakukan suatu persamaan matematika seperti yang ditunjukkan. Mengikuti instruksi untuk membangun model. Kata kunci: jejak, mengikuti, bereaksi, mereproduksi, merespon

d)     Mekanisme: Ini adalah tahap peralihan dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. tanggapan dipelajari telah menjadi kebiasaan dan gerakan dapat dilakukan dengan beberapa kepercayaan dan kemampuan. Contoh: Gunakan komputer pribadi. Memperbaiki keran bocor. Mengendarai mobil. Kata kunci: merakit, calibrates, konstruksi, membongkar, display, mengikatkan, perbaikan, grinds, memanaskan, memanipulasi, tindakan, mends, campuran, mengatur, sketsa.

e)      Respon terpola: pada tingkat ini, siswa telah mencapai tingkat keterampilan yang tinggi. Ia dapat menampilkan suatu tindakan motorik yang menuntut pola tertentu, dengan tingkat kecermatan atau keluwesan, serta efisiensi yang tinggi. Kemahiran ditunjukkan dengan kinerja yang cepat, akurat, dan sangat terkoordinasi, membutuhkan minimal energi. Kategori ini melakukan tanpa ragu-ragu, dan kinerja otomatis. Sebagai contoh, pemain sering terdengar mengucapkan kepuasan atau expletives segera setelah mereka memukul bola tenis atau melempar bola, karena mereka bisa tahu dari nuansa tindakan apa yang akan dihasilkan. Contoh: Mengoperasikan komputer dengan cepat dan akurat. kompetensi Menampilkan saat bermain piano. Kata kunci: merakit, membangun, mengkalibrasi, konstruksi, membongkar, display, mengikatkan, perbaikan, grinds, memanaskan, memanipulasi, tindakan, mends, campuran, mengatur, sketsa.

f)       Adaptasi: Keterampilan yang dikembangkan dengan baik dan orang tersebut dapat memodifikasi pola pergerakan untuk memenuhi persyaratan khusus. Contoh: Respon efektif dengan pengalaman tak terduga. Memodifikasi instruksi untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Lakukan tugas dengan mesin yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk melakukan (mesin tidak rusak dan tidak ada bahaya dalam melaksanakan tugas baru). Kata Kunci: menyesuaikan, mengubah, perubahan, menggarapnya, mereorganisasi, merevisi, bervariasi.

g)      Origination: Membuat pola gerakan baru agar sesuai dengan situasi tertentu atau masalah tertentu. Hasil pembelajaran menekankan kreativitas berdasarkan keterampilan sangat maju. Contoh: Membangun sebuah teori baru. Mengembangkan program pelatihan baru dan komprehensif. Membuat rutinitas senam baru. Kata Kunci: mengatur, membangun, menggabungkan, composes, konstruksi, menciptakan, desain, memulai, membuat, berasal


DAFTAR PUSTAKA

Degeng. I Nyoman Sudana . Ilmu Pengajaran Taksonomi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1989

Bloom, B.S., (Ed.). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals: Handbook I, cognitive domain. New York: Longman. 1956

Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R.  A taxonomy for learning, teaching, and assessing. New York: Longman. 2001

Widodo, A. Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Didaktis, 4(2). 2005

Krathwohl, D. R. A revision of Bloom’s taxonomy: An overview. Theory into Practice, 41(4) . 2002

Sumber lain :
http://en.wikipedia.org/wiki/Bloom%27s_Taxonomy




[1] I Nyoman Sudana Degeng. Ilmu Pengajaran Taksonomi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. halaman 176
[2] Bloom, B.S., (Ed.). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals: Handbook I, cognitive domain. New York: Longman. 1956

[3] Krathwohl, D. R. A revision of Bloom’s taxonomy: An overview. Theory into Practice, 41(4) . 2002. Halaman 212-218
[4] Widodo, A. Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Didaktis, 4(2). 2005. Halaman 61-69

[5] Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R.  A taxonomy for learning, teaching, and assessing. New York: Longman. 2001. Halaman 67-68
Comments
0 Comments

0 komentar:

Postingan yang Lain